Senin, 24 Oktober 2016

Negeri salah orientasi

Konon negeri ini (Indonesia) adalah negeri yang bikin orang luar bak serigala meneteskan liur ketika melihat ayam. Sumber daya alamnya jadi potensi untuk dieksplorasi. Sumber daya manusianya jadi potensi untuk dipekerjakan secara murah sekaligus jadi pangsa pasar. Di negeri ini pula produk2 luar negeri bisa menghegemoni, memonopoli sekaligus jadi raja di negeri ini tanpa terusik sedikit pun. Satu ilustrasi, di negeri ini, saya sering menemukan di hampir semua toko yang namanya show case minuman dingin yang ada hanya yang ber-merk Co#a Col#. Sementara di Jepang tak ada monopoli se ironis itu. Sangkin menjanjikannya banyak orang berkewarganegaraan luar rela merantau ke negeri ini dan merubah status kewarganegaraannya menjadi WNI demi memperoleh bongkahan-bongkahan ‘emas’ yang tak perlu digali terlalu dalam. Mereka mengeruk banyak kekayaan lalu menyimpan dan membelanjakan hartanya di luar negeri.

Sementara kita rakyat pribumi tak sadar bahwa kita hidup di sebuah negara yang bergelimang karunia. Benar kata pepatah, seringkali memandang sesuatu dari kejauhan jauh lebih jelas dan gamblang daripada memandangnya dari jarak dekat. Kita sudah berlarut-larut meributkan kasus korupsi bernilai milyaran, atau ratusan milyar, meski tak kunjung reda karena tumpulnya hukum di negeri ini. Namun kita tak pernah mikir bahwa tiap hari kekayaan alam dan banyak potensi negeri ini digondol maling berdasi dari luar negeri yang justru mendapat tempat terhormat di negeri ini.

Kita terbiasa terjebak pada berpikir kerdil. Kasus Kopi sianida dengan aktor utama Jessica-Mirna berlama-lama menghiasi pemberitaan di berbagai media. Sementara hal yang lebih layak diperhatikan seperti derasnya arus impor barang-barang seperti bawang putih, ikan, daging, beras, dan sebagainya yang menyebabkan matinya ekonomi kerakyatan dalam negeri alpa dari perhatian. Sedih sekali ketika pagi ini baca berita sebuah situs online bahwa impor bawang putih sudah mencapai porsi 97% dari total kebutuhan nasional. Artinya, petani dalam negeri hanya menyuplai 3%nya. Itu baru satu produk impor. Lantas, ada yang menyeletuk ‘’Salah sendiri kenapa para petani tak berbenah diri memperbaiki manajemen produksi’’. Hello! Petani itu bagian dari negeri ini, dan negeri ini mempunyai pemimpin yang seharusnya peka dan cepat tanggap dalam membantu keberlangsungan nafas ekonomi mereka. Tidak butuh kecerdasan tinggi kalo hanya impor-impor dan impor. Mukidi pun pasti bisa jadi pemimpin kalo yang dilakukan hanya bukan keran impor. 

Makin hari, segala sendi kehidupan kita makin didikte oleh media. Hukum berjalan berdasarkan arus opini arahan media. Berita-berita sesat mudah menjadi viral media. Opini masyarakat pun terbentuk oleh media. 


Kapan negeri ini bisa menyadari bahwa kita adalah bangsa yang besar. Negara-negara lain menggunakan sentimen sejarah peradaban di masa lalu sebagai penyemangat untuk memupuk keyakinan atas identitas kebesaran negeri mereka. Contoh, Turki. Betapa rakyat di negeri itu sekarang sedang mengalami rasa percaya diri yang begitu besar setelah pemimpinnya mampu menyengat keyakinan bahwa mereka adalah negara besar, layak menjadi besar, dan merupakan pewaris dari sebuah peradaban besar. Apakah kita harus memiliki sejarah peradaban besar dahulu untuk meyakini bahwa kita bisa besar? Hello? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar