Minggu, 31 Oktober 2021

Pertalian antara Ikhtiar, Do’a, Law of Attration, dan Hajat yang terkabul: Sebuah refleksi

 


Sebelumnya aku ingin menyampaikan disclaimer dulu, bahwa tulisan ini hanya relevan bagi orang-orang yang percaya akan adanya Tuhan. Pemikiran dalam tulisan ini tidak akan selaras dengan logika para agnostic atau atheis.

Oke, mari kita mulai!

Ceritanya, minggu kemarin aku merasa kecewa akan suatu hal. Kecewa terhadap keadaan, diri sendiri, ndak mungkin aku kecewa terhadap Tuhan (meski kadang hati terbersit untuk melakukan hal demikian). Aku telah menjalani semester ke-tiga untuk program Master of Education dari The University of Adelaide, Australia. Menjalani kuliah daring seperti ini menjadi sebuah kelaziman di masa Pandemi Covid-19. Terlebih Australia adalah Negara super strict yang sangat ketat dalam membuat kebijakan yang mengutamakan keselamatan warganya. Meski kuliah daring seperti ini lazim, namun aku merasa kecewa karena tidak kunjung berangkat ke Negara tujuan studi untuk waktu yang entah sampai kapan. Sementara, Negara-negara lain yang menjadi tujuan favorit studi sudah lama membuka border bagi mahasiswa internasional.

Sebenarnya ada kesempatan untuk bisa masuk ke Australia, yaitu melalui program pilot project dan Exemption. Andai aku masuk ke dalam pilot project atau mendapatkan exemption, maka aku sudah sedari awal masa perkuliahan sudah bisa terbang ke Australia. Masalahnya adalah, persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah Australia untuk lolos mengikuti kedua program tersebut sangat lah mustahil untuk aku penuhi. Aku bukan mahasiswa yang mengambil jurusan kedokteran yang topic penelitiannya bersinggungan dengan program strategis pemerintah Australia terkait penanganan covid-19. Jangankan aku yang merupakan warga non-australia. Warga Australia yang berada di luar negeri pun tidak serta merta diberi kemudahan untuk masuk ke Australia selama pandemi. Hal itu semata-mata karena pemerintah Australia ingin memastikan bahwa kasus kovid di sana sangat terkendali. Dari kacamata warga Australia yang berada di Australia, pemerintah Australia adalah pahlawan, atas kebijakan tersebut. Namun bagi orang yang dirugikan seperti aku, yang sudah bayar biaya kuliah full (beasiswa LPDP) namun tidak bisa menikmati fasilitas kampus sepenuhnya, yang dilakukan oleh pemerintah Australia adalah hal bangsat yang tak henti-hentinya memaksaku untuk bersumpah-serapah.

Slow, Dahlan!

Tarik nafas!

Sabra, dan positif thinking!

 

Okay..

Prolognya terlalu panjang. Langsung saja ke intinya. Jadi, ada salah seorang temanku yang ternyata mendapatkan pilot project untuk masuk ke Australia. Padahal secara kualifikasi akademik, dia semestinya tidak termasuk mahasiswa yang mendapatkan prioritas untuk memperoleh program tersebut. Teman ku memulai studinya satu semester lebih lambat dari saya. Namun sekarang dia mendapatkan kepastian duluan untuk keberangkatan, dengan tiket pesawat yang sudah dia genggam tertanggal 5 Desember 2021.

Jujur aku shock, senang, sedih, dan kecewa. Namun aku jadi melakukan refleksi. Kebetulan di semester ini aku ada mata kuliah yang membahas reflective practice. Aku bertanya pada diri sendiri mengapa temanku yang satu ini beruntung banget. Dalam sebuah percakapan melalui aplikasi Whatsapp aku mendapatkan sebuah kata-kata dari lawan chatting. Kata-kata tersebut sangat menghentak pikiranku. Dia menyebut istilah “pola-pola pertolongan Alloh’. Dia mengelaborasi bahwa pertolongan Alloh pada hambaNya biasanya bisa dilihat polanya. Salah satu polanya adalah Alloh akan mengabulkan permintaan hambaNya yang meminta secara sungguh-sungguh. Meminta secara konsisten, melalui panjatan doa yang tak kenal henti.

Sontak aku jadi refleksi diri. Jangan-jangan yang aku lakukan selama ini menunjukkan ketidaksungguhan dalam berharap pada Alloh SWT. Sebenarnya aku sudah lama membuktikan bahwa doa-doaku banyak yang dikabulkan olehNya ketika aku benar-benar berharap padaNya untuk Ia kabulkan melalui ikhtiar doa yang tak putus. Ternyata benar, selama ini, aku terperangkap oleh logika manusia, bahwa sulit bagiku untuk berangkat ke Australia dengan alasan-alasan rasional yang diciptakan oleh manusia tadi. Padahal, sebagai orang yang mengimani keberadaan Tuhan, aku semestinya tetap berada pada garis keyakinan bahwa taka da yang tidak mungkin untuk Alloh kabulkan, sesulit apa pun hal tersebut aku kira.

Untuk urusan duniawi, Alloh SWT adalah yang maha mewujudkan hajat manusia, terlepas apapun keyakinan ketuhanan mereka. Temanku yang kebetulan beragama non-muslim yang mendapatkan exemption tadi memang menunjukkan harapan yang besar untuk bisa masuk Australia. Mungkin dia panjatkan selalu harapan tersebut dalam ibadahnya. Mungkin dia selalu tanamkan dalam pikiran bahwa dia yakin bisa berangkat. Keinginan untuk berangkat terus menggebu dalam batin dan pikirannya. Di situlah law of attraction bekerja. Sementara aku, karena terjebak mengikuti logika manusia, cenderung pasrah sama keadaan, dan berharap bahwa Tuhan puna akan membiarkan keadaan sejalan dengan logika manusia. Padahal Tuhan punya kuasa untuk membelokkan alur cerita kehidupan.

Dalma proses refleksi ini, aku teringat kembali tentang pola-pola bagaimana doa-doa dan harapanku terwujud selama ini. Juga pola-pola bagaimana beberapa harapanku belum kunjung terwujud. Ternyata selama ini aku telah membuktikan sendiri bagaimana pola-pola tersebut terwujud. Saat aku mendaftar beberapa program pengembangan profesionalitas di luar negeri dulu, aku selalu berdoa secara terus-menerus tanpa putus hingga terkabulnya doa. Aku juga melibatkan orang-orang terkasih, terutama ibuku, untuk sama-sama mendoakan. Aku tanamkan pikiran tentang apa yang aku inginkan setiaphari setiap saat. Benar-benar pertalian antara usaha, do’a dan affirmasi positif begitu selaras dan kuat waktu itu. Lalu, kenapa untuk hajatku yang lain belum juga terwujud. Ternyata semua itu karena aku sering terjebak pada logika manusia, dan mengabaikan logika Tuhan.

Banyak hal yang akhirnya aku renungkan, setelah melakukan refleksi diri. Dulu aku tidak mendapatkan orang yang aku dambakan untuk menjadi pendamping hidup karena aku mengikuti logika manusia. Perasaan minder karena aku tidak kaya, tidak rupawan, tidak menarik, dan logika-logika lainnya mungkin telah menjadi penghalang bagi terkabulnya keinginanku untuk meminangnya. Padahal yang harus dilakukan oleh seorang hamba adalah ikhtiar, berdoa penuh keyakinan bahwa apa yang diharapkan bisa terkabul. Kalimat “sesungguhnya Alloh beserta prasangka hambanya” bukan lah kaleng-kaleng. Ia bukan kata-kata klise yang hanya dipakai sebagai pemanis retorika. Ia benar adanya.

Selama ini keinginanku untuk menjadi orang se-sukses tokoh panutanku juga karena aku terjebak pada logika manusia. Ternyata fixed mindset-ku selama ini mendominasiku. Aku merasa tidak layak mendapatkan hajat ku untuk menjadi seorang yang terkenal dan bisa memberi dampak luas karena, karena aku berpikir bahwa aku tidak memiliki privilege sebagaimana yang mereka miliki. Padahal dunia sudah membuktikan bahwa banyak orang telah mematahkan mitos privilege melalui kerja keras, cerdas, focus dan tuntas.

Mengacu pada hasil refleksi ini, aku memutuskan untuk merumuskan sebuah action plan. Aku harus terus berada pada track yang benar, mengikuti logika ketuhanan, bahwa segala hajat bisa diwujudkan olehNya melalui konsistensi keselarasan antara ikhtiar, do’a, dan law of attraction yang positif. Itu polanya. Dengan demikian, insya Alloh hajat-hajat ku terkabul. Amiin

Terimakasih, ya Alloh, telah mengingatkanku akan pola-pola pertolonganmu ini!

 

2 komentar:

  1. Luar biasa mr. Semoga bsia menjadi inspirasi banyak orang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thank you,Dhuha.
      Minimal bisa menjadi pengingat bagi diri sendiri.

      Hapus