Dulu, di saat perkembangan teknologi informasi belum sedrastis sekarang, orang membutuhkan privilege tertentu untuk bisa memiliki kompetensi dan pemahaman dalam suatu hal. Contohnya, orang bisa mejadi ahli dalam urusan marketing jika dia memiliki privilege berupa kuliah dengan jurusan ilmu marketing, memiliki akses terhadap buku-buku marketing, seminar-seminar marketing, atau berada di circle orang yang ahli marketing. Tentu tak semua orang bisa dengan mudah memiliki privilege tersebut, karena kuliah berbayar, buku-buku berbayar, seminar-seminar juga pada umumnya berbayar, sementara untuk berada di dalam circle orang-orang yang bergulat dalam bidang marketing tentu tidak semua orang bisa.
Sekarang, di zaman teknologi informasi yang penuh
dengan kemudahan akses informasi, semua orang bisa dengan mudah mendapatkan kompetensi
tertentu melalui sumber belajar / informasi yang sangat terjangkau seperti social
media. Hanya di zaman sekarang orang bisa dengan cepat merubah hidupnya, pola
pikirnya, pengetahuannya, dan berbagai kecakapan lainnya. Dulu, orang butuh
bertahun-tahun lamanya untuk bisa menguasai kecapakan tersentu.
Youtube, google, dan media informasi lainnya menyediakan
begitu banyak ilmu dengan mudah dan murahnya. Sekarang, yang menjadi pembeda
antara orang sukses dan tidak sukses hanya terletak pada level kesungguhannya
untuk belajar. Sumber belajar sudah relative tidak jadi masalah, karena terseda
dengan mudah dan murah. Orang yang sungguh-sungguh untuk belajar akan mudah
mengkapitalisasi kemudahan dan kemurahan akses belajar untuk tujuan positif
bagi hidupnya. Sementara mereka yang malas untuk menggunakan akses tersebut
tidak akan mencapai apa-apa.
Dengan kemudahn dan kemurahan akses sumber belajar,
logikanya orang sekarang semestinya lebih mudah untuk sukses. Namun,
kenyataannya masih banyak orang yang merasa segala sesuatu itu susah. Memang benar
adagium yang menyatakan bahwa kemudahan informasi adalah berkah sekaligus
kutukan. Ia menjadi berkah karena banyak orang memanfaatkannya untuk kebaikan. Ia
menjadi kutukan karena orang jadi menganggap kemudahan dan kemurahan itu sebagai
suatu hal yang klise. Bukankah orang cenderung take for granted sesuatu yang murah dan mudah?
Meski hidup di jaman yang penuh dengan kemudahan dan
kemurahan akses terhadap sumber belajar, namun banyak orang yang tidak
menyadarinya. Betapa banyak anak muda yang hanya memanfaatkan youtube untuk
menonton konten-konten prank, hedon, dan hal-hal yang sekedar fun lainnya? Andai mereka tau bahwa
alih-alih hanya sekedar untuk hiburan mereka bisa memanfaatkan media tersebut
untuk mengasah suatu kompetensi, maka hidup mereka akan berubah kea rah yang
lebih positif. Search engine machine seperti youtube google dan lainnya bisa jadi
sumber belajar untuk mendalami interest / hobi positif apa pun. Ada videografi,
tutorial alat music, teknik komunikasi, marketing, dan banyak lainnya.
Aku jadi ingat tentang sekolah yang punya peran
strategis untuk mengarahkan mindset peserta didik. Sudah semestinya sekolah
menjadi tempat dimana peserta didik mendapat pengarahan tentang bagaimana
berselancar di era disrupsi yang begitu deras. Andai para guru mau, mereka bisa
mengarahkan para peserta didik untuk menjadi autonomous learner melalui
pemanfaatan segala kemudahan akses informasi di era disrupsi ini. Guru-guru
perlu meyakinkan peserta didik untuk memiliki pemahaman bahwa akses belajar itu
sangat tak terbatas, dan sudah saatnya mereka mampu memilih informasi mana yang
merkea bisa akses untuk memperkaya wawasan dan kecakapan mereka dalam suatu hal.
Dengan begitu era disrupsi bisa menjadi berkah bagi generasi di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar