Selasa, 18 Oktober 2016

Belajar memaklumi diri sendiri



Sumber foto: http://2.bp.blogspot.com
Entah sindrom psikologis apa yang sedang aku idap. Hampir setiap dihadapkan pada deadline menyelesaikan suatu tugas, rasa khawatir muncul berlebihan. Seperti yang sedang aku alami sekarang, dimana aku harus mempersiapkan diri untuk mempresentasikan suatu makalah di hadapan banyak orang di forum guru bahasa Inggris Tohoku. Sebenarnya, ini adalah sebuah gejala psikologis yang menarik untuk ditelaah, dan ditemukan penyebab serta solusinya. Aku merasa begitu tersiksa. Setiap kali melangkah untuk menuntaskan urusan tersebut, aku merasa selalu ada yang kurang. Perasaan takut salah, keliru, ditertawakan, hasilnya kurang bagus, dikritisi, dan perasaan2 negatif lainnya membuat aku tak efektif dalam memanfaatkan waktu untuk menyelesaikan urusan tersebut. Pada saat seperti itu, yang aku lakukan adalah berhenti, menunda, dan selalu menunda. Ada efek ketenangan sesaat yang aku rasakan ketika berhenti dan menunda.

Akhirnya, lagi-lagi aku terjebak oleh procrastination syndrom. Aku jadi merasa nyaman dengan menunda, namun dampak negatifnya terakumulasi dan akan harus aku rasakan di kemudian hari. Sungguh tak enak ketika konsekuensi tersebut datang. Sulit rasanya untuk percaya bahwa di usia se dewasa ini aku masih mengalami gejala psikologis yang semestinya sudah lama aku mampu menanganinya. Ah…mungkin itu perasaanku saja. Barangkali, banyak juga orang lain yang mengalami hal demikian. 

Biar bagaimanapun, aku harus mampu mengatasi masalah ini sendiri. Semakin lama masalah ini tertangani, maka semakin lama pula aku terlepas dari siksaan yang bikin nyeri psikologis. Aku harus mampu meyakinkan diri sendiri. Aku mulai belajar tentang memaklumi diri sendiri. Memaklumi apapun hasil kerja sendiri, meski kadang itu sulit. Boleh jadi, hal ini ada hubungannya dengan awal kehidupanku di masa kanak-kanak/remaja. Dalam ilmu psikologi diseutkan bahwa pengalaman yang ada pada masa awal kehidupan cenderung berdampak terhadap periode kehidupan selanjutnya, yaitu pada masa dewasa. 

Aku harus mengangguk bahwa memang pada kenyataannya aku memiliki pengalaman kurangnya mendapatkan apresiasi di masa awal kehidupan dari lingkungan sekitarku. Dulu, aku terbiasa mendapatkan tuntutan untuk melakukan pekerjaan kasar. Ketika aku gagal memenuhi ekspektansi, maka aku kena marah. Namun ketika aku berhasil memenuhi ekpektansi, tak jua aku hampir bisa dikatakan sangat jarang mendapatkan apresiasi meski hanya dengan sepatah kata. Tapi itu tak boleh kujadikan sebagai kambing hitam atas masalah ku ini. Aku harus mampu memotivasi diri sendiri. 

Aku harus belajar memaklumi diri. Kesannya lucu. Biasanya kata memaklumi itu lekat disematkan pada orang lain. 
‘’Menghargai orang lain’’ 
‘’Memaklumi orang lain’’
‘’Bersikap toleran terhadap orang lain’’
Umumnya begitu. Namun, rasanya, sikap memaklumi, menghargai, dan bersikap toleran harus aku berikan kepada diriku sendiri. Aku harus memaklumi apapun hasil usaha ku sendiri. Aku harus menghargai seperti apapun kemampuanku sendiri. Aku harus memberikan toleransi terhadap kesalahan, kekeliruan, kekurangan, dan ketidaksmepurnaan atas apapun yang ada pada diriku sendiri. Bahkan, aku harus membela diriku sendiri, ketika orang lain bersikap ofensif terhadap diriku dan segala performaku. 

Siapapun yang membaca tulisan ini, semoga bisa mendapatkan pesan berharga untuk kebaikan pada diri mereka. Bahwa kita memang harus memaklumi, menghargai, dan bersikap toleran terhadap diri sendiri atas segala karya kita. Sikap selalu menuntut kesempurnaan atas karya kita hanya akan melahirkan perfeksionisme yang biasanya berujung pada procrastination atau kebiasaan menunda. Kenapa orang yang perfeksionis suka menunda? Karena dalam hatinya mereka berpikir bahwa dengan menunda mereka akan menuju pada saat dimana kesempurnaan bisa mereka capai. Padahal, kesempurnaan relatif hanya dapat dicapai setelah diri kita mau berproses dan selalu memperbaiki diri. Sebenarnya, lebih penting efektivitas ketimbang kesempurnaan. Lebih penting membiasakan diri untuk menyelesaikan suatu urusan secara tepat waktu, atau sebelum waktunya, ketimbang menghabiskan banyak waktu untuk mengerjakan suatu urusan dengan berharap suatu saat nanti akan sempurna. Setelah kita memiliki efektivitas dalam menyelesaikan urusan, baru kita berproses untuk makin memperbaiki usaha kita. 


Bismillah. Aku berniat untuk berubah menjadi jauh lebih baik.

Sumber gambar:http://4.bp.blogspot.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar