“Inovasi tanpa
dukungan ekosistem hanya akan menjadi potensi individu”
Najeela Shihab
Masih teringat jelas pengalaman tahun-tahun pertama
aku mengajar di SMA. Di saat guru-guru lain belum begitu familiar dengan
penggunaan teknologi, aku sudah mengakrabkan murid-muridku dengan penggunaan
teknologi seperti laptop, internet, video, proyektor dan lainnya, sebagai media
pendukung pembelajaran. Masih teringat jelas, saat itu aku mendapati cibiran
dari beberapa rekan sejawat.
“ngajar kok rame banget, mengganggu yang lain”.
“itu mengajar atau main-main”.
“Mengajar anak SMA kok kayak mengajar anak TK”.
Itu adalah kalimat-kalimat cibiran dari mereka. Sebagian
aku dengar sendiri saat tak sengaja aku nguping
gunjingan mereka. Sebagian lainnya aku dapatkan dari laporan seorang kawan yang
aku kenal baik, dan juga laporan muridku yang mendengarkan keluhan guru lain
atas ramainya kelas yang aku ampu.
Beberapa tahun kemudian, rekan guru lainnya mulai
tertarik menggunakan teknologi untuk pembelajaran. Mereka merasakan manfaat penggunaan
teknologi, yaitu berupa kemudahan dan efektivitas dalam menyampaikan materi
pembelajaran.
Jauh sebelum masifnya kampanye literasi di
sekolah-sekolah, aku sudah terlebih dahulu berupaya menggiatkan literasi
sekolah melalui sebuah program yang aku rintis bersama beberapa siswa. Program tersebut
kami beri nama “Reading Community”,
atau disingkat menjadi ReCom. ReCom adalah komunitas yang memiliki semangat
untuk menggiatkan literasi. Berbagai program yang kami laksanakan begitu
banyak, seperti bedah buku, bedah film, penulisan majalah dinding, dan
pembuatan bulletin. Sebenarnya ada banyak program lainnya. Namun, program-program
tersebut tidak berjalan karena kurang adanya dukungan ekosistem.
Berjuang sendiri dan menjadi orang yang suaranya belum
didengar sangatlah melelahkan. Di sekolah tersebut, senioritas nampak begitu
dominan. Guru-guru dan karyawan-karyawan senior cenderung bersuara lantang, dan
suaranya seringkali didengar oleh rekan sejawat. Sementara, guru yang masih sedikit
masa pengabdiannya seperti aku cenderung kurang didengar pendapatnya. Bahkan,
kadang untuk bersuara saja aku kurang berani. Sudah ada rasa skeptis duluan
bahwa pendapatku tidak akan ditanggapi.
Itu cerita lama.
Sekarang aku menyongsong chapter baru dalam perjalanan
karirku sebagai seorang guru.
Aku sedang menempuh pendidikan master di sebuah
perguruan tinggi di Australia, dengan harapan bisa memperoleh ilmu yang bisa
berdampak bagi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Targetku ndak
muluk-muluk sih. Aku ingin berkontribusi pada peningkatan kualitas performa
mengajar guru. Aku juga ingin berkontribusi dalam menciptakan sebuah framework
yang bisa membuat para guru atau calon guru memiliki jiwa pembelajar dan growth mindset.
Menjadi seorang lulusan program magister dari sebuah
perguruan tinggi Luar Negri yang masuk dalam top 1% mungkin akan menjadi nilai
tambah buatku dalam berkarya dan berkontribusi. Ilmu-ilmu yang berhubungan
dengan pendidikan jelas kudapat. Gelar pun ku raih. Namun pertanyaannya, apakah
hal tersebut akan menjamin bahwa suaraku akan didengar? Ini yang sedang menjadi
pemikiranku. Banyak lulusan luar negeri yan ketika kembali ke kampong halaman
mereka tidak menjadi siapa-siapa. Mereka kembali ke menjadi biasa-biasa saja.
Aku jadi berpikir, aku yang pulang dengan segudang gagasan
dan idealisme apakah akan mampu bertumbuh dan berkembang di lingkungan tempatku
kembali bekerja nanti? Aku membayangkan harus berjibaku dengan berjuang sendiri
mewukudkan idealisme dan merintis ekosistem sendiri. Guru-guru yang memiliki
mindset pembelajar, program-program sekolah yang berorientasi pada pemberdayaan
guru dan siswa secara maksimal, serta siswa-siswa yang benar-benar merasakan
manfaat nyata dari sekolah, adalah beberapa dari sekian banyak hal yang ingin
aku wujudkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar