Selasa, 10 Mei 2022

Tantangan Saat Kembali Mengabdi

 

“Inovasi tanpa dukungan ekosistem hanya akan menjadi potensi individu”

Najeela Shihab

 

Masih teringat jelas pengalaman tahun-tahun pertama aku mengajar di SMA. Di saat guru-guru lain belum begitu familiar dengan penggunaan teknologi, aku sudah mengakrabkan murid-muridku dengan penggunaan teknologi seperti laptop, internet, video, proyektor dan lainnya, sebagai media pendukung pembelajaran. Masih teringat jelas, saat itu aku mendapati cibiran dari beberapa rekan sejawat.

“ngajar kok rame banget, mengganggu yang lain”.

“itu mengajar atau main-main”.

“Mengajar anak SMA kok kayak mengajar anak TK”.

Itu adalah kalimat-kalimat cibiran dari mereka. Sebagian aku dengar sendiri saat tak sengaja aku nguping gunjingan mereka. Sebagian lainnya aku dapatkan dari laporan seorang kawan yang aku kenal baik, dan juga laporan muridku yang mendengarkan keluhan guru lain atas ramainya kelas yang aku ampu.

Beberapa tahun kemudian, rekan guru lainnya mulai tertarik menggunakan teknologi untuk pembelajaran. Mereka merasakan manfaat penggunaan teknologi, yaitu berupa kemudahan dan efektivitas dalam menyampaikan materi pembelajaran.

Jauh sebelum masifnya kampanye literasi di sekolah-sekolah, aku sudah terlebih dahulu berupaya menggiatkan literasi sekolah melalui sebuah program yang aku rintis bersama beberapa siswa. Program tersebut kami beri nama “Reading Community”, atau disingkat menjadi ReCom. ReCom adalah komunitas yang memiliki semangat untuk menggiatkan literasi. Berbagai program yang kami laksanakan begitu banyak, seperti bedah buku, bedah film, penulisan majalah dinding, dan pembuatan bulletin. Sebenarnya ada banyak program lainnya. Namun, program-program tersebut tidak berjalan karena kurang adanya dukungan ekosistem.

Berjuang sendiri dan menjadi orang yang suaranya belum didengar sangatlah melelahkan. Di sekolah tersebut, senioritas nampak begitu dominan. Guru-guru dan karyawan-karyawan senior cenderung bersuara lantang, dan suaranya seringkali didengar oleh rekan sejawat. Sementara, guru yang masih sedikit masa pengabdiannya seperti aku cenderung kurang didengar pendapatnya. Bahkan, kadang untuk bersuara saja aku kurang berani. Sudah ada rasa skeptis duluan bahwa pendapatku tidak akan ditanggapi.

Itu cerita lama.

Sekarang aku menyongsong chapter baru dalam perjalanan karirku sebagai seorang guru.

Aku sedang menempuh pendidikan master di sebuah perguruan tinggi di Australia, dengan harapan bisa memperoleh ilmu yang bisa berdampak bagi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Targetku ndak muluk-muluk sih. Aku ingin berkontribusi pada peningkatan kualitas performa mengajar guru. Aku juga ingin berkontribusi dalam menciptakan sebuah framework yang bisa membuat para guru atau calon guru memiliki jiwa pembelajar dan growth mindset.

Menjadi seorang lulusan program magister dari sebuah perguruan tinggi Luar Negri yang masuk dalam top 1% mungkin akan menjadi nilai tambah buatku dalam berkarya dan berkontribusi. Ilmu-ilmu yang berhubungan dengan pendidikan jelas kudapat. Gelar pun ku raih. Namun pertanyaannya, apakah hal tersebut akan menjamin bahwa suaraku akan didengar? Ini yang sedang menjadi pemikiranku. Banyak lulusan luar negeri yan ketika kembali ke kampong halaman mereka tidak menjadi siapa-siapa. Mereka kembali ke menjadi biasa-biasa saja.

Aku jadi berpikir, aku yang pulang dengan segudang gagasan dan idealisme apakah akan mampu bertumbuh dan berkembang di lingkungan tempatku kembali bekerja nanti? Aku membayangkan harus berjibaku dengan berjuang sendiri mewukudkan idealisme dan merintis ekosistem sendiri. Guru-guru yang memiliki mindset pembelajar, program-program sekolah yang berorientasi pada pemberdayaan guru dan siswa secara maksimal, serta siswa-siswa yang benar-benar merasakan manfaat nyata dari sekolah, adalah beberapa dari sekian banyak hal yang ingin aku wujudkan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar