Peradaban manusia berubah begitu cepat. Cara-cara hidup
manusia berubah begitu dinamis. Banyak hal
yang berubah relevansinya karena tergerus oleh perkembangan zaman. Dulu, seorang
sales harus bergerilya door-to-door untuk mengenalkan dan menjual suatu barang
kepada public. Sekarang, sales cukup duduk manis di depan layar computer mengatur
iklan di social media untuk mendapatkan closing
penjualan, dan tak harus berpanas-panasan terjun langsung ke medan jualan. Cara-cara
belajar pun sudah berubah. Dulu orang harus beranjak dari rumahnya untuk pergi
menuju suatu tempat yang menyediakan kursus atau les belajar tambahan. Sekarang,
kursus atau les privat bahkan bisa dilakukan sambil rebahan melalui gadget yang
terkoneksi dengan internet.
Perubahan hidup menuntut penyesuaian diri manusia. Jika
kita ingin survive dalam derasnya arus perkembangan zaman, maka kita harus mau
menyesuaikan diri dengan keadaan. Proses penyesuaian diri tersebut membutuhkan
satu proses yang disebut dengan belajar. Bukankah prinsip dari penyesuaian diri
dan belajar itu sama, yaitu proses bertumbuh dari tidak bisa menjadi bisa, dari
level nol menuju level tertentu?
Mengapa banyak orang yang tidak bisa survive dalam
meghadapi perubahan zaman? Kenapa banyak orang yang bahkan terlihat kalah sebelum
mencoba. Jawabannya bisa jadi karena mereka tidak mau menyesuaikan diri, tidak
bisa bertahan dengan proses menyesuaikan diri, atau tidak tau cara menyesuaikan
diri yang tepat. Seperti biasa, proses penyesuaian diri membutuhkan perubahan
kebiasaan. Dari dulu sudah menjadi hukum alam bahwa perubahan kebiasaan
merupakan hal yang relative dirasa tidak nyaman oleh manusia.
Lantas, apa kaitan antara hal ini dengan pendidikan sekolah?
Pada prinsipnya, pendidikan di sekolah merupakan upaya sadar pemerintah untuk
menyiapkan generasi baru agar bisa menghadapi tantangan kehidupan dan bisa menciptakan
kebermanfaatan bagi kehidupan diri mereka dan sesame. Kenapa kebermanfaatan
bagi diri sendiri itu penting? Lha untuk apa mereka dididik kalo tidak bisa
menyelesaikan masalah-masalah sendiri. Kenapa kebermanfaatan bagi sesame itu
penting? Lha untuk apa mereka dididik kalo mereka tidak bisa memenuhi hak dan
kewajiban mereka terhadap orang lain dan lingkungan pada umumnya. Itulah kenapa
keterampilan berpikir (thinking skills) dalam paradigm pendidikan di abad 21
ini dianggap penting. Itulah kenapa enam kecakapan (6Cs) abad 21 yang meliputi collaboration, creativity, communication,
critical thinking and problem solving, citizenship, dan character menjadi
trend dalam pengembangan kurikulum pendidikan di dunia.
Satu hal penting yang harus diupayakan oleh
stakeholder pendidikan adalah jangan sampai praktik pendidikan di negeri ini
salah orientasi. Standarisasi pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah mungkin
memang perlu, karena pemerintah ingin berupaya bahwa kualitas pendidikan merata
di seantero nusantara. Namun standard penilaian semestinya tidak membuat
praktik pendidikan hanya berorientasi pada dicapainya nilai tinggi, dan
mengabaikan proses pengembangan kecakapan abad 21 yang harus dicapai peserta
didik. Standar proses semestinya tidak membuat kaku pelaksanaan pendidikan, tidak
pula memasung kreativitas pendidik.
Sekarang mari beralih focus ke topic dari tulisan ini.
Pendidikan di sekolah sudah selayaknya berorientasi pada mendorong peserta
didik untuk memiliki learning habit. Mengapa
learning habit peserta didik perlu dikembangkan? Karena pendidikan di sekolah relative
sangat singkat, dibanding dengan lifespan peserta didik. Pendidikan di Sekolah
Menengah Atas, misalnya, hanya berlangsung 3 tahun. Waktu sesingkat itu, jika
dimanfaatkan dengan maksimal untuk proses pengembangan learning habit peserta
didik, akan bisa berdampak besar bagi peserta didik dalam mengarungi tantangan hidup
pasca sekolah. Individu yang memiliki learning habit akan menjadi autonomous learner sepanjang hayat. Dengan
menjadi autonomous learner sepanjang hayat, seorang individu akan mampu
menyesuaikan diri dengan tantangan perubahan zaman. Sehingga dia bisa survive, bahkan bisa succeed.
Ada sebuah pertanyaan kritis yang perlu dijawab. Apakah
anak-anak yang berprestasi di sekolah secara otomatis mampu menjadi lifelong autonomous learner? Dan apakah
anak-anak yang tidak berprestasi secara akademik di sekolah tidak menjadi lifelong autonomous learner? Jawabannya
adalah ‘TIDAK jaminan’. Banyak anak berprestasi di sekolah yang berhasil
berkembang menjadi autonomous learners,
namun banyak juga yang tidak. Banyak anak yang tidak berprestasi di sekolah
yang tidak menjadi autonomous learners, namun banyak juga yang berhasil menjadi
autonomus learners.
Mengapa bisa demikian? Karena terkadang pola-pola
proses menghadapi tantangan di dunia sekolah berbeda dengan pola-pola proses untuk
menghadapi tantangan di dunia nyata. Dalam menghadapi tantangan di sekolah,
misalnya tantangan berupa menghadapi ujian, kadang seorang peserta didik hanya
perlu tekun untuk membaca materi, menghafalnya, lalu menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mengulang apa yang sudah dibaca sebelumnya.
Bisa juga berupa berlatih mengerjakan soal menggunakan rumus, untuk kemudian
menghadapi ujian dengan mengerjakan soal yang memerlukan penggunaan rumus yang
sudah dipelajari tersebut. Sementara dalam menghadapi tantangan di kehidupan di
luar sekolah, seringkali diperlukan pendekatan-pendekatan yang anti mainstream,
yang memerlukan proses belajar yang jauh lebih dari sekedar menghafalkan
informasi. Seringkali tantangan dalam kehidupan nyata butuh kemampuan berfikir kritis
dan problem solving tingkat tinggi
seperti menganalisa, mengevaluasi dan mensintesa, yang mana kemampuan tersebut
perlu untuk dilatih. Tentu kondisinya berbeda jika proses pendidikan yang
diselenggarakan peserta didik di sekolah benar-benar mengasah daya berpikir serta
learning habit peserta didik.
Bagaimana caranya
mengembangkan learning habit peserta didik?
Hal pertama yang perlu dilakukan dalam penyelenggaraan
pendidikan di sekolah adalah membantu peserta didik memiliki pemahaman mendalam
tentang manfaat hakiki dari belajar bagi hidup mereka. Kesadaran akan manfaat belajar
berupa diraihnya nilai tinggi mungkin akan mendorong mereka untuk belajar. Namun
hal tersebut adalah manfaat jangka pendek yang tidak akan efektif untuk
menjadikan mereka memiliki learning habit.
Pendidik perlu membantu peserta didik untuk mengalami apa
yang disebut oleh Csekszentmihayli sebagai ‘state of flow’ dalam belajar. Mereka
perlu membantu peserta didik mencapai keseimbangan antara tantangan yang
dihadapi dengan level kompetensi yang mereka miliki selama proses belajar. Bantu
peserta didik untuk menaikkan kompetensinya dalam suatu mata pelajaran, dan
berikan tugas untuk diselesaikan (problem solving) yang level kesulitannya
seimbang dengan level kompetensi/kemampuan mereka. Jika peserta didik mengalami
state of flow dalam belajar, mereka akan mendapatkan kesan positif tentang
belajar. Akan tumbuh persepsi positif bahwa belajar itu menyenangkan. Akan tumbuh
a sense of ability, atau perasaan
mampu pada diri peserta didik. Dalam ilmu psikologi, Sense of ability ini dapat membangkitkan motivasi individu untuk
belajar. Sebaliknya, rendahnya sense of
ability peserta didik dapat mendemotivasi mereka untuk belajar. Sementara jika
tidak ada keseimbangan antara level kesulitan tugas yang mereka hadapi dengan
kemampuan yang mereka miliki, maka akan muncul persepsi negative, bahwa belajar
bukan merupakan aktivitas yang menarik.
Selanjutnya, praktik rote learning sudah harus ditiadakan dalam prose pembelajaran,
karena sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Praktik rote learning
harus digantikan dengan proses belajar yang mengasah Higher Order Thinking skills (HOTS) peserta didik. Proses belajar harus
menekankan proses yang mengasah kemampuan peserta didik untuk menganalisis,
mengevaluasi, dan mencipta. Skill tersebut sangat berguna bagi setiap individu
untuk menghadapi berbagai persoalan. Dengan HOTS tersebut, seorang individu
akan mampu untuk mendekonstruksi setiap masalah, dan mencari alternative-alternatif
solusi untuk masalah tersebut. Hal tersebut yang tentu sangat berguna bagi
kehidupan mereka.
Yang terakhir, peserta didik perlu diberi pemahaman
tentang tentang konsep growth mindset.
Prinsip dari growth mindset adalah
bahwa setiap orang bisa mencapai prestasi tertentu, bisa mendapatkan pencapaian
tertentu asalkan mau berproses. Dalam kacamata growth mindset, tidak ada
istilah orang kurang berbakat untuk menguasai suatu kompetensi tertentu. Dalam kacamat
agrowth mindset, setiap orang bisa menjadi apa pun yang mereka bisa, asalkan
mereka mau melalui suatu proses belajar yang tepat. Proses belajar yang tepat bermakna
bahwa seseorang belajar dengan pola yang efektif, bukan melalui trial and
error. Pemahaman akan growth mindset
akan membuat peserta didik meyakini bahwa mereka bisa menghadapai tantangan apa
pun, meraih tujuan apa pun, karena rule nya masih sama, yaitu kemauan untuk
berproses.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar