Berpengalaman sebagai pelajar dan pendidik, saya telah mengamati satu fenomena
yang cukup menarik, namun orang seringkali take it for granted.
Fenomena tersebut adalah berupa attitude seseorang dalam belajar. Ada
orang-orang yang bisa menghabiskan waktu lama untuk belajar tanpa merasa bosan.
Di sisi lain, ada orang yang jangankan belajar lama, melihat piranti-piranti
yang berkaitan dengan belajar seperti buku, atau media belajar lainnya saja sudah merasa jengah. Sekalinya belajar sedikit lama, hal tersebut
dilakukan karena terpaksa. Contohnya belajar karena adanya Ujian Akhir Sekolah.
Ada rasa takut kalau-kalau gagal dalam ujian. Juga ada harapan bahwa kalau
berhasil dalam ujian maka akan mendapatkan nilai bagus. Hal tersebut
mencerminkan tipikal praktik dari teori behaviorisme.
Tulisan ini tidak akan banyak membahas tentang alasan mereka yang
tak tertarik untuk lama belajar, karena hal tersebut cukup mudah ditebak.
Kurangnya minat, rendahnya motivasi, dan kurangnya dukungan eksternal, umumnya
menjadi faktor penyebab rendahnya intensitas belajar. Mungkin lebih mudah untuk
saya menemukan orang-orang yang malas untuk berlama-lama belajar, ketimbang
mereka yang lama bertahan untuk belajar.
Yang menarik untuk dibahas adalah kenapa orang mau berlama-lama
belajar tanpa paksaan maupun keterpaksaan. Di sini saya teringat sebuah konsep
dalam ilmu psikologi yang disebut ‘flow’. Secara harfiah kata ‘flow’
bermakna mengalir. Konsep tersebut diperkenalkan oleh seorang psikolog kenamaan
asal Hungaria yang mengajar di Universitas Chicago, Amerika, bernama Mihayli
Csekszentmihalyi. Munculnya konsep ‘flow’ berasal dari rasa penasarannya
terhadap orang-orang yang begitu menikmati melakukan suatu aktivitas. Mereka
mau melakukan aktivitas-aktivitas tersebut berlama-lama tanpa menghiraukan
terpakainya waktu, tenaga, pikiran atau bahkan biaya, hal yang orang lain tidak
mau atau mampu untuk melakukannya.
Csekszentmihalyi melakukan wawancara kepada beberapa seniman,
musisi, dan atlit untuk mengetahui kapan mereka memiliki pengalaman berada pada
puncak performa mereka. Dia juga ingin mengetahui kenapa mereka bisa mengalami
hal tersebut. Jawaban yang mereka sampaikan pada umumnya adalah ‘it just
flows’. Kurang lebih artinya adalah bahwa hal tersebut mengalir begitu saja. Dari
situ lah konsep ‘state of flow’ muncul. Csekszentmihalyi mendefinisikan konsep
“flow” sebagai sebuah kondisi ketika seseorang melakukan suatu hal dengan enjoy
penuh kesadaran dan tanpa paksaan, dan bahkan untuk melakukan aktivitas
tersebut mereka menganggap bahwa tergunakannya waktu, tenaga pikiran dan
lain-lain terasa tidak menjadi masalah.
Berbagai studi terus dilsayakan oleh Csekszentmihalyi untuk
mendapatkan jawaban atas alasan orang mengalami ‘flow’. Dari studi yang dia
lsayakan, dia menyimpulkan bahwa ‘flow’ bisa dialami seseorang ketika level
tantangan atas aktivitas yang dilsayakan seimbang dengan level kemampuan yang
dimiliki seseorang untuk melakukan hal tersebut. Apabila seseorang melakukan
hal dengan level kesulitan tinggi, sementara kemampuannya menghadapi kesulitan
tersebut rendah, maka akan muncul rasa gelisah, tak nyaman, dan tidak tertarik.
Dalam kondisi tersebut, orang enggan untuk berlama-lama melakukan aktivitas
tersebut, karena tentunya tidak bisa menikmatinya. Sementara, ketika level
kesulitan atas aktivitas yang dilsayakan terlalu rendah dibandingkan dengan
level kemampuan yang dimiliki seseorang untuk melakukan aktivitas tersebut,
maka akan ada rasa bosan, yang membuat orang tersebut juga enggan
untuk berlama-lama melakukan aktivitas tersebut. Analogy sederhananya, seorang
pemain game FIFA pemula tentu tidak akan menikmati permainan dengan game yang
levelnya expert. Sementar pemain game FIFA yang sudah lihai juga akan merasa
bosan untuk memainkan game FIFA level beginner.
Unutk mencapai kondisi ‘flow’, kata Csekszentmihalyi, harus ada
keseimbangan antara level kesulitan atas tantangan yang dihadapi dengan level
kemampuan yang dimiliki. Ini menjadi catatan penting bagi para pendidik. Dari
konsep flow ni, kita sebagai pendidik bisa memahami tentang kenapa sikap
belajar peserta didik berbeda-beda. Ada yang terlihat antusia, mau berlama-lama
melakukan aktivitas pembelajaran. Sementara ada pula yang merasa malas untuk
berlama-lama melakukan aktivitas belajar. Menyatakan bahwa hal tersebut
disebabkan oleh perbedaan level motivasi, tidak lah cukup. Ada alasan ilmiah
yang perlu dielaborasi dan dicari solusinya.
Dari konsep ‘flow’ tersebut, kita bisa memahami tentang perlunya
membantu peserta didik untuk meningkatkan level kemampuan dan pemahaman mereka
atas suatu mata pelajaran yang mereka pelajari. Di saat yang sama, kita juga
perlu menyesuaikan level kesulitan atas aktivitas-aktivitas penilaian yang
harus mereka hadapi dengan level kemampuan yang mereka miliki. Dengan begitu,
mereka bisa mengalami kondisi ‘flow’. Kondisi flow tersebut lah yang membuat
proses belajar efektif.
Lantas, bagaimana caranya kita membantu peserta didik mencapai
flow sementara mereka memiliki level kemampuan yang beragam? Ini adalah
pertanyaan penting yang cukup menantang. Peserta didik adalah individu yang
memiliki keberagaman karakter, level motivasi, bahkan latarbelakang. Semua itu
berpengaruh terhadap pencepaian ‘flow’ mereka dalam belajar. Menyikapi
keberagaman level kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik, ada beberapa hal
yang perlu dilsayakan oleh pendidik. Ide-ide berikut sangat
relevan untuk menyikapi tantangan tersebut.
Pertama, pendidik perlu melakukan needs analysis di setiap awal
masa pembelajaran di sekolah. Needs analysis adalah sebuah praktik yang
dilsayakan oleh pendidik untuk mengetahui karakter, kebutuhan, dan level
kompetensi awal peserta didik pada suatu mata pelajaran. Contohnya needs
analysis yang dilsayakan pada mata pelajaran Bahasa Inggris. Dari needs
analysis yang dilsayakan, pendidik bisa mengetahui tentang gaya belajar peserta
didik, level kemampuan berbahas inggris mereka, persepsi mereka terhadap
pelajaran bahasa Inggris, ide-ide belajar yang mereka sarankan untuk
diterapkan, serta harapan yang mereka miliki atas aktivitas belajar bahasa
inggris yang akan mereka lsayakan.
Kedua, pendidik perlu melakukan pendekatan personal terhadap
peserta didik. Mengetahui progress dan kesulitan yang dialam oleh peserta didik
sangat lah penting. Pendidik perlu mengecek satu persatu peserta didik. Memang
ini cukup menantang untuk dilsayakan, terlebih dalam kelas besar, dimana jumlah
peserta didik sangat banyak. Namun demikian, bukan berarti hal tersebut tidak
mungkin untuk dilsayakan. Memang ini sudah menjadi bagian dari tugas pendidik,
yaitu membantu semua peserta didik untuk belajar secara efektif.
Ketiga, pendidik perlu menyajikan pembelajaran yang menyenangkan
dan menumbuhkan keyakinan peserta didik bahwa mereka bisa. Sense of ability itu
sangat penting untuk ditumbuhkan. Peserta didik yang di awal masa belajar
langsung mendapati kesulita besar yang sulit untuk dihadapi dengan level
kompetensi mereka yang belum matang, akan cenderung memiliki kesan negative
terhadap pengalaman belajar. Sajikan pembelajaran yang menarik, menyenangkan,
namun juga membuat mereka percaya diri bahwa mereka bisa. Berikan
tantangan-tantangan kecil yang bisa mereka hadapi. Sembari meningkatkan level
kemampuan mereka, naikkan level tantangan yang harus mereka hadapi, seperti
tugas kelompok yang disesuaikan dengan level kompetensi mereka. Tantangan
belajar yang terlalu mudah akan membuat mereka bosan. Tantangan belajar yang
terlalu sulit akan membuat mereka gelisah dan merasa tidak nyaman. Sementara
tantangan yang seimbang dengan level kemampuan mereka akan semakin memupuk rasa
percaya diri mereka.
Keempat, jadikan setiap pengalaman penilaian terasa menyenangkan.
Ada dua jenis penilaian, penilaian formatif (assessment for learning), dan
penilaian sumatif (assessment of learning). Penilaian formatif dilsayakan
dengan tujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran. Sementar penilaian sumatif
dilsayakan untuk menguji sejauh mana kompetensi peserta didik atas suatu mata
pelajaran yang dibuktikan oleh nilai yang mereka raih. Apakah bisa penilaian
tersebut dlaksanakan secara menyenangkan? Jawabannya adalah bisa. Untuk tes
formatif, agar menyenangkan, pendidik bisa mencoba menggunakan teknologi
pendidikan seperti aplikasi quiziz, kahoot, dsb. Berdasarkan pengalaman
penggunaan teknologi tersebut, peserta didik tampak sangat menikmati proses
penilaian formatif tersebut. Disamping mendapatkan pemahaman melalui proses
evaluasi, mereka juga mendapatkan fun. Untuk penilaian sumatif, pendidik perlu
memastikan bahwa soal yang dibuat sesuai dengan apa yang telah diajarkan kepada
peserta didik. Sebelum dilaksanakan penilaian, pendidik perlu memastikan bahwa
peserta didik memahami konsep yang diajarkan melalui pembahasan secara kolektif
atas materi yang dianggap sulit.
Tidak semua proses bisa berjalan mulus dan memberikan hasil yang
sempuurna. Ide-ide yang dijabarkan dalam tulisan ini tentang cara membantu
peserta didik mencapai pengalaman ‘flow’ dalam belajar mungkin tidak speenuhnya
efektif. Namun dengan proses yang benar, maka ada kesempatan untuk peserta
didik mencapai ‘flow’ dalam belajar. Itulah tugas kita sebagai pendidik. Yaitu
mengusahakan terciptanya pengalaman belajar yang terbaik bagi peserta didik,
agar mereka mencapai ‘flow’. Dicapainya pengalaman ‘flow’ dalam belajar
memungkinkan peserta didik menjadi long life learners. Itu lah
tujuan sejati dari pendidikan di sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar