Senin, 11 Oktober 2021

Gaji Terlihat Begitu Tak Berdaya di Mata Harga Properti

 Di sebuah warung yang terletak di belakang kantor polisi, aku mendengar percakapan dua orang ibu tentang harga property. Ceritanya, sepetak lahan yang terletak tak jauh dari warung tersebut di-kavling-kan, dan dijual. Nada bicara mereka naik saat menyinggung tentang harga tiap petak tanah kavling tersebut. Ukuran 7x10 saja dijual dengan harga antara 150-250, tergantung strategis tidaknya posisi tanah kavling. Harga yang menurut mereka mencengangkan, mengingat harga saat tanah tersebut di jual beberapa tahun lalu jauh dari harga sekarang.

Menurut seorang teman yang bergelut dalam dunia bisnis properti, harga property memang naik begitu drastisnya dalam 10 tahun terakhir. Sebelumnya, kenaikan harga property tidak begitu drastic. Ada kenaikan pun hanya berapa persen. Sekarang, kadang property yang dibeli hanya beberapa bulan saja sudah ditawar oleh pembeli dengan harga 2-3 kali lipat dari harga semula.

Entah kenapa, seketika muncul dalam pikiranku soal gaji pegawai. Katakanlah seorang pegawai menerima take home pay per bulan 7 juta rupiah. Per tahun 84 juta. Gaji tersebut selama setahun dikumpulkan utuh pun belum bisa membeli satu petak property yang dibicarakan oleh ibu-ibu tadi. Butuh setidaknya dua tahun. Itu pun mungkin hanya bisa dapat tanah kavling yang lokasinya tak begitu strategis. “Betapa lemah sekali daya gaji terhadap property”, pikirku. Mungkin ada orang yang menyarankan bahwa pegawai itu mau tidak mau harus memiliki penghasilan sampingan. Memang benar. Namun tidak mudah untuk menghasilkan pendapatan sampingan secara maksimal, mengingat sebagian besar waktu, pikiran dan tenaga pegawai sudah tercurahkan di pekerjaan pokoknya sebagai pegawai.

Aku teringat dengan seorang teman yang pernah bercerita tentang perdebatannya dengan orang tuanya soal pilihan karir. Orang tuanya berkehendak supaya dia meniti karir sebagai pegawai negeri. Smeentara dia sendiri ingin bergelut dalam dunia wirausaha, dan tak mau menjadi pegawai. Mungkin saat itu dia sudah memiliki kesadaran awal akan lemahnya daya gaji terhadap kebutuhan hidup. Kita bisa lihat sekilas tentang lemahnya daya gaji terhadap property. Dia merintis usaha semenjak masih duduk di bangku kuliah. Sekarang, dia sudah memetik hasilnya. Memperoleh penghasilan besar dan cukup untuk kehdupannya sampai tua. Tentu hal tersebut dia capai melalui proses jatuh dan bangun.

Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk melampiaskan rasa kurang syukur, melainkan sebagai bahan perneungan diri. Lantas, siapakah mereka yang survive terhadap gilanya harga property? Ya merkea yang suykses menjalankan bisnis. Apakah pegawai sukses tidak bisa se-survive mereka? Mungkin bisa. Namun se-sukses-suksesnya pegawai, jika itu murni sukses dalam dunia kepegawaian, secara finansial tetap lemah daya tawarnya terhadap gilanya harga property. Iya sih, ada posisi-posisi kepegawaian dengan gaji tinggi. Namun perbandingan pegawai bergaji tinggi dan bergaji rata-rata seperti piramida. Yang ber posisi puncak tetap lah jauh lebih sedikit daripada yang berposisi posisi di bawah.

Akhirnya, sudah tak relevan lagi orang tua mengharap agar anak-anak mereka sekolah yang pintar agar jadi pegawai. Paradigm harus bergeser. Mindset harus dirubah. Anak-anak harus didorong untuk menjadi pengusaha. Dalam sisi apa pun pengusaha itu lebih banyak kelebihan-kelebihannya dibanding menjadi pegawai. Yang sudah jadi pegawai seperti aku, tinggal renungkan, kemudian ambil keputusan. Tak ada keputusan yang salah, asal mau mengerti dan menanggung konsekuensinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar