Sabtu, 08 Oktober 2016

BEDA BUDAYA, BEDA SUASANA KELAS

Discussion session 



Saya pernah berkesempatan melakukan observasi kelas bahasa inggris di beberapa sekolah dari dua negara dengan latar belakang budaya yang berbeda, Australia dan Jepang. Australia identik dengan budaya barat, dimana masyarakatnya cenderung bersikap terbuka dan ekspresif dalam berkomunikasi maupun berperilaku. Sementara Jepang identik dengan kultur oriental, dimana masyarakatnya cenderung malu-malu dan penuh perhitungan dalam berkomunikasi dan bersikap. 

Di kelas bahasa inggris khusus untuk anak-anak imigran di Harristown State Highschool  dan Darling Heights State School (Queensland, Australia), para siswa cenderung terlihat aktif partisipatif di dalam kelas. Tak jarang mereka berebut kesempatan untuk menunjukkan kemampuan mereka ketika ada kesempatan untuk unjuk kemampuan. Mereka begitu aktif bertanya, hingga guru yang mengajar benar-benar dituntut untuk mengatur jatah kesempatan bertanya secara bijak. Mereka seperti kecanduan untuk bertanya, dan unjuk kemampuan. Situasi tersebut benar-benar menggambarkan betapa  besarnya need of achievement yang dimiliki oleh para siswa. 

Suasana yang cukup berbeda terjadi pada kelas bahasa inggris di beberapa kelas di Jepang yang pernah saya observasi. Kelas disana tak lekat dengan atmosfir berupa aktifnya siswa untuk berebut kesempatan bertanya dan berunjuk kemampuan sebagaimana yang terjadi di Australia. Mereka cenderung malu-malu ketika diberi kesempatan untuk bertanya, meskipun beberapa diantaranya bersedia tampil untuk mengambil kesempatan tersebut. Namun, ada hal yang luar biasa. Ketika mereka diberi kesempatan untuk berdiskusi dengan teman kelas mereka secara berkelompok, mereka begitu aktif partisipatif. Ketika mereka diminta untuk mempresentasikan suatu hal di depan kelas, mereka umumnya mampu melakukannya secara percaya diri. 


PERSAMAAN yang ada pada kelas-kelas di dua negara yang saya amati tersebut adalah, ADANYA APRESIASI DARI PARA SISWA DAN GURU TERHADAP APAPUN PERFORMA YANG DITUNJUKKAN OLEH SISWA. Ketika siswa tampil di depan kelas, kesalahan/kekeliruan dari siswa tersebut yang saya kira akan memicu gelak tawa ternyata justru direspon dengan sikap penuh empati oleh siswa yang lain. 

Saya jadi teringat dengan pengalaman masa sekolah. Bertanya, apalagi tampil di depan kelas adalah sesuatu yang ‘horror’ bagi saya. Ada rasa takut luar biasa kalau-kalau berbuat salah. Gelak tawa dari teman-teman kelas bahkan kadang dari guru bakal mimpi buruk yang menyiutkan nyali, dan sangat mendemotivasi diri. Tampil di kelas terasa seolah seperti pertaruhan harga diri. Hanya kalau dalam keadaan benar-benar siap, saya berani unjuk gigi. Namun jarang sekali memiliki keadaan yang benar-benar siap. 

Entah sejak kapan saya mendapati suasanya gersangnya apresiasi di kelas pada saat sekolah dulu. Barisan kursi paling belakang biasanya menjadi tempat favorit bagi mereka yang fobia tampil di depan. Meski tak selalu mampu menghindarkan diri dari penunjukan oleh guru untuk tampil, namun setidkanya duduk di belakang mampu menimbulkan efek psikologi kontemporer berupa rasa aman bisa berlindung di belakang teman yang duduk di depannya. Sayangnya, guru terlalu cerdas untuk dikelabui melalui posisi duduk. Ditunjuk untuk maju terasa seperti sebuah kesialan. Itu dulu.


Guru memang perlu menciptakan atmosfir yang penuh apresiasi di kelas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar