Sebelumnya aku ingin
menyampaikan disclaimer dulu, bahwa tulisan ini hanya relevan bagi orang-orang
yang percaya akan adanya Tuhan. Pemikiran dalam tulisan ini tidak akan selaras
dengan logika para agnostic atau atheis.
Oke, mari kita mulai!
Ceritanya,
minggu kemarin aku merasa kecewa akan suatu hal. Kecewa terhadap keadaan, diri
sendiri, ndak mungkin aku kecewa terhadap Tuhan (meski kadang hati terbersit
untuk melakukan hal demikian). Aku telah menjalani semester ke-tiga untuk
program Master of Education dari The
University of Adelaide, Australia. Menjalani kuliah daring seperti ini
menjadi sebuah kelaziman di masa Pandemi Covid-19. Terlebih Australia adalah
Negara super strict yang sangat ketat
dalam membuat kebijakan yang mengutamakan keselamatan warganya. Meski kuliah
daring seperti ini lazim, namun aku merasa kecewa karena tidak kunjung
berangkat ke Negara tujuan studi untuk waktu yang entah sampai kapan.
Sementara, Negara-negara lain yang menjadi tujuan favorit studi sudah lama
membuka border bagi mahasiswa
internasional.
Sebenarnya
ada kesempatan untuk bisa masuk ke Australia, yaitu melalui program pilot project dan Exemption. Andai aku masuk ke dalam pilot project atau mendapatkan
exemption, maka aku sudah sedari awal masa perkuliahan sudah bisa terbang ke
Australia. Masalahnya adalah, persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah
Australia untuk lolos mengikuti kedua program tersebut sangat lah mustahil
untuk aku penuhi. Aku bukan mahasiswa yang mengambil jurusan kedokteran yang
topic penelitiannya bersinggungan dengan program strategis pemerintah Australia
terkait penanganan covid-19. Jangankan aku yang merupakan warga non-australia.
Warga Australia yang berada di luar negeri pun tidak serta merta diberi
kemudahan untuk masuk ke Australia selama pandemi. Hal itu semata-mata karena
pemerintah Australia ingin memastikan bahwa kasus kovid di sana sangat
terkendali. Dari kacamata warga Australia yang berada di Australia, pemerintah
Australia adalah pahlawan, atas kebijakan tersebut. Namun bagi orang yang
dirugikan seperti aku, yang sudah bayar biaya kuliah full (beasiswa LPDP) namun
tidak bisa menikmati fasilitas kampus sepenuhnya, yang dilakukan oleh
pemerintah Australia adalah hal bangsat yang tak henti-hentinya memaksaku untuk
bersumpah-serapah.
Slow, Dahlan!
Tarik nafas!
Sabra, dan positif thinking!
Okay..
Prolognya
terlalu panjang. Langsung saja ke intinya. Jadi, ada salah seorang temanku yang
ternyata mendapatkan pilot project untuk masuk ke Australia. Padahal secara
kualifikasi akademik, dia semestinya tidak termasuk mahasiswa yang mendapatkan
prioritas untuk memperoleh program tersebut. Teman ku memulai studinya satu
semester lebih lambat dari saya. Namun sekarang dia mendapatkan kepastian
duluan untuk keberangkatan, dengan tiket pesawat yang sudah dia genggam
tertanggal 5 Desember 2021.
Jujur
aku shock, senang, sedih, dan kecewa. Namun aku jadi melakukan refleksi. Kebetulan
di semester ini aku ada mata kuliah yang membahas reflective practice. Aku bertanya pada diri sendiri mengapa temanku
yang satu ini beruntung banget. Dalam sebuah percakapan melalui aplikasi Whatsapp aku mendapatkan sebuah
kata-kata dari lawan chatting. Kata-kata tersebut sangat menghentak pikiranku.
Dia menyebut istilah “pola-pola pertolongan Alloh’. Dia mengelaborasi bahwa
pertolongan Alloh pada hambaNya biasanya bisa dilihat polanya. Salah satu polanya
adalah Alloh akan mengabulkan permintaan hambaNya yang meminta secara
sungguh-sungguh. Meminta secara konsisten, melalui panjatan doa yang tak kenal
henti.
Sontak
aku jadi refleksi diri. Jangan-jangan yang aku lakukan selama ini menunjukkan
ketidaksungguhan dalam berharap pada Alloh SWT. Sebenarnya aku sudah lama
membuktikan bahwa doa-doaku banyak yang dikabulkan olehNya ketika aku
benar-benar berharap padaNya untuk Ia kabulkan melalui ikhtiar doa yang tak
putus. Ternyata benar, selama ini, aku terperangkap oleh logika manusia, bahwa
sulit bagiku untuk berangkat ke Australia dengan alasan-alasan rasional yang
diciptakan oleh manusia tadi. Padahal, sebagai orang yang mengimani keberadaan
Tuhan, aku semestinya tetap berada pada garis keyakinan bahwa taka da yang
tidak mungkin untuk Alloh kabulkan, sesulit apa pun hal tersebut aku kira.
Untuk
urusan duniawi, Alloh SWT adalah yang maha mewujudkan hajat manusia, terlepas
apapun keyakinan ketuhanan mereka. Temanku yang kebetulan beragama non-muslim
yang mendapatkan exemption tadi memang menunjukkan harapan yang besar untuk
bisa masuk Australia. Mungkin dia panjatkan selalu harapan tersebut dalam
ibadahnya. Mungkin dia selalu tanamkan dalam pikiran bahwa dia yakin bisa
berangkat. Keinginan untuk berangkat terus menggebu dalam batin dan pikirannya.
Di situlah law of attraction bekerja.
Sementara aku, karena terjebak mengikuti logika manusia, cenderung pasrah sama
keadaan, dan berharap bahwa Tuhan puna akan membiarkan keadaan sejalan dengan
logika manusia. Padahal Tuhan punya kuasa untuk membelokkan alur cerita
kehidupan.
Dalma
proses refleksi ini, aku teringat kembali tentang pola-pola bagaimana doa-doa
dan harapanku terwujud selama ini. Juga pola-pola bagaimana beberapa harapanku
belum kunjung terwujud. Ternyata selama ini aku telah membuktikan sendiri
bagaimana pola-pola tersebut terwujud. Saat aku mendaftar beberapa program
pengembangan profesionalitas di luar negeri dulu, aku selalu berdoa secara
terus-menerus tanpa putus hingga terkabulnya doa. Aku juga melibatkan
orang-orang terkasih, terutama ibuku, untuk sama-sama mendoakan. Aku tanamkan
pikiran tentang apa yang aku inginkan setiaphari setiap saat. Benar-benar
pertalian antara usaha, do’a dan affirmasi positif begitu selaras dan kuat
waktu itu. Lalu, kenapa untuk hajatku yang lain belum juga terwujud. Ternyata
semua itu karena aku sering terjebak pada logika manusia, dan mengabaikan
logika Tuhan.
Banyak
hal yang akhirnya aku renungkan, setelah melakukan refleksi diri. Dulu aku tidak
mendapatkan orang yang aku dambakan untuk menjadi pendamping hidup karena aku
mengikuti logika manusia. Perasaan minder karena aku tidak kaya, tidak rupawan,
tidak menarik, dan logika-logika lainnya mungkin telah menjadi penghalang bagi
terkabulnya keinginanku untuk meminangnya. Padahal yang harus dilakukan oleh
seorang hamba adalah ikhtiar, berdoa penuh keyakinan bahwa apa yang diharapkan
bisa terkabul. Kalimat “sesungguhnya Alloh beserta prasangka hambanya” bukan
lah kaleng-kaleng. Ia bukan kata-kata klise yang hanya dipakai sebagai pemanis retorika.
Ia benar adanya.
Selama
ini keinginanku untuk menjadi orang se-sukses tokoh panutanku juga karena aku
terjebak pada logika manusia. Ternyata fixed
mindset-ku selama ini mendominasiku. Aku merasa tidak layak mendapatkan hajat
ku untuk menjadi seorang yang terkenal dan bisa memberi dampak luas karena,
karena aku berpikir bahwa aku tidak memiliki privilege sebagaimana yang mereka miliki. Padahal dunia sudah
membuktikan bahwa banyak orang telah mematahkan mitos privilege melalui kerja
keras, cerdas, focus dan tuntas.
Mengacu
pada hasil refleksi ini, aku memutuskan untuk merumuskan sebuah action plan. Aku harus terus berada pada
track yang benar, mengikuti logika ketuhanan, bahwa segala hajat bisa
diwujudkan olehNya melalui konsistensi keselarasan antara ikhtiar, do’a, dan law of attraction yang positif. Itu
polanya. Dengan demikian, insya Alloh hajat-hajat ku terkabul. Amiin
Terimakasih,
ya Alloh, telah mengingatkanku akan pola-pola pertolonganmu ini!
Luar biasa mr. Semoga bsia menjadi inspirasi banyak orang
BalasHapusThank you,Dhuha.
HapusMinimal bisa menjadi pengingat bagi diri sendiri.