Minggu, 03 Juli 2016

Berdaya dan Mampu Memberdayakan


Sejak kecil, aku adalah seorang pemimpi. Aaku berpikir betapa indahnya meraih impian-impian besar di masa depan. Aku terlahir di sebuah tempat terpencil yang semuanya serba terbatas. Akses teknologi terbatas, akses pendidikan yang baus terbatas, akses sarana belajar terbatas, akses hiburan terbatas, semuanya serba terbatas. Namun, tak pernah terbayang bahwa hidupku akan berubah. Ternyata hidup laksana mengemudikan mobil untuk menempuh suatu jarak di tengah malam. Kita mengandalkan cahaya lampu yang memiliki jangkauan hanya beberapa meter saja. Meski demikian, dengan terus melaju mengikuti jalan yang tersinari oleh lampu, akhirnya tempat yang bejarak ber-ratus-ratus kilometer pun tercapai juga.
Sepertinya itulah rahasia hidup. Tak perlu risau akan seperti apa proses menjalaninya, karena yang paling penting adalah menjalaninya. Berawal dari perkenalanku dengan sebuah kamus bahasa inggris lusuh yang ku pinjam dari kakak ku yang kala itu duduk di bangku SMP kelas 2, dua tingkat di atasku, aku seperti menemukan arah untuk memulai petualangan. Aku suka bahasa inggris bukan untuk memperoleh nilai yang bagus, apalagi saat itu aku masih duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar (SD), dan tak ada mata pelajaran bahasa inggris di sekolah. Aku mulai suka bahasa inggris karena rasanya keren saja kalo bisa bahasa inggris. Aku beruntung, di waktu yang cukup belia, dan dalam kondisi yang serba terbatas, aku menemukan intrinsic motivation ku. Sepertinya, itulah salah satu rejeki besar yang kudapatkan kala itu, yaitu memiliki motivasi kuat untuk belajar bahasa inggris yang akhirnya memungkinkanku untuk berpetualang ke berbagai negara ketika dewasa kini. 
Belakangan, aku jadi semakin menyadari, bahwa ketika motivasi untuk mempelajari suatu hal sudah dimiliki, maka metode belajar apapun rasanya akan cocok-cocok saja. Ini yang menjadi pesan penting untuk seorang guru, yakni membantu murid mereka untuk menemukan alasan kenapa mereka perlu untuk mempelajari sesuatu. 
Semakin bertambah usiaku, semakin bertambah luas lingkup pergaulanku, makin dinamis pula impian-impian ku. Aku merasa seperti anak kecil, yang begitu labil dalam memilih, dalam bermimpi. Keinginanku berkembang selaras dengan berkembangnya pergaulanku. Ketika suatu impian terwujud, aku merasa seperti  kecanduan untuk mewujudkan impian-impian lainnya. Ternyata, impian kadang bisa menjadi candu ketika terwujud. Candu yang mendorongku untuk meraih impian-impian lainnya. Alasannya mudah, ketika suatu impian tercapai, pikiranku menjadi teryakinkan bahwa segala hal itu mungkin untuk terwujud. Mendapati pikiranku teryakinkan itu suatu anugerah yang luar biasa. Betapa tidak, sebenarnya yang paling penting sebagai langkah awal mewujudkan impian itu meyakinkan pikiran. Kadang itu sulit. namun ketika pikiran sudah teryakinkan, apapun bisa mewujud nyata, seperti pepatah mengatakan bahwa “pikiran adalah kapasitas”. Mampu tidaknya seseorang mewujudkan biasanya dipengaruhi oleh yakin tidak nya pikiran. Begitulah kira-kira.
Aku merasa lapar, haus akan pencapaian. Kadang ini terasa aneh, juga menimbulkan rasa bersalah. Apakah aku tipe orang yang kurang bersyukur. Sehingga selalu merasa tak puas dengan pencapaian. Namun barangkali justru ini adalah gambaran kualitas diriku, bahwa aku memiliki need of achievement yang sangat tinggi. Ya, need of achievement. Keinginan untuk terus berhasil. Aku amati, apakah orang-orang sekitar juga demikian adanya sepertiku. Ternyata sangat jarang, dan bahkan mungkin langka. Ah…ini adalah kelebihan, sahutku membatin. 
Waktu berjalan, dengan dinamikan kehidupan yang kadang mempengaruhi orientasi hidupku. Aku jadi merasa, kenapa kadang rasa bosan dengan keadaan yang ada ini tak bisa dibendung. Lagi-lagi aku meraba, menerawang, kenapa rasa bosan seringkali muncul, bahkan dalam kondisi ketika aku mendapatkan apa yang aku mau. Cukup lama aku merenung. Ternyata, ada yang kurang. Selama ini orientasi diriku adalah AKU. Tak heran kenapa banyak orang Jepang gemar melakukan kerja sukarela (voluntary works). Tak heran kenpa orang-orang super kaya gemar melakukan kegiatan filantropis. Itu semua karena kebahagiaan tak selalu ada ketika terwujud berbagai keinginan yang berhubungan dengan AKU. Kebahagiaan sering muncul ketika seseorang mendedikasikan dirinya untuk mewujudkan kebaikan bagi orang lain. Begitu kira-kira kesimpulannya. Aku perlu menghadirkan orang lain, terutama orang-orang yang aku cintai untuk menjadi bagian dari tujuan ku hidup. 
Kini, perwujudan impian yang AKU-oriented mulai berubah. Aku merasa aku harus berdaya dan mampu memberdayakan sesama. Kadang aku merasa hebat dengan memiliki sedikit saja ilmu, wawasan, dan pengalaman. Namun itu semua terasa tak ada artinya, dan aku masih merasa kerdil, ketika tangan-tangaku tak bisa menggapai terwujudnya kebaikan bagi sesama. Aku ingin berdaya, dan dengannya aku ingin mampu memberdayakan sesama. Itu yang sedang aku upayakan. 
Bismillah…..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar