Landing dan hari pertama
Alhamdulillah, akhirnya landing
dengan selamat. Jujur, sebelum memutuskan untuk naik pesawat, hatiku bergulat
dengan rasa cemas dan keraguan. Cerita akan jatuhnya pesawat sriwijaya Air yang
masih hangat di ingatan makin menambah rasa cemas itu.
Sampai di Bandara I Gusti Ngurah
Rai, langsung terasa Vibe nya. Alunan
music tradisional Khas Bali di lorong lorong ruang bandara menyambutku begitu
akrabnya. Ini adalah kali ke-enam aku berkunjung ke Bali. Pertama kali aku
berkunjung ke Bali adalah Study Tour saat aku masih SMA. Dari setiap
kunjunganku ke Bali, aku merasa selalu saja ada yang baru di Bali. Suasananya
selalu baru. Hingga terbersit rasa untuk berkunjung lagi, setiap kali beranjak
pulang dari Bali.
Kali ini, kebaruan tersebut
dipengaruhi oleh situasi pandemi. Bali yang sebelumnya selalu padat dengan
pengunjung, kini cukup lengang. Sesekali berbicara dengan warga local tentang
dampak pandemic, selalu saja yang kudapatkan adalah keluhan. Betapa besarnya
dampak adanya pandemic terhadap kehidupan warga yang hidup di Bali. Hal
tersebut aku maklumi, karena memang pandemic menghantam kehidupan semua orang
di seluruh negeri hamper tanpa terkecuali. Hanya saja sebagian bertahan,
sementara sebagian lainnya hancur terhantam. Pariwisata menjadi sector yang
paling terpuruk. Begitu pun Bali yang mengandalkannya sebagai sector utama
penopang kehidupan ekonomi.
Di Bali, aku tinggal di sebuah
kos-kosan. Kos-kosan tersebut dahulunya adalah sebuah hotel. Di masa normal,
rate per kamar per malam kurang lebih adalah 250-350 ribuan. Kini kamar-kamar
tersebut disewakan secara bulanan dengan tariff 1-600.000 per bulan, sudah
include smuanya kecuali listrik. Berbekal media social, aku berselancar di
dunia maya mecari informasi tentang kos yang menarik. Kos yang cukup
terjangkau,` namun nyaman untuk mendukung aktivitasku selama di Bali. Kos-kosanku
ini namanya Lowcost. Meski secara harfiah ia bermakna “berbiaya rendah”, namun
fasilitas yang ia tawarkan sangat luar biasa. Kondisi kamar yang persis seperti
hotel bintang 3 atau empat membuatku nyaman beradadi dalamnya. Ada roof top
yang dari sana aku bisa melihat langsung Graha Wisnu kencana (GWK). Dari
rooftop pula aku bisa bersantai sambil menikmati panorama indah tenggelamnya
matahari. Matahari terlihat begitu cantik sekali di sore hari.
Di pagi pertama, setelah subuh, aku
berjalan kaki ke arah barat menuju pantai Jimbaran. Sampai di pantai, ku lihat
orang-orang sibuk bertransaksi jual beli hasil tangkapan laut. Tak jauh dari
pantai, ada pasar ikan yang menjual ikan-ikan segar. Pantai, ikan, dan
pemandangan orang-orang yang sedang memancing di dermaga adalah hal-hal yang
membuat ku lupa akan rasa lapar.
Oiya, sebenarnya apa sih tujuanku ke
Bali? Apakah untuk liburan? Kalo liburan, durasi sebulan relative kelamaan. Memang
aku menjadikan kunjungan ke Bali kali ini sebagai liburan. Namun tujuan utama
sebenarnya adalah untuk mencari suasana baru yang mendukung aktivitas kuliah online ku. Menunggu jadwal keberangkatan
yang tak kunjung tiba itu sungguh melelahkan hati dan pikiran. Tapi aku bisa
apa, ketika pemerintah Australia tetap ngotot untuk menutup perbatasan. Mereka
berhak untuk membuat kebijakan demi rakyat mereka, dengan cara mereka. Awalnya,
aku terjebak rasa marah tak karuan. Merasa ada ketidakadilan yang diberikan
oleh Australia. Namun aku sudah mulai berdamai dengan situasi ini.
Menjalani kuliah Online di rumah,
tepatnya meja dekat dapur yang signal internetnya paling bagus, aku merasa
jenuh. Hamper satu tahun kujalani mode perkuliahan seperti ini. Tentu banyak
kendala yang kuhadapi. Terkadang signal internet hilang. Terkadang suara dosen
yang terdengar melalui aplikasi Zoom kurang jelas, sehingga mempengaruhi
pemahamanku akan materi. Terkadang ada kendala komunikasi dengan teman grup
presentasi, yang mana mereka berasal dari negeri Tiongkok yang menggunakan
platform media komunikasi yang berbeda dari Indonesia. Dan sederet Kendala
lainnya. Namun aku bersyukur pada Alloh, sang Murah Hati, overall aku bisa
melewati semester satu dengan cukup baik. Targetku tidak mulu-muluk, minimal
bisa survive saja aku sudah
bersyukur.
Bismillah…aku mengerjakan assignment kuliah dulu ya.
Hari kedua hingga ke lima
Ini adalah kali ke-enam aku
berkunjung ke Bali. Pada kunjungan-kunjungan sebelumnya, aku selalu memiliki keterbatasan
waktu untuk benar-benar menikmati Bali, karena singkatnya kunjungan. Maklum,
kunjunganku pada waktu itu bukan murni untuk berwisata, melainkan karena
mengikuti kegiatan seperti seminar dan short course yang terjadwal. Sempat dulu
aku bayangkan, bilakah aku bisa menikmati waktu lama di Bali. Berjalan
menyusuri jalan dan gang di Bali, melihat lokalitas yang ada di dalamnya. Sepertinya
asik jika bisa berlama-lama berada di pantai, menikmati tenggelamnya matahari
sambil berenang di tepian laut dan bercengkerama dengan teman.
Kali ini, impianku terwujud.
Sekarang aku tinggal di Bali untuk waktu yang cukup untuk memberikanku
kesempatan mengeksplorasi Bali. Aku adalah pecinta jalan kaki. Sempat aku
berjalan di sekitar Kuta, mampir ke berbagai tempat ikonik seperti Pabrik
kata-kata Joger, pusat oleh-oleh Krishna, monument tragedy Bom Bali, pantai
Kuta, dan menyusuri jalan-jalan sempit yang kanan kirinya penuh dengan took
pernak-pernik khas Bali. Senang rasanya, karena apa yang aku bayangkan dahulu
itu kini terwujud.
Kemarin, aku berjalan dari tempat ku
tinggal menuju pantai Jimbaran. Sampai di sana, matahari mulai tenggelam.
Bergegas aku menuju pantai untuk berenang sambil menikmati masa peralihan dari
sore ke malam. Langit Bali terlihat begitu indah, cerah. Sempat aku ragu untuk
berenang, karena aku bingung dimana aku bisa meletakkan barang-barangku dengan
aman. Seorang warga local menyarankan untuk meletakkannya saja di tepian
pantai, dan itu akan aman. Ternyata benar, aman.
Aku biasanya suka kuliner, setiap
kali berkunjung ke suatu tempat. Namun, aku belum mendapati kuliner khas yang
bisa aku nikmati di Bali ini. Ada kuliner khas Bali yang ikonik, Babi Guling.
Namun tentu aku tidak bisa menyantapnya.
Hari-hariku di Bali terisi dengan
aktivitas mengerjakan tugas, membaca artikel terkait mata kuliah yang aku
ambil, korespondensi dengan teman kelas, baik dari sesame Indonesia maupun dari
Negara lain, menonton video, dan eksplorasi tempat-tempat yang mudah dijangkau.
Smeentara ini, aku hanya bisa mengeksplorasi daerah Denpasar, karena cukup
dekat dengan tempat tinggalku. Ada keinginan untuk mengunjungi tempat-tempat
keren yang hideaway. Namun itu akan butuh usaha dan biaya ekstra.
Di Bali ini, aku berjanji pada diri sendiri
untuk bisa produktif. Tinggal di Bali ini tentu menghabiskan biaya yang cukup
banyak. Aku anggap ini sebagai investasi. Karena investasi, maka aku harus
menghasilkan sesuatu secara produktif.
Tugas kuliah begitu banyak.
Sementara aku sendiri merasa rugi jika selama di Bali ini, hanya tugas kuliahku
saja yang selesai. Aku harus mendapatkan hal lain. Begitu banyak ilmu yang
ingin aku pelajari dan praktikkan. Untuk bisa meraihnya, aku harus memiliki
waktu luang yang cukup banyak. Agar waktu lunagku cukup banyak, maka manajemen
waktuku harus bagus. Kecepatanku dalam menyelesaikan tugas-tugas harus mantab.
Begitu banyak bahan bacaan yang
ingin aku selesaikan. Butuh kecepatan membaca yang luar biasa. Bukan hanya
kecepatan membaca, melainkan juga kecepatan memahami bacaan. Rugi rasanya jika
berlama-lama membaca. Sementara, yang paling penting adalah mampu mempraktikkan
ilmu, bukan semata membaca atau mendapatkan ilmu.
Belajar,bekerja, dan having fun
harus balance selama di sini. Ini adalah kesempatan pembuktian bahwa aku pandai
mengelola waktu, dan produktif dalam berkarya.
Hari ke-6 dan 7
Tak terasa, genap sudah seminggu aku
berada di Bali. Waktu berlalu begitu cepatnya. Biasanya, terasa cepatnya waktu
itu dikarenakan adanya rasa bahagia. Memang, jujur aku betah tinggal di sini. Andai
saja semua pekerjaanku bisa dilakukan dari sini, mungkin hidup akan terasa
indah. Mungkin ini yang membuat para digital nomad dari berbagai Negara betah
berlama-lama menetap di Bali. Lingkungannya cukup bersih, dan yang terpenting
lagi adalah aman. Bali tak semata menampilkan hedonism, sebagaimana yang
seringkali dicitrakan oleh banyak orang. Maklum, citra tersebut melekat, karena
posisi Bali sebagai destinasi wisata internasional. Orang berbondong-bondong
dating ke Bali untuk bersenang-senang. Dan Bali menawarkan berbagai pilihan
kesenangan.
Hampir tak ada tantangan berarti
untuk hidup di Bali, asalkan urusan keuangan aman. Banyak potensi yang dimiliki
Bali. Sayangnya, justru acap kali orang luar yang jeli melihat dan memanfaatkan
potensi tersebut.
Kemarin, aku jalan-jalan ke
Kintamani dan Penglipuran world’s cleanest village. Keduanya berada relatif
jauh dari Denpasar. Di Kintamani, aku disuguhi pemandangan gunung Batur dan
danau Batur yang begitu mempesona. Bagi penyuka tempat yang tak begitu ramai
seperti aku, kemarin adalah momen yang sangat tepat untuk berkunjung ke kedua tempat
tersebut. Kintamani begitu sepi. Begitu pula Desa Penglipuran. Hamper dua jam
aku duduk di sebuah restoran, bercengkerama sambil menikmati makan siang dengan
menu ikan Nyet-Nyet khas Bali. Selama itu, tak ada pengunjung lain yang dating.
Terbayangkan betapa dahsyatnya hantaman pandemic terhadap para pelaku Bisnis. Konon,
restoran tersebut mampu meraih omzet puluhan juta rupiah dalam sehari di
masa-masa normal. Namun, di masa pandemic, sehari dapet ratusan ribu saja belum
tentu. Hanya dua orang karyawan yang nampak berjaga di restoran yang cukup
besar tersebut. Terbayang berapa banyak karyawan yang harus dirumahkan.
Hal tersebut menyadarkanku untuk
terus bersyukur dan bersyukur. Tak ada alasan untuk mengeluh atas keadaan apa
pun. Sedikit saja ketidaknyamanan yang aku rasakan, tak layak untuk dikeluhkan.
Di luar sana masih banyak orang yang sekedar membeli nasi pun tak bisa, karena
limitnya pendapatan. Ada pula cerita seorang mantan pegawai hotel yang banting
setir menjadi tukang ojek. Secara penampilan, orang tersebut lebih Nampak
seperti seorang manajer hotel, atau bahkan pemilik hotel. Perawakannya
berwibawa, rapi, cara bicaranya santun, klimis, bersih. Sama sekali tak Nampak
seperti orang yang berkesibukan di jalanan. Lagi-lagi pandemic membuat orang
seperti dia tak punya pilihan, selain melakukan aktivitas apapun untuk bisa survive
menghidupi keluarganya.
Oiya…aku pergi ke kedua tempat
tersebut dengan diantar oleh seorang teman. Teman kelas, tepatnya. Dia adalah
mahasiswa The University of Adelaide juga. Usianya terpaut cukup jauh lebih
muda dari ku. Dia cerdas, ramah sikap dan tutur katanya, berwasasan luas dan toleran.
Kami berbeda dalam hal keyakinan beragama. Dia Hindu, aku Islam. Namun justru
dia yang begitu concern untuk
mengingatkanku melakukan kewajiban sholat lima waktu. Dia ingatkanku untuk
membawa perlengka[an sholat, jika diperlukan. Dia juga mengantarkanku ke masjid
saat waktu sholat tiba di tengah-tengah perjalanan. Indah rasanya ketika
toleransi seperti itu terwujud dalam persahabatan. Aku belajar banyak dari dia
tentang berbagai filosofi yang ada dalam adat budaya masyarakat Bali. Hal
tersebut cukup menambah wawasanku.
Menjadi digital nomad
Berada di Bali ini, aku jadi
terpikir tentang menjadi Digital Nomad.
Tinggal di Bali memang nyaman, namun terwujudnya kenyamanan tersebut karena
ditopang oleh keterjaminan finansial. Aku mulai berandai-andai, bilakah aku
tinggal menjadi digital nomad, mendapatkan penghasilan tanpa harus terikat
jadwal ngantor pagi hingga petang. Ini pertanyaan menarik yang cukup mengusik
dan memprovokasi pikiranku. Rasanya sulit, jika aku harus secara jujur jawab
sekarang. Namun itu bukan tidak mungkin. Buktinya, banyak orang-orang yang
menjadi digital nomad, meraih
pendapatan besar dan menetap di Bali.
Pikiranku mulai berselancar,
menerawang berbagai hal tentang apa yang aku bisa lakukan untuk bisa menjadi
digital nomad yang sukses. Aku mulai dengan melihat potensi-potensi yang ada pada
diriku sendiri. Aku data, dan hasilnya adalah;
-
Aku lancer berbahasa inggris
-
Aku cukup bisa berkomunikasi dalam bahasa Jepang, meski
masih harus terus belajar
-
Wawasanku cukup luas
-
Aku pandai berkomunikasi
-
Secara fisik dan psikis aku sehat wal afiat
-
Aku memiliki orang tua yang selalu mendukung dan
mendoakanku
-
Aku memiliki rasa percaya diri yang tinggi saat
berinteraksi dengan orang lain, sekalipun baru bertemu
-
Aku cepat belajar
-
Aku adalah orang yang open-minded
-
Aku suka bersinggungan dengan hal-hal baru
-
Aku memiliki keyakinan spiritual
-
Aku memiliki modal yang cukup untuk memulai sesuatu dari
yang kecil
-
Aku memiliki aura ramah
Setidaknya, itu potensiku, yang bisa
kukapitalisasi untuk mewujudkan mimpi.
Jadi, aku musti memulai dari mana?
Aku harus memulai dari hal yang
paling terjangkau. Menjadi dropshipper atau reseller sepertinya akan menjadi
kick-start yang bagus. Aku sudah memiliki beberapa jaringan supplier. Tinggal aktifkat
starter enginenya. Tak perlu cepat-cepat menaikkan gigi, yang penting stabil
percepatannya. Toh nanti juga akan melaju juga. Saat sudah melaju, tinggal
menaikkan gigi sesuai dengan kemauanku.
Aku harus konsisten dalam
menjalankan usaha dropship. Seperti apapun progress atas usaha yang kujalani,
yang penting aku sudah berada pada right
track. Aku harus terus konsisten menjalankan dropship hingga titik
menghasilkan dan bisa berjalan secara autopilot. Apakah aku bisa? Aku yakin,
atas izin Alloh SWT, aku BISA!!
Setelah dropship berjalan, aku mencoba untuk
merambah ke dunia ekspor dan impor. Dunia ekspor menjadi prioritasku, karena
itu adalah impianku sejak lama. Ada kesempatan untuk itu. Aku harus memulainya
dengan bergabung dengan kelompok belajar ekspor. Tentu aku harus mengeluarkan
uang untuk bergabung dengan kelompok eksportir tersebut. Namun itu adalah
investasi. Aku PASTI BISA!!!
Target awalku adalah berhasil
mengekspor satu produk. Produk apapun itu, dan seberapa pun volumenya. Yang
penting aku melakukan kick-start
dengan sukses. Seterusnya, aku harus mulai menata bisnis eksporku. Semua harus
berujung pada terwujudnya system yang autopilot. Bisnis berjalan, dan terus
berkembang secara autopilot. AKU PASTI BISA!!!
Hasil yang kuraih, harus aku
belanjakan dengan prioritas untuk kegiatan filantropi. Ini bukan supaya aku
mendapatkan balasan atas amal baik ku kepada Alloh SWT, melainkan ini adalah
wujud syukurku kepada Alloh SWT.
Aku harus focus focus dan terus focus terhadap
upayaku ini untuk menjadi digital nomad. Saat berhasil, ada keluarga yang harus
aku cukupi kebutuhan-kebutuhannya. Ada kaum dhuafa yang harus aku bantu. Ada
warga palestina yang harus aku santuni. ada ekonomi kerakyatan yang aku harus
berkontribusi untuk mengembangkannya.
Alloh…hati dan pikiranku bergetar
saat aku menulis ini. Terasa begitu nyata. Aku yakin ini adalah signal positif
bahwa Alloh akan mewujudkannya untukku. Alloh SWT akan memudahkannya. Aku
pendosa, namun Alloh SWT maha besar dan maha welas asih terhadap hambaNya. AKU
BISA!!
Hari ke-delapan hingga sebelas
Hari-hari di Bali ini terasa begitu
cepat. Orang berkata, rasa cepat berlalunya waktu menyiratkan kebahagiaan.
Artinya, aku bahagia dan betah berada di sini. Jujur, memang benar. Aku betah
tinggal di sini. Impian yang dulu pernah terbersit dalam pikiran terasa
terwujud nyata. Aktivitasku di sini yang paling utama adalah seputar belajar
dan mengerjakan tugas perkuliahan. Ketika ada rasa bosan, aku tinggal bergegas
menuju pantai di sore hari untuk berenang di sana. Atau sekedar jalan kaki
menyusuri trotoar di seputaran Jimbaran. Itu sudah membuatku senang.
Kemarin, aku sempatkan mengunjungi
Uluwatu. Sebuah tempat yang sangat indah untuk dikunjungi, terutama bagi para
pecinta panorama birunya air laut, deburan ombak yang menghantam dinding tebing
pantai dan sunset. Soal adanya spot-spot yang bagus untuk foto tak perlu
diragukan lagi.
Berada di Bali di masa pandemic ini,
aku merasa privilege banget. Betapa tidak, tempat-tempat wisata yang ku
kunjungi semuanya lengang. Jarang ada pengunjung. Ada pun hanya beberapa. Jadi
merasa bebas untuk menikmati tempat wisata secara penuh. Jarang-jarang ada
orang bisa berswafoto di fesa Penglipuran tanpa di belakangnya ada penampakan
manusia, kecuali di masa pandemic ini. Jarang ada kesempatan untuk berfoto ria
di Uluwatu dengan background alam murni tanpa ada penampakan manusia lain,
kecuali di masa pandemic ini.
Tapi ada satu tempat yang secara tak kuduga
begitu ramai. Pantai Melasti. Posisinya persis di bagian paling selatan pulau
Bali. Tak ada panorama sunset maupun sunrise, karena posisi pantainya yang
menghadap ke selatan. Namun tempat ini menjadi destinasi yang sangat favorit. Mungkin
orang sudah mulai bosan dengan pantai2 yang mainstream seperti Kuta, Sanur,
Jimbaran, Legian, Dreamland, Tanjung Benoa, maupun Nusa DUa. Bukan hanya
Melasti, deretan pantai di ujung selatan Pulai Bali memang akhir-akhir ini
seperti sedang hype-hype nya.
Coincidence banget, di pantai
Melasti aku bertemu dengan 4 orang yang mereka purely digital nomad. Precakapan
yang kami lakukan sambil berendam di pantai Melasti begitu mengesankan. Aku
begitu “khusyuk” mendengar cerita perjalanan mereka menjadi digital nomad. Mereka
bisa sesuka hati tinggal di manapun seberapa lama, asalkan terjangkau. Dan
untuk di Bali ini, dua dari mereka yang merupakan sepasang suami-istri tinggal
selama dua minggu. Sementara sepasang lainnya, yang mana si pria adalah orang
Nigeria dan si wanita adalah orang Kalimantan, berencana untuk memperpanjang
masa tinggalnya di Bali sampai satu tahun.
Mereka bisa sesuka hati menentukan
durasi liburan mereka karena mereka adalah digital nomad. Orang yang tidak
terikat dengan pekerjaan yang mengatur ritme dan waktu kerja mereka. Mereka
earn money atau bahkan make money dari bisnis berbasis digital. Digital nomad
belakangan menjadi trend gaya hidup yang semakin popular. Dulu, orang berbangga
diri ketika memiliki pekerjaan tetap. Sekarang, terutama generasi muda, banyak
justru bangga dengan berpendapatan besar namun tidak perlu terpaku dengan waktu
dan tempat dalam bekerja. Dengan demikian, mereka bisa memiliki waktu yang
fleksibel untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang sesuai dengan kehendak hati
mereka.
Cerita-cerita tentang digital nomad
banyak ku dengar melalui kanal youtube. Kebanyakan dari cerita tersebut
mengisahkan gaya hidup digital nomad orang dari luar negeri. Belum banyak yang
mengulas cerita digital nomad orang Indonesia. Namun, aku mendapatkan langsung
cerita dengan bertemu langsung dengan mereka saat menikmati senja dan suasana
di Pantai Melasti.
Berada di Bali ini, aku merasa
seperti me-recharge mindset dan kesadaran diri. Ada banyak hal yang menjadi
bahan renungan dan pelajaran buat hidupku. Memang benar perkataan bahwa busur
panah tak aka nada gunanya ketika dia tidak dilesakkan untuk meluncur melalui
busur. Biarlah orang memandang bahwa pelancongan ini adalah sikap hedon.
Apalagi ini pelancongan ke Bali, yang nota benenya adalah tempat untuk banyak
orang bersenang-senang. Namun hanya aku yang tau, apa yang aku dapatkan dari
perjalanan ini.
Genap dua minggu di Bali
Tak terasa, staycationku di Bali
sudah genap dua minggu. Kata orang, jika kita merasa waktu cepat berlalu, maka
itu tandanya kita bahagia dan menikmati keadaan. Memang benar. Berada di Bali
bukan hanya menjadi moment pelepas kepenatan pikiran, melainkann juga momen
untuk refleksi diri. Refleksi untuk mengukur melihat sejauh mana diriku
melangkah, apakah aku sedang berada di jalur yang tepat, dan apa yang aku rencanakan.
Benar adanya bahwa terkadang kita perlu menjauh sesaat atau beberapa lama,
untuk bisa mengevaluasi dan menata ulang jalan hidup yang kita tempuh.
I came across a very insightful book. Buku berjudul YOU DO
YOU, ditulis oleh seorang anak muda yang memiliki pemikiran yang reflektif
banget. Banyak hal dalam bukunya yang seperti menyadarkanku akan banyak hal. Hidup
harus ada road map nya. Jika tidak, maka ia hanya akan berjalan hampa tanpa
kejelasan makna. Ada tahapan-tahapan yang semestinya dilalui. Masa usia 20an
musti dijalani secara berbeda dengan masa 30an dan masa-masa selanjutnya.
Another message adalah bahwa aku tak
perlu mengukur pencapaianku dengan pencapaian orang lain. Setiap orang memiliki
garis start yang berbeda-beda. Garis startnya Ardi Bakrie berbeda dengan titik
nolnya aku. Begitu pula garis startnya anak yang lahir di kampong pelosok
berbeda dengan garis startnya anak yang lahir di kota dari keluarga berada.
Tinggal di bali selama waktu yang
sesuka hatiku memberi gambaran jelas tentang gaya hidup yang pernah aku
dambakan, dan masih aku dambakan, digital nomad. Rasanya bebas indah dan
sempurna memiliki hidup penuh kebebasan. Namun kebebasanku ini masih belum
sepenuhnya berada di dalam kendaliku. Sekarang aku memiliki kebebasan waktu
karena kebetulan aku sedang cuti belajar dan situasi belum memungkinkanku untuk
berangkat ke Negara tempat belajar, Australia. Kebebasanku masih ditopang oleh
sumber pendapatan aktif income, dari gaji. Kebebasan sesungguhnya adalah ketika
aku sudah tidak terikat waktu dan active income. Asalkan sehat, aku bisa
melakukan hal-hal keren dan penuh manfaat sesukaku.
Namun satu hal yang aku belum
perbaiki selama di Bali ini adalah produktivitas finansialku. Sebenarnya ada banyak
jalan, ada banyak informasi tentang cara menuju bebas finansial. Namun
sepertinya aku masih belum kuasa penuh untuk mendisiplinkan diri. Aku harus
mencoba, selama berada di Bali ini. Aku tak boleh menunggu situasi penuh pressure untuk memulai dan menjalaninya.
Catatan di hari ke-15 tinggal di Bali
Ada notifikasi di MyUni bahwa
nilaiku keluar untuk kelas Curriculum Development and Innovation. MyUni adalah
platform Learning Management System yang digunakan oleh kampusku, The
University of Adelaide. Buru-buru aku melihatnya, dan ternyata mendapati kekecewaan.
Kecewa bukan hanya karena nilaiku jauh dari target, melainkan juga karena ada
temanku yang sepertinya effortnya tidak sebesar effort ku tapi perolehan
nilainya lebih tinggi. Temanku ini hanya dua hari mengerjakan assignment
tersebut. Sementara aku lebih dari itu. Tak pernah aku secara intensif
mengerjakan assignment tersebut. Namun jika dilihat dari rentang waktu
pengerjaan, kurang lebih seminggu.
Aku jadi belajar dan mengevaluasi
diri. Kuantitas tidak selalu selaras dengan output maksimal. Lamanya pengerjaan
assignment tidak selalu berkorelasi positif dengan hasil maksimal. Itu buktinya
temenku. Waktu pengerjaannya hanya dua hari, namun hasilnya maksimal. Namun aku
belum tau juga the key factors behind her incredible performance. Mungkin saja
dia sebenarnya mengerjakannya jauh2 hari. Dalam arti, jauh-jauh hari dia
merumuskan konsep. Dua hari dia gunakan untuk menuangkan konsep tersebut dalam kerja
nyata. Atau barangkali factor intelegensia yang menjadi penentu. Mungkin dia
memang cerdas. Mungkin dia memahami
konsep menyelesaikan pekerjaan secara maksimal dan sempurna.
Aku jadi teringat istilah
metakognisi, atau metacognitive skill. Sebuah skill kognitif yang oleh banyak
literature disebut sebagai slkill yang sangat-sangat berguna bagi hidup
seseorang, namun seringkali orang take it
for granted. Bahkan para guru yang semestinya mengetahui hal tersebut saja
mungkin
banyak yang tidak begitu familiar dengan istilah tersebut. Mungkin metakognisiku yang
perlu diasah. Agar semua hal bisa aku handel dengan tuntas, tatas, titis, tetes.
Ada banyak assignment dengan
deadline yang cukup meresahkan jiwa-jiwa santuy. Ada banyak tuntutan yang cukup
membuat tidak nyaman untuk berlama-lama rebahan. Dari pengalaman study master
ini, aku justru belajar tentang cara terbaik untuk belajar yang sesuai dengan segala
variable yang ada padaku. Performa membacaku harus cepat dan efektif. Kerjaku
harus cepat, cerdas dan tuntas. Efektifitas dan efisiensi menjadi keharusan.
Catatan hari ke-enam belas
Berbekal tiket yang
kupesan di sebuah situs pemesanan akomodasi online, aku menikmati pengalaman
tinggal di sebuah resort berbintang lima di kawasan Kuta. Seperti halnya
resort-resort yang ada di Bali pada umumnya, Resort ini tidak memiliki bangunan
yang tinggi. Tidak ada pembangunan gedung yang menjulang ke atas, semuanya
melebar dan “makan tempat”.
Aku mendapatkan kamar
di area paling belakang, dengan nuansa taman yang begitu asri nan menyejukkan.
Namun di malam hari, terlebih waktu itu adalah malam Jum’at Kliwon, suasana
terasa begitu angker. Di dalam kamar, aku menyendiri menikmati segala
fasilitas, sambil mengerjakan tugas kuliah yang harus dikumpulkan di hari
berikutnya.
Ada pemandangan yang
cukup memilukan di dalma Resort sebesar dan seluas itu. Tidak banyak tamu yang
menginap di sana. Dari sekian ratus kamar/villa, sepertinya tidak lebih dari 5
kamar yang terisi. Dampak pandemic terlihat sekali di Resort ini. Jejeran vila
mewah nampak sepi tanpa penghuni. Sempat aku berbincang-bincang dengan pegawai
Resort tersebut. Namanya Ratna dan Wilan. Mereka asli orang Bali. Setahun
terakhir, Resort tersebut memang sepi. Biaya maintenance begitu besar, hingga
pemilik Resort tentu mengalami kerugian yang begitu besar. Para pegawai di
Resort tersebut sebagian besar adalah anak-anak magang, yang merupakan mahsiswa
akademi pariwisata. Hanya beberapa orang yang merupakan pegawai tetap.
Dari sini bisa
dipahami kenapa begitu banyak hotel yang On
Sale akhir-akhir ini. Barangkali kengerian dampak pandemic seperti ini
sudah jauh hari terbayang jelas oleh Jerinx SID yang kini dipenjara karena menyerukan
bahwa semua ini adalah konspirasi. Entah benar bahwa di balik pandemic ini
konspirasi atau memang nyata, yang jelas dampaknya sudah terasa nyata. Dampak
ekonomi yang akhirnya merambat ke berbagai dampak lainnya.
Di masa sebelum pandemi,
orang bisa dengan leluasa memarkir kendaraannya di sembarang tempat. Namun
sekarang banyak orang yang merasa was-was, kalau-kalau kendaraan mereka tidak
aman jika diparkir secara tidak aman. Angka kasus pencurian kendaraan cukup
signifikan, dibandingkan masa-masa sebelum pandemi.
Catatan hari ke tujuh belas hingga dua puluh dua
Ini adalah catatan
untuk rentang hari yang paling panjang. Catatan ini sengaja dibuat rapelan. Kesibukan menyelesaikan tugas
kuliah segera membuatku tak sempat menhisi catatan ini untuk tiap hari. Catatan
kali ini aku isi dengan tema procrastination
dan syukur.
Sudah menjadi
kebiasaan bahwa aku menyelesaikan tugas mepet-mepet. Sudah lama aku menjadi
seorang deadliner. Sebenarnya bisa saja aku menjadi on-time-er. Namun seringkali ada bisikan syaitan yang membuatku
mengulur-ulur waktu penyelesaian tugas. Akhirnya, dampaknya seperti yang ku
alamai saat menyelesaikan tugas dua mata kuliah kemarin.
Rentang waktu yang
tersedia untuk penyelesaian tugas tersebut sebenarnya ada 3 mingguan. Namun
karena berbagai kesibukan lain, dan juga dorongan kebiasaan menunda, membuatku
persis melakukan upaya efektif tidak lebih dari 2 hari. Otak terforsir, begitu
pula tenaga. Jatah tidur malam ditunda, berharap bisa diganti dengan waktu
tidur di siang hari. Kepanikan sempat melanda, apalagi saat mata ini melirik
waktu yang menandakan semakin dekatnya deadline. Tibalah saatnya aku submit
tugas, hanya beberapa menit sebelum deadline.
Qodarulloh…laptop
yang ku pakai nge-hang. Semakin menjadi-jadi
lah kepanikanku. Sementara waktu tinggal 2 menit. Akhirnya terkirim sudah
tugasku. Namun di situ ada keterangan “Late” berwarna merah. “Apes!!!”, batinku
berkata. Keterlambatan pengiriman tugas memiliki konsekuensi pengurangan nilai
sebanyak 2% per jumlah hari keterlambatan. Cukup signifikan. beberapa jam
sebelumnya, aku sempat menghubungi dosen untuk diberikannya aku submission extension. Upaya ini
semestinya aku lakukan paling tidak sehari sebelumnya, dengan memberikan excuse
yang making sense tentunya. Aku sudah
pasrah, biarlah ada pengurangan nilai. Ternyata…ada notifikasi email dari
dosen. Kubuka, dan isinya adalah dosenku
menyetujui untuk memberikan submission extension. Artinya aku bisa telat
mengirimkan tugas dengan tanpa dikurangi poin nilainya.
Senang rasanya, namun
aku sudah terlanjur mengirimkan tugas. Tak apa lah. Selesai mengerjakan tugas,
aku bergegas menuju kasur. Merebahkan badan yang sudah berjam-jam diforsir
untuk bekerja. Entah kenapa, sesaat setelahnya, ada rasa untuk segera menyelesaikan
tugas selanjutnya. Padahal deadline nya masih cukup panjang. Selesainya tugas
ini menimbulkan efek psikologis berupa sense
of accomplishment. Efek ini yang memicu keinginan untuk segera
menyelesaikan tugas-tugas selanjutnya. Ada rasa puas saat pekerjaan selesai.
Mungkin lebih puas lagi jika pekerjaan selesai jauh hari sebelum tanggal
deadline nya.
Selanjutnya, aku akan
bercerita tentang rasa syukur. Di kosan tempat aku tinggal, ada seorang caretaker, namanya adalah Flo, asli NTT.
Dia berada di Bali sudah cukup lama, bertahun-tahun. Dia mulai merantau
semenjak masih seusia anak SMP. Negeri perantauan pertama yang ia singgahi
adalah Jogjakarta. Dia habiskan masa SMP dan SMA di sana. Selanjutnya dia
berpindah ke Bali, dengan harapan ada kesempatan untuk membuat hidupnya lebih
baik. Setidkanya itu yang aku tangkap dari ceritanya.
Flo ini hidup di Bali
dengan istri dan anaknya yang masih belia. Di masa pandemic ini, Flo hanya
bekerja di satu tempat, yaitu kosan dimana aku tinggal. Jam kerjanya tidak
menentu. Kadang dia dating, kadang dia tidak datang. Ternyata itu memang
kebijakan dari sang pemilik kosan. Kosan ini dulunya adlaah hotel. Karena
pandemic, yang berimbas pada sedikitnya tingkat okupansi, maka ia disulap
menjadi kosan. Tentunya harganya jauh lebih murah.
Aku bayangka, Flo
harus menghidupi anak dan istrinya di Bali yang notabenenya berbiaya hidup
tinggi, dengan hanya mengandalkan kerja paruh waktu. Tapi dia masih bisa
survive. Aku jadi refleksi diri. Kadang aku yang masih hanya mengurus diri
sendiri saja masih mengeluh ketika ada sedikit saja keterbatasan. Pandemic
jelas menghantam kehidupan banyak orang. Kisah hidup orang orang seperti Flo
harus aku jadikan sebagai pemicu rasa syukur. Setidkanya, kondisiku jauh lebih
baik dari Flo. Aku masih bisa memilih makanan. Aku masih bisa nonton bioskop
kapanpun aku mau. Aku masih bisa memesan makaan via ojek daring. Aku masih bisa
mengunjungi tempat indah saat aku merasa bosan. Aku masih bisa menikmati
rebahan sambil nonton video yang bagus melalui perangkat gadget yang kupunya. Aku
masih bisa mengirim duit ke orang tua. Aku masih bisa memberikan orang makanan.
Kurang alasan apalagi
untuk aku bersyukur?
Catatan hari ke-23 hingga 25
Sabtu minggu kemarin
aku gunakan untuk mengeksplorasi daerah Bali sebelah utara. Ada beberapa tempat
hidden gem yang sempat aku kunjungi.
Diantaranya adalah Taman Ujung, Penataran Lempuyang (meski akhirnya tidak
diperkenankan masuk, karena sedang ada upacara peribadatan), Tirta Gangga, dan
Pura Besakih (pura terbesar di Bali). Di antara tempat-tempat tersebut, ada satu
hal menarik yang menambah wawasnku tentang konsep ketuhanan dalam agama Hindu. Di
Pura Besakih, ada beberapa komplek pura dewa seperti pura Dewa Wisnu, Dewa
Siwa, dan Dewa Brahmana. Yang menarik adalah, ternyata dalam agama Hindu, ada
yang disebut Sang Yang Widi Wase, atau Tuhan Yang Maha Esa.
Pura untuk Yang Widi
Wase ini paling besar dan luas diantara komplek pura-pura yang ada di kawasan
tersebut. Dijelaskan oleh seorang guide, Sang Yang Widi Wase adalah pencipta
alam semesta, termasuk pencipta para Dewa. Ini menarik. Ini menyiratkan bahwa
ada irisan konsep ketuhanan antara Islam, Kristiani, dan Hindu. Aku belum tau
tentang agam selain itu, apakah ada konsep ketuhanan yang beririsan.
Jadi, pada dasarnya
dalam keyakinan Hindu ada Tuhan yang Maha Tunggal. Namun entah kenapa, selama
ini aku belum pernah mendengarnya. Tuhan, dalam agama Hindu, sejauh yang
kuketahui, adalah Dewa-dewa yang jamak terdengar seperti dewa wisnu, dewa
siswa, dan dewa brahmana.
Hari ke-26-30
Tugas begitu banyak,
dengan deadline yang cukup berdekatan. Aku cukup merasa tertekan secara
psikologis. Ada rasa bahwa ini adalah
beban. Ada pikiran bahwa kegiatan mengerjakan tugas online ini mengurangi kekhidmatan
menjalani hidup sebulan hidup di Bali. Tiba-tiba aku merasa jadi budak tugas. Kuliah
ini serasa tumpukan beban di tengah depresinya aku yang tak kunjung jua
berangkat ke Australia. Hingga suatu malam aku tersadar akan suatu hal.
Sekian lama aku
merenung. Kenapa ini semua terasa beban. Ada dialog batin yang cukup seru. Logikaku
meyakinkan positif, bahwa kuliah ini semestinya tidak jadi beban. Karena apa? Karena
rasa adanya beban adalah indicator bahwa aku harus terus belajar. Bahwa masih
banyak hal yang aku harus pelajari. Ada banyak missing things yang aku belum
pahami tentang kuliah ini. Ada ilmu-ilmu yang aku harus mulai mempelajarinya
dari dasar sekali, ilmu statistic contohnya. Ada hal-hala yang aku harus akui
secara jujur bahwa aku harus belajar lagi. Ilmu tentang Academic Writing,
contohnya. Ada banyak materi yang begitu detil dan beragam pada satu mata
kuliah yang aku anggap mudah. Ragam materi pada ilmu Leadership, contohnya. Begitu
pula dengan Educational policy course, yang ternyata membutuhkan upaya belajar
yang besar.
Beban ini jadi
indicator bahwa aku masih harus terus belajar. Belajar dengan tanpa
hitung-hitungan. Kadang ada perasaan bahwa aku sudah belajar banyak, namun
kenapa tidak kunjung jua aku memahaminya. Di titik ini aku harus menerima
kenyataan bahwa performa daya piker manusia semakin menurun, seiring dengan
bertambahnya usia. Dengan kesadaran ini, aku jadi harus menerima kenyataan
bahwa aku harus belajar lebih lama untuk sampai pada titik pemahaman. Berbeda
dengan anak yang masih belia yang otaknya masih dalam fase golden period.
Satu hal lagi yang
jadi buah renunganku. Rencanaku begitu banyak, dan besar-besar. Saat manusia
memutuskan untuk membuat rencana yang banyak, apalagi rencana besar, alam bawah
sadar secara otomatis merekamnya. Dia membuat semacam alarm pengingat bagi
manusia untuk bergegas mewujudkannya. Aku jadi ingat, kadang saat aku berbaring
rebahan kepalaku terasa pusing. Pusing karena mengingat begitu banyaknya hal. Overthinking.
Pada saat terebut, sebenarnya alam bawah sadarku sedang mengingatkanku bahwa
aku tidak boleh santai-santai. Rencana dalam waiting list sedang menunggu untuk
diwujudkan. Tidak boleh lekar-lekor.
Sadar akan hal ini,
kini aku tak tertekan lagi dengan adanya tugas kuliah. Aku merasa bahwa
tugas-tugas ini adalah hal lumrah. Rangkaian reading list untuk semua mata
kuliah yang aku ambil harus dibaca semua. Ini adalah konsekuensiku mengambil
keputusan untuk kuliah lagi. Dan ingat, aku harus menghasilkan output.
Outputnya berupa 3 atau 4 buku yang berkaitan dengan gagasan pengembangan
praktik pembelajaran.
Lewat Sebulan di Bali
Jujur, kuliah online
yang ku jalani ini terasa cukup menjadi beban. Bukan karena aku cengeng tidak
konsekuen dengan keputusan untuk kuliah. Beban ini terasa karena ada ekspektasi
yang tak terwujud. Aku mengharap bisa menikmati kegiatan perkuliahan secara normal
dengan hadir di kampus dan berkomunikasi langsung dengan dosen dan teman kelas.
Aku mengharapkan pengalaman menikmati me-time di perpustakaan untuk sekedar
baca-baca buku atau menulis. Aku mengharapkan untuk berkesempatan bertanya
langsung kepada dosen saat ada bagian dari materi kuliah yang aku belum pahami.
Namun semua itu belum juga terwujud, padahal kegiatan perkuliahanku sudah
berjalan hamper satu tahun.
Aku mencoba
berpositif diri. Berpikir positif, berperasaan positif, dan bersikap positif. Namun
siapalah aku si manusia biasa yang kadang tak dapat menghindar dari mengeluh. Mungkin
orang lain akan berkata, “sabar saja. Memang kondisi pandemic seperti ini
membuat situasi tidak menyenangkan”. Andai semua teman-teman seangkatanku
sesame awardee LPDP mengalami hal yang sama dengan yang kualami mungkin tidak
kana ada protes hati. Namun nyatanya banyak dari mereka yang sudah bisa
berangkat ke luar negeri tujuan studi. Australia benar-benar memupus harapanku
untuk menikmati pendidikan kualitas tinggi. Jujur, aku benci!
Kini, aku sangat
sensitive dengan guyonan teman yang menyinggung belum berangkatnya aku. Guyonan
semacam “Dahlan kuliah di Australia cabang Pekalongan” sudah terasa sebagai
sebuah bullyan, alih-alih candaan. Benci pula dengan mereka yang sok menanyakan
kabar kuliahku, namun memberi tanggapan yang tak bijak saat mengetahui aku
masih belum bisa berangkat ke Oz. “Kamu sih mas, kenapa dulu milih Australia
sih”, celetuk teman melalui pesan di WA. “Ini orang ndak pernah belajar tentang
empati”, batinku. Dia pintar secara akademik, namun tolol dalam menjalin
komuikasi interpersonal. Auto-delete dari circle interaksiku.
Aku sudah berusaha
membijakkan diri. Siapa lagi yang bisa mengarahkanku untuk berpikir dan
bersikap bijak dalam menghadapi situasi ini kalo bukan aku sendiri. Aku tak
perlu risau dan mengeluh.
“Apa pun kondisinya, kamu harus terus tetap bersyukur. Memang
menyedihkan ketika tidak bisa berangkat ke Negara tujuan kuliah, dan menjalani
studi secara online. Namun itu masih harus disyukuri. Setidaknya kamu masih
bisa dapet kesempatan belajar, cuti bekerja, menikmati waktu bersama orang tua,
men-setting ulang roadmap hidupmu, dan lainnya. Masih banyak orang yang ingin
mendapatkan kesempatan meraih beasiswa kuliah, namun tidak kesampaian. Masih
banyak orang yang tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkan impian studi
lanjut. Namun kamu mendapatkannya”
Yang
terpenting, sekarang yang harus aku fokuskan adalah menjalani studi ini sebaik
dan semaksimal mungkin. Usahakan agar aku benar-benar mendapatkan ilmu yang
bermanfaat. Usahakan bahwa aku memiliki bekal dan mampu berkontribusi bagi
kemajuan negeri ini dalam dunia pendidikan. Orang pada akhirnya akan melihat
hasil yang aku tunjukkan, bukan prosesnya. Terlepas apapun penilaian orang,
yang terpenting adalah kamu memiliki kepuasan diri. Puas karena kamu bisa
memiliki dampak positif yang besar bagi negeri. Siap untuk selalu berkarya!
Hari ke-32 di Bali
Penting
sekali bagi guru untuk terus mendalami ilmu tentang psikologi. Penting sekali
bagi guru untuk memahami tentang perkembangan karakter peserta didik. Saya
sering mendapati banyak guru yang memiliki sudut pandang yang kurang luas
perihal memandang perilaku peserta didik. Peserta didik yang kurang/tidak aktif
dalam melaksanakan aktivitas-aktivitas pembelajaran seringkali dilabeli stigma
negative. Mereka seringkali dianggap sebagai siswa bermasalah yang harus
dihukum. Padahal, seringkali “kenakalan” peserta didik disebabkan oleh berbagai
factor yang justru membutuhkan empati dan peran guru dalam mengatasinya.
Perlu
diketahui bahwa para peserta didik hadir di sekolah dengan membawa level
motivasi yang beragam. Ada peserta didik yang sudah memiliki motivasi yang
jelas terkait untuk apa mereka ke sekolah. Ada yang sudah memiliki keyakinan
bahwa mereka akan mendapatkan manfaat dari apa yang mereka pelajari di sekolah.
Peserta didik semacam itu pada umumnya cenderung nurut pada system yang berlaku
di sekolah. Mereka sangat jarang memiliki atau menciptakan masalah di sekolah.
Di sisi lain, ada peserta didik yang bahkan tidak tahu untuk apa mereka ke
sekolah. Mereka tidak bisa sepenuhnya disalahkan atas hal tersebut, karena hal
itu mungkin dipengaruhi oleh berbagai factor.
Ada
banyak factor yang mempengaruhi sikap/perilaku belajar peserta didik di
sekolah. Satu di antaranya adalah Socio-economic status. Latar belakang social
ekonomi sudah terbukti merupakan factor penting yang mempengaruhi perilaku
peserta didik dalam belajar. Hal tersebut seringkali dijadikan objek kajian
penelitian oleh OECD, sebuah lembaga yang menyelenggarakan test PISA. Tidak
semua peserta didik beruntung memiliki lingkungan keluarga maupun social yang memotivasi
dan mendorong mereka untuk memahami apa arti belajar. Tidak semua peserta didik
beruntung memiliki fasilitas yang menjunjang proses belajar mereka. Tidak semua
peserta didik beruntung memiliki wellbeing yang bagus. Untuk para peserta didik
yang tidak memiliki keberuntungan tersebut, guru semestinya hadir memberikan
pendampingan.
Di
Australia, tidak ada siswa yang tidak naik kelas. Semua siswa baik di level
sekolah Dasar maupun menengah naik kelas semua. Kebijakan tersebut sudah
berlangsung sejak lama. Ada consensus di antara para stakeholder bahwa
pengulangan kelas tidak bisa menjadi solusi atas permasalahan apapun yang
berkaitan dengan peserta didik di sekolah. Jika itu dimaksudkan untuk
menimbulkan efek jera, oleh mereka hal tersebut dianggap tidak efektif. Yang
terjadi di Australia adalah setiap siswa pasti naik kelas, dan guru dengan
system yang ada di sekolah bekerja untuk memastikan bahwa siswa mendapatkan
pelayanan pendidikan yang maksimal.
Guru
harus memahami bahwa siswa rentan mengalami stress yang cukup tinggi. Di
sekolah menengah, para siswa rata-rata harus mempelajari lebih dari 10 mata
pelajaran. Di sekolah swasta bahkan kadang lebih banyak lagi mata pelajaran
yang harus diambil oleh para siswa. Bayangkan seandainya semua atau sebagaian
besar dari mata pelajaran tersebut memberikan tugas untuk dikerjakan dalam satu
minggu. Memang hal tersebut memungkinkan. Namun tidak semua siswa memiliki
metacognitive strategies yang memudahkan mereka mengatur penyelesaian
tugas-tugas tersebut dengan baik. Bahkan banyak di antara mereka yang belum
memiliki pemahaman tentang bagaimana cara yang baik untuk mereka belajar. Padahal,
keragaman gaya belajar itu pasti. Seseorang mungkin bisa memahami suatu
pengetahuan hanya dengan mendengarkan penjelasan dari guru. Namun sebagian
lainnya mungkin lebih paham jika mempelajarinya melalui media visual, seperti
catatan yang menarik, atau video. Berapa banyak guru
yang membantu siswa untuk memahami gaya belajar mereka di awal semester?
Jika ada, mungkin jumlahnya kalah jauh dari jumlah guru yang sama sekali tidak
memberikan pemahaman tentang gaya belajar pada siswa.
Saat
ada masalah terkait dengan perilaku siswa dalam belajar, guru semestinya lebih
mengedepankan pendekatan refleksi diri. Sebelum memberikan vonis terhadap siswa
bahwa mereka salah, semestinya guru melakukan refleksi untuk menemukan apa saja
hal yang mereka lakukan yang belum berjalan dengan maksimal. Tidak
dikerjakannya suatu tugas/proyek oleh siswa belum tentu berarti bahwa itu
adalah sebuah kemalasan. Barangkali itu adalah sebuah pemberontakan karena
mereka tidak memahami apa yang semestinya mereka lakukan, sementara mereka
tidak memiliki keberanian untuk bertanya.
Sayangnya,
kadang ada guru yang lebih suka mengedepankan ego diri. Misalnya, siswa tidak
mengerjakan tugas diartikan sebagai sikap tidak menghargai guru, alih-alih
berpikir bahwa barangkali hal tersebut justru disebabkan karena guru itu
sendiri yang belum memberikan pelayanan maksimal dalam mendidik siswa. Kurikulum
pendidikan guru biasanya menyisipkan mata kuliah psikologi belajar, psikologi
perkembangan serta mata kuliah aspek pedagogis lainnya untuk dipelajari oleh
mahasiswa calon guru. hal tersebut menyiratkan akan pentingnya memahami
psikologi individu dalam menjalankan tugas sebagai pendidik. Namun, belajar
psikologi semasa kuliah saja tidak lah cukup. Ilmu psikologi berkembang begitu
cepat. Ada banyak dinamika tentang perilaku manusia yang dipengaruhi oleh
berubahnya peradaban dan pola hidup manusia. Oleh karena itu, guru perlu terus
meng-update pemahaman mereka tentang ilmu psikologi.
Selesai
Alhamdulllah…selesai
sudah catatan sebulan hidup di Bali. Aku sudah kembali ke rumah. Nuansa
ramadhan begitu terasa. Siklus Sahur-Aktivitas-Buka Puasa-Tarawih-Tadarus lebih
terasa. Masih ada setengah bulan untuk jalani puasa, insya Alloh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar