Minggu, 03 Juli 2016

Belajar Toleransi dari negeri penyembah matahari



Picture taken from www.satuislam.org
Tiada hal yang lebih berharga dalam menjalankan hidup penuh keberagaman dalam suatu entitas sosial selain adanya sikap penuh toleransi yang tumbuh di dalamnya. Manusia diciptakan dengan bawaan penuh perbedaan. perbedaan ras, bahasa, lingkungan tempt tinggal, pola pikir, dan sebagainya. Sikap toleransi menjadikan semua perbedaan tersebut eksis secara harmonis. Banyak manusia yang menyadari akan hakikat perbedaan dalam kehidupan tersebut. Namun, untuk bersikap toleran, sepertinya masih banyak manusia yang butuh belajar banyak. 
Lagi-lagi, aku ingin berbagi pengalaman tentang hidup penuh toleransi melalui blog ini. Berbagi hal yang menurutku penting bagi hidup. Untuk siapa/kepada siapa aku berbagi? Kepada siapapun yang membaca artikel ini. Aku percaya, pengalaman hidup nyata bisa memberikan pelajaran yang jauh lebih komprehensif mengenai hidup daripada pelajaran di lembaga pendidikan formal. Pengalamanku hidup di beberapa negara, memberikan aku pemahaman lebih tentang bagaimana seharusnya menjalani hidup di lingkungan yang penuh keragaman.
Sebelum berangkat ke Jepang untuk mengikuti program pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah Jepang, aku sempat berpikir bahwa hidup di jepang akan sangat sulit dijalani. Sulit karena secara budaya, jepang jauh berbeda dengan negara asalku, Indonesia. Pun dengan aspek-aspek lainnya. Bayangan perbedaan-perbedaan tersebut lah yang menjadi horor bagi pikiranku. Mungkin beribadah akan sulit disana. Mungkin berinteraksi akan sangat sulit disana, mengingat orang jepang memiliki tata nilai yang berbeda dengan di indonesia. Dari sekian bayangan mengenai kesulitan penyesuaian diri dengan kehidupan di Jepang, bayangan kesulitan ibadah merupakan hal yang paling horor bagiku. Bukan berarti sok sholeh atau rajin beribadah, namun topik mengenai ekspresi dalam berkeyakinan merupakan isu yang cukup sensitif, bahkan seringkali paling sensitif berkenaan dengan tema toleransi. Cerita yang kudapatkan dari Michael Anderson, temenku dari australia yang beragama islam, tentang tantangannya dalam menjalankan keyakinnannya sebagai muslim di Australia, cukup membuat ku mengernyitkan dahi. Betapa tidak, tepat dua bulan sebelum kedatanganku ke Queensland, Australia, sebuah masjid yang merupakan satu-satunya masjid tempat ibadah muslim di kota Toowoomba dibakar oleh orang yang tak dikenal menggunakan bom molotof. Masjid yang merupakan bekas gereja yang dibeli oleh kmunitas imigran muslim di kota Toowomba tersebut mengalami kerusakan parah akibat pembakaran tersebut. Namun masih beruntung bahwa hanya 50% dari total banguna yang terlahap api. Segitunya islamofobia di Australia. 
Lain australia, lain Jepang. Sekian lama hidup di Jepang, aku mengamati hal unik, bahwa Jepang adalah negara yang tak memiliki fanatisme berlebihan terhadap keyakinan tertentu, pun mereka tak memiliki sentimen negatif terhadap keyakina-keyakinan lain. Mereka pergi ke kuil untuk sembahyang iya, merayakan natal juga iya, bahkan ada juga yang mencoba mempraktikkan ibadah sholat sebagaimana orang muslim lakukan, seperti yang aku saksikan beberapa waktu lalu pada saat ada acara buka puasa bersama komunitas muslim Sendai. Menarik sekali. Aku sampai tergoda untuk tertawa dalam hati melihat gerakan mereka yang sesekali tengok kanan kiri menirukan gerakan orang-orang muslim yang berjajar di sekitar mereka. 
Jepang adalah negara penuh toleransi. Toleransi yang kumaksud bukan karena mereka suka mempraktikkan ibadah pemeluk agama lain, melainkan karena sikap mereka yang terbuka dan welcome terhadap orang lain yang berbeda keyakinan. Ketika mendapatkan jadwal kuliah pertama kali, aku sempat was-was. waah, jangan2 jadwal kuliah bakal berbenturan dengan jadwal sholat jumat. Sholat jumat yang paling riskan, karena waktunya yang tak se fleksibel sholat-sholat lain. Ternyata, alhamdulillah… aku masih dpat menjalankan shalat jumat, bahkan dosenku memberi ijin untuk aku meninggalkan kelas 10 menit sebelum kelas selesai, karena memang butuh waktu yang cukup lama untuk menuju ke tempat dilaksanakannya sholat jumat. 
Suatu hari, aku mengikuti kelas Japanese Nature. Sebuah mata kuliah yang berisi pengenalan terhadap alam Jepang. Kebetulan kelas tersebut bertepatan dihari jumat, dan kegiatannya adalah outdoor class dengan pergi ke aoba forest yang letaknya berdekatan dengan kampus dan bisa ditempuh degan berjalan kaki. Aku sempat khawatir bakal kehilangan kesematatan untuk shalat jumat. namun, ternyata kelas tersebut disegerakan selesainya, 30 menit lebih awal dari waktu normal, hanya karena dosenku tak ingin aku ketinggalan sholat jumat. Tak cukup disitu, bahkan dosenku juga mengantarkanku dengan mobilnya menuju tempat dilaksanakannya sholat jumat. Aku tercengang dengan kebaikan hati dosen ku tersebut. Itu luar biasa, bagiku.
Tahun 2009, aku sempat ikut kontes duta wisata kabupaten pekalongan, daerah asal ku, namun gagal. Justru di jeoang ini Baku dapatkan kesempatan menjadi Tohoku ambassador, atau duta Tohoku unutk program kepariwisataan daerah Tohoku yang meliputi prefecture Miyagi, Fukushima, Iwate, Akita, yamagata, dan aomori. Kegiatannya adalah mempromosikan pariwisata Tohoku area. Suatu ketika di bulan puasa, aku mendapatkan jadwal tour ke Iwate dan daerah sebelah utara miyagi prefecture. Ketika mendapati jadwal tersebut aku kepikiran banyak hal. Tentang kehalalan makanannya, tentang kondisiku berpuasa, tentang aku anti alkoholnya dan sebagainya. Aku kepikiran hal-hal tersebut karena sudah terbayang sebelumnya bahwa kegiatan tersebut pasti tak akan jauh dari hal-hal tadi (selain jalan-jalan) makan-makan (yang tak jelas status kehalalaannya) makan makanan khas setempat di siang hari, dan minum sake. Ternyata, pihak panitia acara, Sato-san, namanya, justru menghubungiku terlebih dahulu via mobile, untuk mendiskusikan perihal dietary restriction, bagaimana mengadaptasikan diri yang sedang berpuasa dengan kegiatan-kegiatan selama tour berlangsung, dan sebagainya. kalimat yang terngiang di ingatanku sampai sekarang yang diucapkan Sato-san adalah “ mohon beritahu kamu apa yang musti kami lakukan untuk membuat anda nyaman dalam menjalankan program tour ini sleama berpuasa, serta sampaikan kepada kami pantangan0pantangan apa yang harus kami perhaitkan dalam menyediakan layanan, berhubungan dengan status anda sebagai muslim, misal makanan atau minuman yang menjadi pantangan, dsb”. adem sekali ketika mengingatnya. mereka begitu toleran, dan mau melakukan hal-hal demi terlaksanakannya hakku dalam mengekspresikan keyakinanku.
Di suatu malam di bulan puasa, seperti biasa kami melaksanakan shalat tarawih bersama di sebuah ruangan yang cukup besar untuk menampung 50-an jamaah di Tohoku Uiversity international House. Ruangan tersebut terletak persis di samping ruang Lobby yang sedang dipakai untuk acara pesta anak-anak mahasiswa. Sebuah kondisi yang menarik untuk diamati. Bayangkan, praktik kegiatan ibadah yang membutuhkan konsentrasi (kekhuyukan), berdampingan dengan acara pesta dengan musik super kencang. Parahnya lagi, lagu-lagu yang diputar begitu familiar di telinga sebagian jamaah yang sholat. Ada lagu gangnam style, you wake me up, lagu OST sepakbola, dan lagu-lagu familiar lainnya yang diremix oleh seorang DJ entah siapa namanya. Tentunya itu cobaan berat. aku sendiri cukup tau meski sedang melaksanakan sholat, karena siapa sih yang gak terbawa alunan lagu yang easy-listening walau sedang konsentrasi sekalipun. masing-masing pihak baik yang sholat maupun yang sedang pesta tetap fokus dengan kegiatannya masing-masing. Aku sempat berpikir, jika berbicara tentag roleransi pada keadaan tersebut, sebenarnya itu wujud dari tidak adanya toleransi atau justru sebaliknya. Di satu sisi, terlihat kurang adanya toleransi, terutama karena mereka yang berpesta tak menjadikan yang sedang beribadah terhindar dari suara berisik yang menggangu konsentrasi ibadah. Namun di sisi lain, aku melihat adanya sisi toleransi yang tinggi. Yang sedang pesta mendapatkan hak mereka untuk berpesta, dan yang beribadah juga mendapatkan hak mereka untuk beribadah tanpa meminta yang berpesta untuk menghentikan aktivitas mereka, atau meminta mereka untuk mengurangi volume suara. 
Apa sih makna toleransi itu? aku mencoba mencari makna sebenarnya dari toleransi, dan menurut wikipedia, Toleransi adalah membiarkan orang lain berpendapat lain, melakukan hal yang tidak sependapat dengan kita, tanpa kita ganggu ataupun intimidasi. istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, di mana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lainnya yang berbeda.[1] Namun kadang toleransi beragama sering disalah artikan, dengan ikut upacara ibadah agama tertentu, bukan itu yg dimaksud, misal dgn memakai atribut salah satu agama tertentu, dll. Toleransi yg benar adalah memberikan kenyamanan mereka dalam melaksanakan ibadahnya. bukan mencampur adukkan agama.
Lantas, bagaimana penerapan sikap toleransi terhadap kebeagaman di negaraku, Indonesia? cukup kompleks gambaran toleransi di negaraku. Di satu sisi, aku berbangga bahwa negaraku mengakomodir berbagai perbedaan yang ada dalam masyarakat. Namun, di sisi lain, kadang toleransi dimaknai secara bias. Contohnya, pelarangan takbir keliling di jalan raya oleh muslim di kota besar seperti Jakarta oleh pemda setempat dengan dasar pemikiran bahwa pelarangan tersebut dimaksudkan untuk menjunjung toleransi terhadap mereka yang berpotensi terganggu oleh perayaan tersebut. Anehnya, pemerintah setempat setiap tahun mendukung acara perayaan tahun baru yang konotasinya hura-hura. Hal tersebut menjadikan sebagian orang berpikir bahwa ada standar ganda pada pelarangan tersebut, dan terkesan syarat nuansa politis dan sentimen terhadap keyakinan tertentu, apalagi Jakarta sedang dipimpin oleh orang non muslim. Harusnya, negara/pemerintah hadir sebagai pihak penyeimbang, melakukan hal-hal yang menjadikan semua pihak mendapatkan haknya. Misal, dengan tetap membiarkan adanya takbir keliling, namun dengan memfasilitasi keamanan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, sehingga ketertiban tetap terjaga. 

Aku menyebutkan contoh tersebut bukan karena aku muslim, melainkan hanya menyebutkan contoh keadaan riil untuk menunjukkan biasnya pemaknaan terhadap toleransi di negeriku, yang tentunya butuh perubahan. Negeriku, Indonesia, mengakui 5 agama. Akhir-akhir ini ditambah satu lagi, yaitu konghuchu. Semestinya segala kepentingan yang berhubungan dengan ekspresi ibadah semua agama tersebut diakomodir secara proporsional. Dengan demikian terciptalah toleransi yang menjadikan hidup aman nyaman dan sentosa. Kita perlu belajar banyak dari mantan penjajah kita, Jepang, tentang toleransi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar