Kamis, 04 November 2021

Helping Students Reach Their ‘Flow’


Berpengalaman sebagai pelajar dan pendidik, saya telah mengamati satu fenomena yang cukup menarik, namun orang seringkali take it for granted. Fenomena tersebut adalah berupa attitude seseorang dalam belajar. Ada orang-orang yang bisa menghabiskan waktu lama untuk belajar tanpa merasa bosan. Di sisi lain, ada orang yang jangankan belajar lama, melihat piranti-piranti yang berkaitan dengan belajar seperti buku, atau media belajar lainnya saja sudah merasa jengah. Sekalinya belajar sedikit lama, hal tersebut dilakukan karena terpaksa. Contohnya belajar karena adanya Ujian Akhir Sekolah. Ada rasa takut kalau-kalau gagal dalam ujian. Juga ada harapan bahwa kalau berhasil dalam ujian maka akan mendapatkan nilai bagus. Hal tersebut mencerminkan tipikal praktik dari teori behaviorisme.

Tulisan ini tidak akan banyak membahas tentang alasan mereka yang tak tertarik untuk lama belajar, karena hal tersebut cukup mudah ditebak. Kurangnya minat, rendahnya motivasi, dan kurangnya dukungan eksternal, umumnya menjadi faktor penyebab rendahnya intensitas belajar. Mungkin lebih mudah untuk saya menemukan orang-orang yang malas untuk berlama-lama belajar, ketimbang mereka yang lama bertahan untuk belajar.

Yang menarik untuk dibahas adalah kenapa orang mau berlama-lama belajar tanpa paksaan maupun keterpaksaan. Di sini saya teringat sebuah konsep dalam ilmu psikologi  yang disebut ‘flow’. Secara harfiah kata ‘flow’ bermakna mengalir. Konsep tersebut diperkenalkan oleh seorang psikolog kenamaan asal Hungaria yang mengajar di Universitas Chicago, Amerika, bernama Mihayli Csekszentmihalyi. Munculnya konsep ‘flow’ berasal dari rasa penasarannya terhadap orang-orang yang begitu menikmati melakukan suatu aktivitas. Mereka mau melakukan aktivitas-aktivitas tersebut berlama-lama tanpa menghiraukan terpakainya waktu, tenaga, pikiran atau bahkan biaya, hal yang orang lain tidak mau atau mampu untuk melakukannya.

Csekszentmihalyi melakukan wawancara kepada beberapa seniman, musisi, dan atlit untuk mengetahui kapan mereka memiliki pengalaman berada pada puncak performa mereka. Dia juga ingin mengetahui kenapa mereka bisa mengalami hal tersebut. Jawaban yang mereka sampaikan pada umumnya adalah ‘it just flows’. Kurang lebih artinya adalah bahwa hal tersebut mengalir begitu saja. Dari situ lah konsep ‘state of flow’ muncul. Csekszentmihalyi mendefinisikan konsep “flow” sebagai sebuah kondisi ketika seseorang melakukan suatu hal dengan enjoy penuh kesadaran dan tanpa paksaan, dan bahkan untuk melakukan aktivitas tersebut mereka menganggap bahwa tergunakannya waktu, tenaga pikiran dan lain-lain terasa tidak menjadi masalah.

Berbagai studi terus dilsayakan oleh Csekszentmihalyi untuk mendapatkan jawaban atas alasan orang mengalami ‘flow’. Dari studi yang dia lsayakan, dia menyimpulkan bahwa ‘flow’ bisa dialami seseorang ketika level tantangan atas aktivitas yang dilsayakan seimbang dengan level kemampuan yang dimiliki seseorang untuk melakukan hal tersebut. Apabila seseorang melakukan hal dengan level kesulitan tinggi, sementara kemampuannya menghadapi kesulitan tersebut rendah, maka akan muncul rasa gelisah, tak nyaman, dan tidak tertarik. Dalam kondisi tersebut, orang enggan untuk berlama-lama melakukan aktivitas tersebut, karena tentunya tidak bisa menikmatinya. Sementara, ketika level kesulitan atas aktivitas yang dilsayakan terlalu rendah dibandingkan dengan level kemampuan yang dimiliki seseorang untuk melakukan aktivitas tersebut, maka  akan ada rasa bosan, yang membuat orang tersebut juga enggan untuk berlama-lama melakukan aktivitas tersebut. Analogy sederhananya, seorang pemain game FIFA pemula tentu tidak akan menikmati permainan dengan game yang levelnya expert. Sementar pemain game FIFA yang sudah lihai juga akan merasa bosan untuk memainkan game FIFA level beginner.

Unutk mencapai kondisi ‘flow’, kata Csekszentmihalyi, harus ada keseimbangan antara level kesulitan atas tantangan yang dihadapi dengan level kemampuan yang dimiliki. Ini menjadi catatan penting bagi para pendidik. Dari konsep flow ni, kita sebagai pendidik bisa memahami tentang kenapa sikap belajar peserta didik berbeda-beda. Ada yang terlihat antusia, mau berlama-lama melakukan aktivitas pembelajaran. Sementara ada pula yang merasa malas untuk berlama-lama melakukan aktivitas belajar. Menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan oleh perbedaan level motivasi, tidak lah cukup. Ada alasan ilmiah yang perlu dielaborasi dan dicari solusinya.

Dari konsep ‘flow’ tersebut, kita bisa memahami tentang perlunya membantu peserta didik untuk meningkatkan level kemampuan dan pemahaman mereka atas suatu mata pelajaran yang mereka pelajari. Di saat yang sama, kita juga perlu menyesuaikan level kesulitan atas aktivitas-aktivitas penilaian yang harus mereka hadapi dengan level kemampuan yang mereka miliki. Dengan begitu, mereka bisa mengalami kondisi ‘flow’. Kondisi flow tersebut lah yang membuat proses belajar efektif.

Lantas, bagaimana caranya kita membantu peserta didik mencapai flow sementara mereka memiliki level kemampuan yang beragam? Ini adalah pertanyaan penting yang cukup menantang. Peserta didik adalah individu yang memiliki keberagaman karakter, level motivasi, bahkan latarbelakang. Semua itu berpengaruh terhadap pencepaian ‘flow’ mereka dalam belajar. Menyikapi keberagaman level kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik, ada beberapa hal yang perlu dilsayakan oleh pendidik. Ide-ide berikut sangat relevan  untuk menyikapi tantangan tersebut.

Pertama, pendidik perlu melakukan needs analysis di setiap awal masa pembelajaran di sekolah. Needs analysis adalah sebuah praktik yang dilsayakan oleh pendidik untuk mengetahui karakter, kebutuhan, dan level kompetensi awal peserta didik pada suatu mata pelajaran. Contohnya needs analysis yang dilsayakan pada mata pelajaran Bahasa Inggris. Dari needs analysis yang dilsayakan, pendidik bisa mengetahui tentang gaya belajar peserta didik, level kemampuan berbahas inggris mereka, persepsi mereka terhadap pelajaran bahasa Inggris, ide-ide belajar yang mereka sarankan untuk diterapkan, serta harapan yang mereka miliki atas aktivitas belajar bahasa inggris yang akan mereka lsayakan.

Kedua, pendidik perlu melakukan pendekatan personal terhadap peserta didik. Mengetahui progress dan kesulitan yang dialam oleh peserta didik sangat lah penting. Pendidik perlu mengecek satu persatu peserta didik. Memang ini cukup menantang untuk dilsayakan, terlebih dalam kelas besar, dimana jumlah peserta didik sangat banyak. Namun demikian, bukan berarti hal tersebut tidak mungkin untuk dilsayakan. Memang ini sudah menjadi bagian dari tugas pendidik, yaitu membantu semua peserta didik untuk belajar secara efektif.

Ketiga, pendidik perlu menyajikan pembelajaran yang menyenangkan dan menumbuhkan keyakinan peserta didik bahwa mereka bisa. Sense of ability itu sangat penting untuk ditumbuhkan. Peserta didik yang di awal masa belajar langsung mendapati kesulita besar yang sulit untuk dihadapi dengan level kompetensi mereka yang belum matang, akan cenderung memiliki kesan negative terhadap pengalaman belajar. Sajikan pembelajaran yang menarik, menyenangkan, namun juga membuat mereka percaya diri bahwa mereka bisa. Berikan tantangan-tantangan kecil yang bisa mereka hadapi. Sembari meningkatkan level kemampuan mereka, naikkan level tantangan yang harus mereka hadapi, seperti tugas kelompok yang disesuaikan dengan level kompetensi mereka. Tantangan belajar yang terlalu mudah akan membuat mereka bosan. Tantangan belajar yang terlalu sulit akan membuat mereka gelisah dan merasa tidak nyaman. Sementara tantangan yang seimbang dengan level kemampuan mereka akan semakin memupuk rasa percaya diri mereka.

Keempat, jadikan setiap pengalaman penilaian terasa menyenangkan. Ada dua jenis penilaian, penilaian formatif (assessment for learning), dan penilaian sumatif (assessment of learning). Penilaian formatif dilsayakan dengan tujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran. Sementar penilaian sumatif dilsayakan untuk menguji sejauh mana kompetensi peserta didik atas suatu mata pelajaran yang dibuktikan oleh nilai yang mereka raih. Apakah bisa penilaian tersebut dlaksanakan secara menyenangkan? Jawabannya adalah bisa. Untuk tes formatif, agar menyenangkan, pendidik bisa mencoba menggunakan teknologi pendidikan seperti aplikasi quiziz, kahoot, dsb. Berdasarkan pengalaman penggunaan teknologi tersebut, peserta didik tampak sangat menikmati proses penilaian formatif tersebut. Disamping mendapatkan pemahaman melalui proses evaluasi, mereka juga mendapatkan fun. Untuk penilaian sumatif, pendidik perlu memastikan bahwa soal yang dibuat sesuai dengan apa yang telah diajarkan kepada peserta didik. Sebelum dilaksanakan penilaian, pendidik perlu memastikan bahwa peserta didik memahami konsep yang diajarkan melalui pembahasan secara kolektif atas materi yang dianggap sulit.

Tidak semua proses bisa berjalan mulus dan memberikan hasil yang sempuurna. Ide-ide yang dijabarkan dalam tulisan ini tentang cara membantu peserta didik mencapai pengalaman ‘flow’ dalam belajar mungkin tidak speenuhnya efektif. Namun dengan proses yang benar, maka ada kesempatan untuk peserta didik mencapai ‘flow’ dalam belajar. Itulah tugas kita sebagai pendidik. Yaitu mengusahakan terciptanya pengalaman belajar yang terbaik bagi peserta didik, agar mereka mencapai ‘flow’. Dicapainya pengalaman ‘flow’ dalam belajar memungkinkan peserta didik menjadi long life learners. Itu lah tujuan sejati dari pendidikan di sekolah.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar