Selasa, 05 Juli 2016

Menjadi Guru Pembelajar



Kali ini aku ingin menulis tentang guru. Bukan pada aspek problematika menjadi guru, tugas-tugas administrasi guru, atau aspek kesejahteraan, sebagaimana yang seringkali menjadi topik mainstream dalam berbagai pemberitaan mengenai guru, melainkan pada aspek hakikat sebenarnya seorang guru, dan bagaimana seharusnya guru bermindset. 
Picture taken from www.quotesgram.com

Aku menjadi guru adalah pilihan, dan itu merupakan pilihan utama. Jujur, bukan bermaksud bersikap hipokrit, namun aku berkeinginan menjadi guru sejak aku mengenyam pendidikan di bangku sekolah Menengah Pertama, agar bisa menjadi pencerah bagi generasi yang aku didik. Akhirnya, kesampaian juga menjadi guru. Kini, sudah 7 tahun aku berprofesi menjadi guru. Jadi, cukup paham lah dinamikan yang ada pada dunia keguruan. 
Guru adalah profesi yang memiliki tugas yang sangat mulia. Profesi lain boleh lah mengatakan demikian, bahwa tugas mereka juga mulia. Namun perlu diingat, bahwa sebagian besar manusia dengan berbagai latar belakang profesinya pernah mengenyam pendidikan formal dan dididik oleh guru. Itu shahih, tak bisa disangkal. Guru lah yang pernah mendidik generasi yang di masa-masa berikutnya ada yang menjadi presiden, pengusaha sukses, arsitek, teknisi, menteri, pemimpin partai, dokter, dan sebagainya. Jadi, bukan main-main profesi guru ini. Begitu bukan main-mainnya profesi guru ini, selayaknya yang menjadi guru adalah mereka yang benar-benar memiliki dedikasi tinggi dan memiliki kemampuan kuat untuk mendidik dengan baik. 
Di indonesia, menjadi guru itu mudah. Ada yang berbekal ijasah Sekolah menengah bisa menjadi guru. ada yang berbekal kuliah di perguruan tinggi yang cabangnya banyak hingga berada di kecamatan-kecamatan bisa menjadi guru. Ada yang berbekal ilmu yang diperoleh di perguruan tinggi yang jam perkuliahannya hanya dua hari, sabtu dan minggu, yang kadang cukup absen saja yang penting datang saat ujian akhir, bisa menjadi guru.  Ada pula yang bersusah payah utuk masuk ke perguruan tinggi yang memiliki reputasi besar dalam menggembleng calon tenaga kependidikan, akhirnya lulus dan menjadi guru. “Banyak jalan menuju roma”. Kira-kira begitu pepatahnya. Ironis, menurutku, bahwa orang banyak yang menjadi guru berbekal ilmu yang seadanya. 
Ada orang yang menjadi guru dengan niat benar-benar ingin menjadi pendidik. Ada orang yang menjadi guru dengan awal niat untuk menadi pegawai negeri sipil yang memiliki gaji tetap tiap bulannya. beda niat, tentunya mempengaruhi hasil. Mereka yang menjadi guru dengan niat ingin menjadi pendidik sejati biasanya memiliki kecenderungan untuk terus belajar dan memperbaiki kualitas diri. Sementara, mereka yang niatan awalnya sekadar ingin menjadi pegawai biasanya tak memiliki semangat memperbaiki kualitas diri yang tinggi. Begitu sudah diangkat jadi pegawai, begitu sudah dapet kondisi nyaman mendapatkan gaji tetap, performanya dibiarkan biasa-biasa saja. “ngapain lah repot-repot memperbagus kualitas performa mengajar, toh juga pendapatan bulanannya tetep sama antara yang rajin dan biasa”. Begitulah kira-kira prinsip yang dianut. Parahnya, dunia kepegawaian memang tak memiliki sistem reward dan punishment yang efektif untuk meningkatkan kinerja pegawai. Guru yang berkeinginan untuk memperbaiki kompetensi diri dan memperbiaki kinerja kadang patah arang duluan, karena sadar upayanya tak akan berbuah reward sepadan. Maklum laah, manusia kan memang makhluk yang pamrih dan haus akan penghargaan. 
Aku pernah berada pada suatu masa dimana ketika sekolah aku diajar oleh guru yang menggunakan buku referensi yang itu-itu saja. Parahnya, seringkali kami diharuskan mencatat dengan di dikte apa yang ada pada buku yang jadi pegangan guru tersebut. Lusuhnya buku yang jadi referensi guru tersebut menggambarkan betapa ia telah lama dipakai. nalar kritisku gak nyampe waktu itu. Seharusnya aku protes kenapa aku disuapi informasi-informasi (pengetahuan) yang monoton sumbernya seperti itu. Bukankah di sekolah kami selayaknya mempelajari tentang hidup, dan hidup itu luas, berkembang, penuh dinamika. kenapa sang guru tersebut tak mengadirkan dinamika tersebut ke ruang kelas kami, malah seolah mempersempit jangkauan belajar kami. Mungkin guru bisa beralasan bahwa Ilmu itu tak lekang oleh waktu. Benar sekali, tapi bukan berarti bahwa kita membatasi diri dengan sumber belajar. Mustinya anak didikdibukakan seluas-luasnya pintu menuju berbagai akses sumber belajar. Kasihan sekali jika terus-terusan para anak didikharus mendapatkan asupan ilmu yang kadang sudah ketinggalan jaman. Smenntara mereka adalah generasi baru yang hidup di era yang apapun serba berkembang dan berubah begitu pesatnya. 
Kondisi belajar di sekolah yang berlangsung seperti itu sepertinya hanya melahirkan generasi fotokopi, yang hanya mampu menghafal, mencatat, dan menuangkannya ketika ada ujian. Namun aku bersyukur. Setidaknya pengalaman menjadi anak didikmenjadikan aku semakin memahami apa yang semestinya dilakukan oleh guru agar benar-benar mencapai fungsinya sebagai pendidik. 
Sebagai pendidik, tugas guru itu benar-benar kompleks. Guru adalah kepanjangan tangan dari sistem pendidikan. Sebagus apapun kurikulum didesain, sebanyak apapun anggaran ditambah untuk penyelenggaraan pendidikan, sebagus apapun gedung-gedung sekolah dibanun, jika kualitas guru tak mumpuni, maka semuanya akan sia-sia. Domain pekerjaan guru itu sangatbanyak. Ada hubungannya dengan psikologi. Ada hubungannya dengan karakter. Ada hubungannya dengan kognisi. Semua itu membutuhkan bekal banyak untuk menjalaninya. anak didik datang ke sekolah dengan kondisi yang beraneka ragam. Sebagian ada yang sudah membawa semangat untuk belajar. Sebagian lainnya ada yang tak memiliki motivasi sama sekali untuk belajar karena pengaruh lingkungan. Sebagian ada yang pembawaannya baik, berkarakter baik. Sebagian ada yang memiliki karakter yang butuh pembenahan. Jika ada guru yang berpikir bahwa tugas mereka adalah mentransfer ilmu, maka sayang sekali, itu pikiran yang keliru. Andai boleh jujur, urusan ilmu, sepertinya perkembangan teknologi sudah mampu untuk menjawabnya. Sumber-sumber belajar sudah semakin banyak, seiring dengan perkembangan teknologi. Banyak orang yang bisa berkomunikasi dalam bahasa asing hanya dengan belajar dengan mengandalkan youtube, artikel-artikel materi yang mudah dicari via google, dan dengan mempraktikkan bahasa tersebut dengan teman virtual mereka. Kemudahan akses teknologi informasi juga memudahkan orang untuk mempelajari materi-materi lainnya seperti matematika, ilmu sosial, sains, dan sebagainya. Jika demikian, lantas apa peran guru sebenarnya? Apakah hanya tentang merancang, melaksanakan, dan melakukan evaluasi pembelajaran seperti yang biasanya dilakukan yang hanya menyentuh sisi formalitas saja? Itulah yang layak menjadi bahan renungan para guru. 

Belajar tentang cara belajar

Ketika jadi siswa, aku dulu paling sebel ketika guru berceramah bahwa kami harus belajar dengan rajin, dengan giat, agar nilainya bagus. Sementara aku sendiri tak tau bagaimana caranya belajar. Setahuku, belajar itu hanyalah membaca buku, menghapalkan poin-poin yang kemungkinan keluar di soal pada saat ujian. Entah kenapa aku dulu tak terbersit pikiran untuk menanyakannya kepada sang guru, bagaimana cara belajar yang benar. Sepertinya memang tak ada keberanian waktu itu. Apalagi aku termasuk pribadi pemalu dan tak punya keberanian untuk tampil berbicara di depan publik.  Ketika instruksi untuk belajar oleh guru tak diindahkan oleh siswa, karena mereka tak beitu paham bagaimana cara belajar yang baik, kadang guru meluapkan amarah kepada kami. 

Ketika menjadi guru, aku mencoba menebus kelemahan guru ku yang dulu, dengan mengajarkan cara belajar kepada anak didikku. Aku belajar banyak tentang cara belajar dari berbagai sumber. dari situ aku memahami bagaimana cara memahamkan kepada anak didikku tentang cara belajar. 
Manusia adalah makhluk yang memiliki karakter yang beragam. Mereka memiliki kecerdasan beragam, sebagaimana dijelaskan oleh Howard Gardner dalam bukunya mengenai konsep multiple inteligences. Manusia juga memiliki cara belajar yang beranekaragam. Cara manusia memahami suatu hal ternyata beragam. dalam buku Quantum Learning, dijelaskan beberapa tipe gaya belajar. Ada tipe audio, visual, kinestetik, dan ada pula gabunga di antara tipe-tipe tersebut. Pemahaman-pemahaman seperti itu lah yang menjadi dasar aku menjelaskan kepada anak didik ku untuk belajar cara belaraj yang baik sesuai dengan kecenderungan mereka masing-masing. Belajar matematika berbeda tentunya dengan belajar bahasa. Belajar ilmu sosial berbeda tentunya denganc ara belajar ilmu sains. singkatnya, masing-masing ilmu memiliki pendekatan belajar yang berbeda-beda. 

Menjadi guru pembelajar

Ketika berbicara tentang belajar, sebenarnya tak selalu harus dikaitkan dengan pendidikan formal. Into belajar adalah memperbaiki diri, dan terjadi perubahan kualitas diri, atau kompetensi dalam mendidik kalo dikaitkan dengan dunia keguruan. Sumber belajar sangat banyak. Guru bisa belajar melalui buku bacaan, artikel-artikel di internet, pendidikan formal dan seminar-seminar. Selain itu, belajar bisa juga dilakukan sembari melakukan interaksi dengan anak didik setiap hari. Misal mengamati permasalahan mereka dalam belajar, dan melakukan riset untuk menemukan solus bagi permasalahan tersebut. Perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan sudah semakin membaik. Hal tersebut juga berdadmpak positif terhadap urusan guru yang serinkali sensitif, yaitu urusan kesejahteraan. 
Aku memiliki need of achievement yang sangat tinggi. Aku merasa perlu mengenyam pendidikan di luar. Bukan agar terlihat keren atau beken, melainkan di negara-negara maju pasti ada sesuatu hal yang spesial yang bisa diterapkan untuk kebaikan negeriku. Aku juga merasa perlu unutk merasakan kehidupan di lingkungan luar yang sama sekali berbeda keadaannya dengan lingkungan kehidupan di tempatku. Itu semua dapat mempengaruhi keterbukaan pikiranku. 
Aku merasa bahwa generasi yang aku didik memiliki hak unutk mendapatkan pendidikan yang sangat baik dari para pendidik mereka. Generasi yang aku didik memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang segar, yang terupdate, bukan yang usang dan tak relevan dengan perkembangan jaman. Untuk memenuhi hak-hak anak didik ku nanti, maka aku berusaha memperbaiki diri. Semakin banyak program pengembangan diri yang aku dapatkan, maka semakin baik tentunya. Short course di Australia dna Program teacher training di Jepang telah ku dapatkan. Selanjutnya ILEP fulbright USA, Stuned belanda, program master di Inggris, dan program-program lainnya menanti untuk diraih. Dengan demikian, semoga aku semakin mampu memantaskan diri menjadi pendidik bagi generasi negeri. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar