Kamis, 04 November 2021

Developing students’ learning habit

 


Peradaban manusia berubah begitu cepat. Cara-cara hidup manusia berubah begitu dinamis. Banyak  hal yang berubah relevansinya karena tergerus oleh perkembangan zaman. Dulu, seorang sales harus bergerilya door-to-door untuk mengenalkan dan menjual suatu barang kepada public. Sekarang, sales cukup duduk manis di depan layar computer mengatur iklan di social media untuk mendapatkan closing penjualan, dan tak harus berpanas-panasan terjun langsung ke medan jualan. Cara-cara belajar pun sudah berubah. Dulu orang harus beranjak dari rumahnya untuk pergi menuju suatu tempat yang menyediakan kursus atau les belajar tambahan. Sekarang, kursus atau les privat bahkan bisa dilakukan sambil rebahan melalui gadget yang terkoneksi dengan internet.

Perubahan hidup menuntut penyesuaian diri manusia. Jika kita ingin survive dalam derasnya arus perkembangan zaman, maka kita harus mau menyesuaikan diri dengan keadaan. Proses penyesuaian diri tersebut membutuhkan satu proses yang disebut dengan belajar. Bukankah prinsip dari penyesuaian diri dan belajar itu sama, yaitu proses bertumbuh dari tidak bisa menjadi bisa, dari level nol menuju level tertentu?

Mengapa banyak orang yang tidak bisa survive dalam meghadapi perubahan zaman? Kenapa banyak orang yang bahkan terlihat kalah sebelum mencoba. Jawabannya bisa jadi karena mereka tidak mau menyesuaikan diri, tidak bisa bertahan dengan proses menyesuaikan diri, atau tidak tau cara menyesuaikan diri yang tepat. Seperti biasa, proses penyesuaian diri membutuhkan perubahan kebiasaan. Dari dulu sudah menjadi hukum alam bahwa perubahan kebiasaan merupakan hal yang relative dirasa tidak nyaman oleh manusia.

Lantas, apa kaitan antara hal ini dengan pendidikan sekolah? Pada prinsipnya, pendidikan di sekolah merupakan upaya sadar pemerintah untuk menyiapkan generasi baru agar bisa menghadapi tantangan kehidupan dan bisa menciptakan kebermanfaatan bagi kehidupan diri mereka dan sesame. Kenapa kebermanfaatan bagi diri sendiri itu penting? Lha untuk apa mereka dididik kalo tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah sendiri. Kenapa kebermanfaatan bagi sesame itu penting? Lha untuk apa mereka dididik kalo mereka tidak bisa memenuhi hak dan kewajiban mereka terhadap orang lain dan lingkungan pada umumnya. Itulah kenapa keterampilan berpikir (thinking skills) dalam paradigm pendidikan di abad 21 ini dianggap penting. Itulah kenapa enam kecakapan (6Cs) abad 21 yang meliputi collaboration, creativity, communication, critical thinking and problem solving, citizenship, dan character menjadi trend dalam pengembangan kurikulum pendidikan di dunia.

Satu hal penting yang harus diupayakan oleh stakeholder pendidikan adalah jangan sampai praktik pendidikan di negeri ini salah orientasi. Standarisasi pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah mungkin memang perlu, karena pemerintah ingin berupaya bahwa kualitas pendidikan merata di seantero nusantara. Namun standard penilaian semestinya tidak membuat praktik pendidikan hanya berorientasi pada dicapainya nilai tinggi, dan mengabaikan proses pengembangan kecakapan abad 21 yang harus dicapai peserta didik. Standar proses semestinya tidak membuat kaku pelaksanaan pendidikan, tidak pula memasung kreativitas pendidik.

Sekarang mari beralih focus ke topic dari tulisan ini. Pendidikan di sekolah sudah selayaknya berorientasi pada mendorong peserta didik untuk memiliki learning habit. Mengapa learning habit peserta didik perlu dikembangkan? Karena pendidikan di sekolah relative sangat singkat, dibanding dengan lifespan peserta didik. Pendidikan di Sekolah Menengah Atas, misalnya, hanya berlangsung 3 tahun. Waktu sesingkat itu, jika dimanfaatkan dengan maksimal untuk proses pengembangan learning habit peserta didik, akan bisa berdampak besar bagi peserta didik dalam mengarungi tantangan hidup pasca sekolah. Individu yang memiliki learning habit akan menjadi autonomous learner sepanjang hayat. Dengan menjadi autonomous learner sepanjang hayat, seorang individu akan mampu menyesuaikan diri dengan tantangan perubahan zaman. Sehingga dia bisa survive, bahkan bisa succeed.

Ada sebuah pertanyaan kritis yang perlu dijawab. Apakah anak-anak yang berprestasi di sekolah secara otomatis mampu menjadi lifelong autonomous learner? Dan apakah anak-anak yang tidak berprestasi secara akademik di sekolah tidak menjadi lifelong autonomous learner? Jawabannya adalah ‘TIDAK jaminan’. Banyak anak berprestasi di sekolah yang berhasil berkembang menjadi autonomous learners, namun banyak juga yang tidak. Banyak anak yang tidak berprestasi di sekolah yang tidak menjadi autonomous learners, namun banyak juga yang berhasil menjadi autonomus learners.

Mengapa bisa demikian? Karena terkadang pola-pola proses menghadapi tantangan di dunia sekolah berbeda dengan pola-pola proses untuk menghadapi tantangan di dunia nyata. Dalam menghadapi tantangan di sekolah, misalnya tantangan berupa menghadapi ujian, kadang seorang peserta didik hanya perlu tekun untuk membaca materi, menghafalnya, lalu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mengulang apa yang sudah dibaca sebelumnya. Bisa juga berupa berlatih mengerjakan soal menggunakan rumus, untuk kemudian menghadapi ujian dengan mengerjakan soal yang memerlukan penggunaan rumus yang sudah dipelajari tersebut. Sementara dalam menghadapi tantangan di kehidupan di luar sekolah, seringkali diperlukan pendekatan-pendekatan yang anti mainstream, yang memerlukan proses belajar yang jauh lebih dari sekedar menghafalkan informasi. Seringkali tantangan dalam kehidupan nyata butuh kemampuan berfikir kritis dan problem solving tingkat tinggi seperti menganalisa, mengevaluasi dan mensintesa, yang mana kemampuan tersebut perlu untuk dilatih. Tentu kondisinya berbeda jika proses pendidikan yang diselenggarakan peserta didik di sekolah benar-benar mengasah daya berpikir serta learning habit peserta didik.

 

Bagaimana caranya mengembangkan learning habit peserta didik?

Hal pertama yang perlu dilakukan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah adalah membantu peserta didik memiliki pemahaman mendalam tentang manfaat hakiki dari belajar bagi hidup mereka. Kesadaran akan manfaat belajar berupa diraihnya nilai tinggi mungkin akan mendorong mereka untuk belajar. Namun hal tersebut adalah manfaat jangka pendek yang tidak akan efektif untuk menjadikan mereka memiliki learning habit.

Pendidik perlu membantu peserta didik untuk mengalami apa yang disebut oleh Csekszentmihayli sebagai ‘state of flow’ dalam belajar. Mereka perlu membantu peserta didik mencapai keseimbangan antara tantangan yang dihadapi dengan level kompetensi yang mereka miliki selama proses belajar. Bantu peserta didik untuk menaikkan kompetensinya dalam suatu mata pelajaran, dan berikan tugas untuk diselesaikan (problem solving) yang level kesulitannya seimbang dengan level kompetensi/kemampuan mereka. Jika peserta didik mengalami state of flow dalam belajar, mereka akan mendapatkan kesan positif tentang belajar. Akan tumbuh persepsi positif bahwa belajar itu menyenangkan. Akan tumbuh a sense of ability, atau perasaan mampu pada diri peserta didik. Dalam ilmu psikologi, Sense of ability ini dapat membangkitkan motivasi individu untuk belajar. Sebaliknya, rendahnya sense of ability peserta didik dapat mendemotivasi mereka untuk belajar. Sementara jika tidak ada keseimbangan antara level kesulitan tugas yang mereka hadapi dengan kemampuan yang mereka miliki, maka akan muncul persepsi negative, bahwa belajar bukan merupakan aktivitas yang menarik.

Selanjutnya, praktik rote learning sudah harus ditiadakan dalam prose pembelajaran, karena sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Praktik rote learning harus digantikan dengan proses belajar yang mengasah Higher Order Thinking skills (HOTS) peserta didik. Proses belajar harus menekankan proses yang mengasah kemampuan peserta didik untuk menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Skill tersebut sangat berguna bagi setiap individu untuk menghadapi berbagai persoalan. Dengan HOTS tersebut, seorang individu akan mampu untuk mendekonstruksi setiap masalah, dan mencari alternative-alternatif solusi untuk masalah tersebut. Hal tersebut yang tentu sangat berguna bagi kehidupan mereka.

Yang terakhir, peserta didik perlu diberi pemahaman tentang tentang konsep growth mindset. Prinsip dari growth mindset adalah bahwa setiap orang bisa mencapai prestasi tertentu, bisa mendapatkan pencapaian tertentu asalkan mau berproses. Dalam kacamata growth mindset, tidak ada istilah orang kurang berbakat untuk menguasai suatu kompetensi tertentu. Dalam kacamat agrowth mindset, setiap orang bisa menjadi apa pun yang mereka bisa, asalkan mereka mau melalui suatu proses belajar yang tepat. Proses belajar yang tepat bermakna bahwa seseorang belajar dengan pola yang efektif, bukan melalui trial and error. Pemahaman akan growth mindset akan membuat peserta didik meyakini bahwa mereka bisa menghadapai tantangan apa pun, meraih tujuan apa pun, karena rule nya masih sama, yaitu kemauan untuk berproses.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar