Selasa, 10 Mei 2022

Kebijakan Libur Bagi Guru, Wellbeing, dan Pengalaman Belajar Siswa

 

Saya memiliki pertanyaan yang hingga sekarang belum terjawab. Pertanyaannya adalah “sebenarnya setiap kebijakan dalam dunia pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah itu didasari oleh landasan pemikiran yang ilmiah atau tidak sih?” Saya mengamati beberapa kebijakan pemerintah yang kemudian memunculkan hipotesis bahwa kebijakan-kebijakan tersebut tidak atau kurang didasari oleh pertimbangan ilmiah. Contoh kebijakan yang dimaksud adalah jumlah jam belajar siswa di sekolah, jumlah jam kerja guru, kebijakan libur untuk guru, serta kebijakan-kebijakan lain yang berimplikasi terhadap wellbeing siswa dan guru.

Focus bahasan dalam tulusan ini adalah ulasan dan kritik terhadap kebijakan libur guru SMA dan SMK di provinsi Jawa Tengah. Dulu, sebelum tahun 2018, guru di Jawa Tengah memiliki libur yang cukup proporsional. Selain libur di hari-hari besar nasional, guru juga memiliki waktu libur di akhir semester, sebagaimana diliburkannya pula para siswa. Namun, entah dengan pertimbangan apa, sejak awal 2018, ada perubahan kebijakan libur bagi guru-guru SMA dan SMK di Jawa Tengah. Liburnya siswa di akhir semester tidak serta-merta disertai dengan liburnya guru.

Hingga tulisan ini dibuat, saya belum menemukan dokumen aturan mengenai kebijakan libur bagi guru SMA dan SMK Jawa Tengah. Namun, secara fakta, guru-guru SMA dan SMK di sekolah negeri di Jawa Tengah tidak diberikan hak untuk libur saat siswa libur sekolah. Hal ini mengusik pikiran saya, kenapa guru tidak diberikan hak libur saat siswa libur sekolah?

Ada satu hal yang sepertinya memang diabaikan dalam konteks system pendidikan di Indonesia. Hal tersebut adalah wellbeing guru dan siswa. Kenapa isu wellbeing tentang guru dan siswa penting untuk diperhatikan? Jawabannya adalah karena sejatinya penyelenggaraan pendidikan formal di sekolah adalah bermuara pada kebaikan para siswa. Kebaikan bagi siswa yang dimaksud ditandai dengan pencapaian-pencapaian berbagai aspek seperti terbentuknya karakter positif, terasahnya berbagai kecerdasan, serta terasahnya berbagai keterampilan siswa. Sedangkan guru adalah actor utama dalam perwujudan pendidikan yang berkualitas bagi pendidik.

Banyak stakeholder pendidikan yang mungkin kurang menyadari pentingnya wellbeing. Hal tersebut bisa dipahami karena wellbeing, meski bukan hal baru, adalah konsep yang belum cukup menyita perhatian dalam diskusi di dunia pendidikan di Indonesia. Bahkan, padanan kata untuk wellbeing pun sepertinya belum ada di Indonesia. Kita bisa melihat, dalam berbagai dokumen yang mencatut wellbeing, kata wellbeing diadopsi secara utuh tanpa menggunakan padanan kata dalam bahasa Indonesia.

Secara harfiah, konsep wellbeing mencakup kondisi kesehatan psikologis, mental, emosional, dan fisik seorang individual. Wellbeing adalah hal yang bersifat netral, namun mudah terpengaruhi oleh factor eksternal. Berbicara tentang definisi dari wellbeing, seorang pakar wellbeing bernama Martin Seligman membuat sebuah kerangka berpikir yang sering disebut sebagai PERMA. PERMA merupakan singkatan dari Positive Emotion, Engagement, Positive Relationship, Meaning and accomplishment.

Lantas, apa kaitannya antara wellbeing guru, kebijakan libur bagi guru, dan siswa? Guru adalah sebuah profesi yang cukup rentan dengan masalah psikologis, emosional, dan mental. Banyaknya tuntutan pekerjaan guru seringkali membuat seorang guru rentan mengalami stress, baik stress level ringan maupun berat. Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa tuntutan pekerjaan guru membuat banyak guru mengalami masalah-masalah yang berkaitan dengan wellbeing tersebut. Sementara, wellbeing guru terbukti berpengaruh terhadap siswa. Wellbeing yang terganggu akan berimplikasi terhadap peforma guru dalam mengajar. Tentunya, performa mengajar guru sangat mempengaruhi pengalaman serta hasil belajar siswa. Sehingga, sangat jelas bahwa wellbeing guru berdampak pada proses dan pencapaian pembelajaran siswa.

Kebijakan libur bagi guru adalah cukup mendapat perhatian yang serius di berbagai Negara yang system pendidikannya maju seperti Australia, Finlandia, Jepang, Amerika, Selandia Baru dan lainnya. Negara-negara maju tesebut memiliki kebijakan libur bagi guru yang cukup menarik untuk dibahas. Di Australia, para guru memiliki jatah libur dengan jumlah total 12 minggu tiap tahunnya. Libur tersebut di adalah libur sekolah, di luar libur hari besar nasional. Di Jepang dan Australia, guru memiliki jumlah libur sekolah dengan total kurang lebih 10 minggu. Kebijakan libur di Finlandia, dan Selandia Baru pun kurang lebih sama. Intinya, Negara-negara tersebut mengalokasikan liburan bagi guru dalam jumlah yang relative proporsional.

Mungkin ada pertanyaan, mengapa Negara-negara tersebut mengalokasikan hari libur yang cukup banyak bagi para guru? jawabannya adalah bahwa hal tersebut merupakan bagian dari kebijakan untuk menunjang wellbeing guru. Mereka menyadari bahwa wellbeing yang positif akan berimplikasi positif pula terhadap performa kinerja. Sebaliknya, wellbeing yang negative akan berimplikasi negative pula terhadap kinerja. Menurut Pasi Sahlberg (seorang pemerhati pendidikan yang berasal dari Finlandia) pemberian porsi libur yang cukup bagi guru dipandang sebagai salah satu solusi bagi profesi guru yang rentan terhadap stress dan masalah psikologis lainnya yang berimplikasi pada kinerja guru. Waktu libur bagi guru yang cukup akan menunjang wellbeing guru. sementara, wellbeing guru yang bagus akan berpengaruh positif terhadap kinerja mereka dalam mengajar. Akhir dari wellbeing guru yang positif adalah pengalaman belajar siswa yang maksimal. 

Dalam dunia penelitian, ada istilah variable bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variable). Wellbeing guru merupakan bahgian dari variable bebas yang berpengaruh terhadap pengalaman dan hasil belajar para siswa (dependent variable). Yang namanya variable, level pengaruhnya beragam. Ada variabel yang memiliki pengaruh besar dan dominan. Ada pula variable yang sedikit pengaruhnya. Terlepas besar kecilnya Wellbeing sebagai variable yang mempengaruhi pengalaman dan hasil belajar para siswa, wellbeing tetap layak untuk menjadi perhatian dunia pendidikan, karena secara ilmiah wellbeing berdampak pada kualitas pembelajaran para siswa. 

Jika negara-negara maju memberikan kebijakan libur yang relative cukup bagi guru dengan alasan-alasan ilmiah tadi, lantas, apa yang mendasari kebijakan pelitnya waktu libur bagi guru di Jawa Tengah? Apakah hal tersebut dimaksudkan agar guru bisa lebih maksimal dalam mengajar? Apakah hal tersebut dimaksudkan agar memberikan dampak positif bagi pendidikan para siswa? Ataukah itu hanya kebijakan asal-asalan yang miskin pertimbangan ilmiah? Memang sih, setiap Negara memiliki pendekatan berbeda dalam merumuskan suatu kebijakan terkait pendidikan. Namun, semestinya selalu ada dasar rasional dan ilmiah mengapa suatu kebijakan dibuat. Jangan sampai kebijakan dibuat sesuka hati para pemangku kebijakan dengan dasar subjektivitas.

Jika memang tidak ada korelasi positif antara pelitnya kebijakan libur bagi guru dan maksimalnya hasil pendidikan para siswa, maka kebijakan tersebut harus ditinjau ulang. Guru harus dijamin welbeingnya, karena wellbeing guru terbukti secara ilmiah berimplikasi terhadap wellbeing siswa dan proses serta hasil belajar siswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar