Senin, 01 Agustus 2016

Mengasah Integritas Melalui Ketertiban Berlalulintas

Gambar: Menunggu lampu hijau

Berkendaran di Jepang mungkin bisa menjadi hal yang membuat stress bagi orang-orang luar Jepang yang belum terbiasa dengan kondisi lalulintas di Jepang. Betapa tidak, lampu lalu lintas tersedia begitu banyaknya, bukan hanya di jalan besar, di jalan kecil, yang kalau di Indonesia seringkali disebut sebagai “gang”, pun terdapat banyak lampu lalu lintas. Bukan tanpa sebab, dipasangnya begitu banyak lampu lalu lintas di Jepang tentunya  ditujukan untuk menciptakan ketertiban berlalulintas, apalagi pengguna jalan bersifat heterogen. Ada pengendara kendaraan roda 4, ada pengendara sepeda motor, ada pejalan kaki, dan ada pengendara sepeda onthel. Di negara manapun pasti ada aturan tentang ketertiban berlalulintas. Hanya saja, aturan lalu lintas di Jepang terasa begitu ketat. Setidaknya, itulah kesan yang saya dapatkan. 

Hal menarik yang ingin saya bahas dalam tulisan ini adalah mengenai perilaku masyarakat Jepang dalam berlalulintas. Saya sering mengamati bagaimana sikap pengguna jalan ketika ada lampu merah. Tentunya, lampu merah menandakan diharuskannya berhenti bagi pengguna jalan, untuk memberikan kesempatn bagi pengguna jalan dari sisi lain agar bisa melewati jalan tersebut. Pertamakali tinggal di Jepang, saya pernah berpikir, bagaimana respon orang Jepang pada umumnya ketika lampu merah menyala, sementara tak terlihat ada kendaraan satu pun yang hendak lewat dari sisi lain jalan. Apakah mereka akan tetap berhenti, atau mencoba tetap jalan menerobos aturan lampu lalu lintas karena yakin bahwa hal tersebut aman, mengingat tak ada kendaraan lain yang lewat. Ternyata, mereka pada umumnya memilih berhenti dan sabar menunggu hingga lampu hijau menyala, meskipun persimpangan jalan tersebut sepi dan tak ada satu pun kendaraan yang lewat. Mengamati hal tersebut, saya mendaatkan satu pelajaran berharga tentang INTEGRITAS, sebuah hal yang mulai langka di negeriku karena semakin tergerus oleh sifat pragmatis yang berkembang di masyarakat.


 



Secara harfiah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Integritas berarti mutu, sifat, atau keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan; kejujuran. Kata Integritas seringkali lekat dengan kejujuran. Orang yang berintegritas dimaknai sebagai orang yang berperilaku jujur dalam segala kondisi. Integritas terasa menjadi nilai yang mahal dan semakin langka, ketika pragmatisme dan kemenangan sesaat nan semu smakin diminati oleh sebagian (besar) masyarakat kita, meski dengan menanggalkan kejujuran. Banyak siswa yang memilih untuk melakukan tindakan mencontek dengan harapan bisa mendapat nilai bagus saat ujian. Banyak pelamar kerja melakukan grativikasi alias penyuapan untuk memuluskan jalan baginya mendapatkan pekerjaan. Banyak calon anggota abdi negara melakukan penyogokan untuk mendapatkan untuk diloloskan dalam proses seleksinya. Banyak pula pedagang yang melakukan tindakan yang tak jujur demi meraih keuntungan maksimal.



Segala tindakan yang minus integritas tersebut tentunya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, karena nurani mereka tentu berseberangan dengan pilihan tindakan yang mereka lakukan tersebut. Sesungguhnya, integritas merupakan karakter/sifat. Karakter terbentuk melalui tindakan-tindakan kecil yang menjadi kebiasaan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Richard Kyte, “Character is formed through repeated actions, often beginning at a young age, until the behaviors become habits”. Tak mengherankan bila orang Jepang terkenal dengan kejujurannya. Sudah muncul di berbagai media bahwa pejabat-pejabat Jepang yang ketahuan melakukan tindakan yang melanggar norma dan etika tak sungkan untuk mengundurkan diri dari jabatannya, seperti yang dilakukan oleh mantan walikota Tokyo baru-baru ini, yang meletakkan jabatannya sebelum masa berakhir periode kekuasaannya, karena dia terlibat dalam praktik penyalahgunaan wewenang yang menurut orang jepang dianggap sebagai sesuatu yang tak patut. Padahal, skandal yang dilakukannya “hanyalah” berupa penggunaan uang negara yang jumlahnya hanya beberapa juta rupiah (jika dikurskan kedalam rupiah) untuk keperluan pribadinya. Sengaja saya berikan tanda kutip pada kata “hanyalah” karena jumlah tersebut relatif kecil untuk dikatakan sebagai sebuah skandal, mengingat di negeriku banyak sekali pejabat negara yang menggunakan uang negara dengan jumlah puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali lipat dari jumlah yang diselewengkan oleh walikota Tokyo tersebut, tapi tak bergeming dan masih dengan percaya diri mempertahankan jabatannya, meski skandalnya sudah diketahui begitu luas oleh khalayak. Sudah bukan rahasia lagi, banyak pejabat di negeri ini yang berusaha dengan segala cara, bahkan dengan menghalalkan segala cara, untuk mempertahankan jabatan mereka, meski mereka terlibat dalam skandal yang diketahui publik. Itu terjadi karena merekatak memiliki integritas. 


Ketertiban dalam berlalu-lintas masyarakat Jepang tentu menggambarkan kualitas integritas orang jepang. Kesediaan untuk menunjukkan sikap penuh integritas dalam hal yang relatif kecil, tentu akan berpengaruh terhadap sikapnya ketika dia mendapati hal yang besar, karena pada dasarnya karakter itu terbentuk melalui kebiasaan-kebiasaan kecil yang semakin hari semakin mengkristal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar