Di sebuah warung yang terletak di belakang kantor polisi, aku mendengar percakapan dua orang ibu tentang harga property. Ceritanya, sepetak lahan yang terletak tak jauh dari warung tersebut di-kavling-kan, dan dijual. Nada bicara mereka naik saat menyinggung tentang harga tiap petak tanah kavling tersebut. Ukuran 7x10 saja dijual dengan harga antara 150-250, tergantung strategis tidaknya posisi tanah kavling. Harga yang menurut mereka mencengangkan, mengingat harga saat tanah tersebut di jual beberapa tahun lalu jauh dari harga sekarang.
Menurut seorang teman yang bergelut dalam dunia bisnis
properti, harga property memang naik begitu drastisnya dalam 10 tahun terakhir.
Sebelumnya, kenaikan harga property tidak begitu drastic. Ada kenaikan pun
hanya berapa persen. Sekarang, kadang property yang dibeli hanya beberapa bulan
saja sudah ditawar oleh pembeli dengan harga 2-3 kali lipat dari harga semula.
Entah kenapa, seketika muncul dalam pikiranku soal
gaji pegawai. Katakanlah seorang pegawai menerima take home pay per bulan 7
juta rupiah. Per tahun 84 juta. Gaji tersebut selama setahun dikumpulkan utuh
pun belum bisa membeli satu petak property yang dibicarakan oleh ibu-ibu tadi. Butuh
setidaknya dua tahun. Itu pun mungkin hanya bisa dapat tanah kavling yang
lokasinya tak begitu strategis. “Betapa lemah sekali daya gaji terhadap property”,
pikirku. Mungkin ada orang yang menyarankan bahwa pegawai itu mau tidak mau
harus memiliki penghasilan sampingan. Memang benar. Namun tidak mudah untuk
menghasilkan pendapatan sampingan secara maksimal, mengingat sebagian besar
waktu, pikiran dan tenaga pegawai sudah tercurahkan di pekerjaan pokoknya
sebagai pegawai.
Aku teringat dengan
seorang teman yang pernah bercerita tentang perdebatannya dengan orang tuanya
soal pilihan karir. Orang tuanya berkehendak supaya dia meniti karir sebagai
pegawai negeri. Smeentara dia sendiri ingin bergelut dalam dunia wirausaha, dan
tak mau menjadi pegawai. Mungkin saat itu dia sudah memiliki kesadaran awal
akan lemahnya daya gaji terhadap kebutuhan hidup. Kita bisa lihat sekilas
tentang lemahnya daya gaji terhadap property. Dia merintis usaha semenjak masih
duduk di bangku kuliah. Sekarang, dia sudah memetik hasilnya. Memperoleh penghasilan
besar dan cukup untuk kehdupannya sampai tua. Tentu hal tersebut dia capai
melalui proses jatuh dan bangun.
Tulisan ini
bukan dimaksudkan untuk melampiaskan rasa kurang syukur, melainkan sebagai
bahan perneungan diri. Lantas, siapakah mereka yang survive terhadap gilanya harga
property? Ya merkea yang suykses menjalankan bisnis. Apakah pegawai sukses
tidak bisa se-survive mereka? Mungkin bisa. Namun se-sukses-suksesnya pegawai,
jika itu murni sukses dalam dunia kepegawaian, secara finansial tetap lemah
daya tawarnya terhadap gilanya harga property. Iya sih, ada posisi-posisi
kepegawaian dengan gaji tinggi. Namun perbandingan pegawai bergaji tinggi dan
bergaji rata-rata seperti piramida. Yang ber posisi puncak tetap lah jauh lebih
sedikit daripada yang berposisi posisi di bawah.
Akhirnya, sudah tak relevan lagi orang tua mengharap
agar anak-anak mereka sekolah yang pintar agar jadi pegawai. Paradigm harus
bergeser. Mindset harus dirubah. Anak-anak harus didorong untuk menjadi
pengusaha. Dalam sisi apa pun pengusaha itu lebih banyak kelebihan-kelebihannya
dibanding menjadi pegawai. Yang sudah jadi pegawai seperti aku, tinggal renungkan,
kemudian ambil keputusan. Tak ada keputusan yang salah, asal mau mengerti dan menanggung
konsekuensinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar