Jumat, 28 Oktober 2016

PENDIDIKAN, BAGAIMANA KABARMU?


Gambar: https://s-media-cache-ak0.pinimg.com
Andai semua mata pelajaran di sekolah diajarkan secara kontekstual dikaitkan dengan dinamika dalam kehidupan nyata, maka semestinya sekolah sudah cukup untuk menjadi laboratorium pembentukan intelektualitas, karakter, dan kompetensi siswa. Bayangkan jika pelajaran Ekonomi mampu menjadikan siswa cerdas secara finansial, dan mengasah kemampuan siswa membaca serta memanfaatkan peluang ekonomi, maka tentu mereka akan menjadi pribadi-pribadi yang mandiri secara ekonomi di masa depannya. Bayangkan jika pelajaran sosiologi dan kewarganegaraan (PKn) mampu menjadikan siswa memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi, dengan cara berorientasi menjadi pribadi yang toleran, taat hukum, serta mampu memahami hak-hak serta kewajiban mereka sebagai bagian dari bangsa. Bayangkan jika pelajaran agama mampu menjadikan siswa pribadi yang berakhlak baik (akhlaqul karimah) sesuai dengan yang diajarkan oleh Agama. Bayangkan jika pelajaran matematika mampu menjadikan siswa memiliki kemampuan problem solving yang mumpuni, yang bisa dijadikan sebagai bekal menghadapi berbagai tantangan kerumitan dalam kehidupan. Bayangkan jika ilmu-ilmu sains seperti fisika, kimia, dan biologi mampu menjadikan siswa menemukan berbagai hal berharga baik yang berskala kecil maupun besar yang berguna bagi kehidupan umat manusia sebagaimana para ilmuwan telah melakukannya. Begitu pula dengan pelajaran yang termasuk dalam muatan lokal. Bahasa daerah, Misalnya. Bayangkan jika pelajaran bahasa Jawa mampu menjadikan siswa memahami bahasa, budaya dan mengilhaminya, tentunya soal tata krama tak perlu lagi menjadi hal yang mengkhawatirkan. 

Masalahnya adalah pendekatan pembelajaran mata pelajaran tersebut seringkali salah orientasi. Misorientasi tersebut ironisnya didukung oleh sistem dan aturan yang mengikat pendidik. Di sana ada kurikulum beserta derivasinya yang menjadi guideline bagi pendidik untuk melaksanakan proses belajarn mengajar di sekolah. Pelajaran ekonomi akuntansi berisi tentang cara menghitung faktur penjualan, alih-alih menyadarkan siswa agar memiliki financial literacy. Maka jangan heran jika yang bermunculan adalah pribadi-pribadi yang mampu menghitung neraca perdagangan namun tak tau bagaimana  memanfaatkan peluang untuk menghasilkan uang. Pelajaran Agama, sosiologi, Pendidikan Kewarganegaraan masih seputar menghafalkan informasi-informasi. Maka jangan heran jika banyak individu yang hafal berbagai hal namun miskin integritas. Itu baru contoh beberapa mata pelajaran yang diajarkan dengan pendekatan yang salah orientasi. 

Proses pendidikan seringkali salah orientasi. Ujian nasional yang sedianya dijadikan sebagai salah satu alat untuk mengukur keberhasilan pendidikan secara numerik justru dijadikan sebagai tujuan utama proses pembelajaran di sekolah. Sehingga, pembelajaran di kelas persis seringkali hanya seputar menghafalkan informasi, latihan memilih jawaban yang benar,  yang ujung-ujungnya ditujukan untuk mencapai nilai yang memuaskan. Bayangkan, siswa menghabiskan beberapa tahun untuk dididik di sekolah, namun yang mereka peroleh hanya seputar informasi yang mereka hafal, serta angka-angka yang tertulis di beberapa lembar laporan yang diyakini banyak orang sebagai cerminan hasil belajar. Akhirnya, pendidikan berkutat pada angka. Mengerikan, bukan?

Pendidikan itu sangat penting. Pendidikan formal di sekolah juga sangat penting. Hanya saja, bagaimana proses pendidikan tersebut didesain agar tepat orientasi, itu yang harus menjadi perhatian utama. Mungkin hal itu menjadi domain pemerintah yang mendesain kebijakan. Namun, biar bagaimanapun pendidik adalah pihak yang bersinggungan langsung dengan peserta didik. Mereka memiliki posisi yang sangat strategis dalam menjalankan proses pendidikan di sekolah. Mereka memiliki wewenang untuk mendesain proses pembelajaran. Maka, semestinya mereka memahami bagaimana pelajaran yang ada seharusnya diajarkan sesuai dengan konteks perkembangan kehidupan. Sehingga, para siswa menjadi individu yang siap, dengan segala kompetensi yang dimiliki, untuk menjadi bagian dari solusi dalam kehidupan.Yang jelas, pendidikan semestinya mampu menciptakan individu-individu yang mampu mencari berbagai alternatif dalam menghadapi tantangan kehidupan. Pendidikan seharusnya mampu mendorong munculnya kreativitas individu, yang berguna bagi kehidupan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar