Sabtu, 06 Agustus 2016

Mewujudkan Budaya Membaca


Senang sekali rasanya ketika mendapatkan kabar bahwa kementerian pendidikan dan kebudayaan Indonesia sedang menggalakkan budaya membaca melalui program membaca buku 15 menit sebelum dimulainya pelajaran di sekolah-sekolah. Ini adalah pertanda positif makin terarahnya pendidikan Indonesia menuju kemajuan. Salut deh sama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies baswedan. 

Sekolah dan budaya membaca seharusnya memang seperti 2 sisi mata uang, yang tak bisa terpisahkan satu sama lain. Sudah sewajarnya sekolah yang berisi orang-orang yang sedang dalam proses membentuk kepribadian positif, mengasah keterampilan, serta mempertajam intelektualitas sangat akrab dengan membaca. Hanya saja, harus diakui bahwa ternyata budaya membaca tak selalu lekat dengan sekolah. Setidaknya, hal tersebut lah yang saya amati selama mengabdi menjadi pendidik di sekolah. Saya mempunyai hipotesis, bahwa prosentasi siswa yang menyukai membaca sangatlah sedikit. Ini menarik untuk menjadi objek penelitian, sebenarnya. Hipotesis tersebut saya dapatkan dari pengamatan saya terhadap kebiasaan siswa ketika berada di sekolah. Setidaknya, ini adalah kasus yang terjadi pada sekolah dimana saya mengajar. Namun, boleh jadi, hal tersebut merupakan cerminan dari kondisi siswa indonesia pada umumnya, bahwa sangat sedikit dari mereka yang mempunyai kebiasaan membaca. 


Saya sendiri sedari awal menjadi pendidik sudah menaruh perhatian yang cukup serius dengan penumbuhan budaya membaca pada anak didik saya. setidaknya ada beberapa hal yang telah saya lakukan sebagai upaya mewujudkan budaya membaca di sekolah yang saya ajar. Pertama, saya pernah merelakan diri menjadi perpustakaan keliling, meskipun tidak benar-benar keliling, karena yang saya lakukan hanyalah membawa beberapa buku pribadi saya ke sekolah dan menawarkannya kepada siswa, barangkali mereka tertarik untuk meminjamnya. Hal tersebut berlangsung beberapa bulan, hingga beberapa masalah yang muncul di kemudian hari membuat saya menghentikan kegiatan perpustakaan keliling saya, dan lebih mendorong optimalisasi pemanfaatan perpustakaan sekolah. 

Kedua, saya sempat membuat kelompok baca yang bernama “Reading Community”. Komunitas tersebut dimaksudkan untuk membentuk budaya membaca pada siswa melalui srangkaian kegiatan yang diorganisir oleh sebuah komunitas. Program-program yang dilakukan oleh Reading Community diantaranya adalah bedah buku mingguan, bedah film, diskusi, belajar menulis dan membuat majalah bulanan. Awalnya, kegiatan tersebut berjalan lancar, dengan peminat yang jumlahnya hampir mencapai 100 siswa. Begitu banyaknya siswa yang bergabung, saya pernah mengusulkannya menjadi sebuah kegiatan ekstrakurikuler. Hanya saja, hal tersebut tak mendapatkan persetujuan dari manajer sekolah, karena suatu hal. 

Ketiga, saya suka memamerkan buku kepada siswa. Sebelum dimulainya pelajaran Bahasa Inggris, saya membedah sedikit dari isi buku tersebut, dan menjelaskannya kepada siswa. Saya memahami bahwa siswa biasanya menyukai buku-buku self-help, yang berisi motivasi dan kata mutiara. Oleh karena itu, buku-buku bergenre motivasilah yang lebih sering saya bawa. Hal tersebut memicu diskusi yang cukup menarik, meski tak semuanya ikut berpartisipasi. 



Berbagai upaya saya lakukan untuk mempromosikan budaya membaca, namun tak mudah ternyata. Ada beberapa siswa yang termotivasi untuk membiasakan diri membaca. Namun, mereka pada umumnya adalah siswa-siswa yang memang sudah memiliki motivasi belajar tinggi. Sehingga, sedikit sentuhan motivasi saja, mampu menggerakkan inisiatif mereka untuk secara sadar dan mandiri membaca buku. 

Mempromosikan budaya membaca, sama saja dengan meyakinkan siswa bahwa membaca itu bermanfaat untuk mereka. Di sinilah kemampuan persuasi dibutuhkan. Sudah menjadi hal lumrah bahwa seseorang tak akan dengan secara sadar dan sukarela  mempelajari sesuatu, kecuali dia memahami dengan penuh keyakinan bahwa hal tersebut berguna bagi dirinya. Ada istilah AMBAK, yang merupakan akronim dari Apa Manfaatnya BAgiKu. Sebuah prinsip dalam pembelajaran bahwa hanya ketika pembelajar mengetahui apa manfaat dari hal yang mereka harus pelajari lah, mereka akan dengan sungguh-sungguh secara sukarela meluangkan waktu untuk mempelajarinya. 


Pendidik, sebagai fasilitator belajar siswa, sangat perlu memiliki kemampuan memotivasi siswa untuk menyukai membaca. Kadang, di sinilah letak masalahnya. Jangan kan untuk memotivasi siswa agar menyukai kegiatan membaca, untuk memotivasi diri sendiri agar menyukai membaca saja kadang terasa susah. Masih banyak pendidik (kalau tidak dikatakan sebagian besar) yang belum memiliki budaya membaca yang bagus. Pernah sesekali saya mengajak rekan pendidik berdiskusi tentang kebiasaan membaca. Sebagian besar mengeluhkan kurangnya waktu untuk membaca karena banyaknya tugas di sekolah. Seringkali, alasan yang saya dengar dari mereka sebagai alibi rendahnya frekuensi membaca mereka. Hal ini lah yang menjadi salahsatu akar masalah mengapa sekolah-sekolah di negeri ini banyak yang budaya membacanya masih rendah. Ketika guru yang merupakan fasilitator bagi proses belajar siswa saja tak menunjukkan keteladanan akan kecintaan terhadap aktivitas membaca, maka bagaimana mereka bisa memotivasi siswa untuk menyukai aktivitas membaca. 


Ternyata, menumbuhkan budaya membaca di lembaga pendidikan seperti sekolah tak bisa dilakukan hanya dengan one man show. Dibutuhkan partisipasi berbagai pihak untuk mewujudkannya. Program wajib membaca 15 menit sebelum pelajara dimulai yang digalakkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merupakan angin segar bagi upaya menumbuhkan budaya membaca siswa. Pembentukan kebiasaan membaca kadang membutuhkan dorongan motivasi yang kuat. Namun, proses pembiasaan yang terikat dengan aturan juga bisa berpengaruh membentuk kebiasaan membaca. Semoga generasi pewaris negeri ini semakin lekat dengan budaya membaca. 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar