Saya memiliki pertanyaan yang hingga
sekarang belum terjawab. Pertanyaannya adalah “sebenarnya setiap kebijakan
dalam dunia pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah itu didasari oleh
landasan pemikiran yang ilmiah atau tidak sih?” Saya mengamati beberapa
kebijakan pemerintah yang kemudian memunculkan hipotesis bahwa
kebijakan-kebijakan tersebut tidak atau kurang didasari oleh pertimbangan
ilmiah. Contoh kebijakan yang dimaksud adalah jumlah jam belajar siswa di
sekolah, jumlah jam kerja guru, kebijakan libur untuk guru, serta
kebijakan-kebijakan lain yang berimplikasi terhadap wellbeing siswa dan guru.
Focus bahasan dalam tulusan ini adalah
ulasan dan kritik terhadap kebijakan libur guru SMA dan SMK di provinsi Jawa
Tengah. Dulu, sebelum tahun 2018, guru di Jawa Tengah memiliki libur yang cukup
proporsional. Selain libur di hari-hari besar nasional, guru juga memiliki
waktu libur di akhir semester, sebagaimana diliburkannya pula para siswa. Namun,
entah dengan pertimbangan apa, sejak awal 2018, ada perubahan kebijakan libur
bagi guru-guru SMA dan SMK di Jawa Tengah. Liburnya siswa di akhir semester
tidak serta-merta disertai dengan liburnya guru.
Hingga tulisan ini dibuat, saya belum
menemukan dokumen aturan mengenai kebijakan libur bagi guru SMA dan SMK Jawa
Tengah. Namun, secara fakta, guru-guru SMA dan SMK di sekolah negeri di Jawa
Tengah tidak diberikan hak untuk libur saat siswa libur sekolah. Hal ini mengusik
pikiran saya, kenapa guru tidak diberikan hak libur saat siswa libur sekolah?
Ada satu hal yang sepertinya memang
diabaikan dalam konteks system pendidikan di Indonesia. Hal tersebut adalah
wellbeing guru dan siswa. Kenapa isu wellbeing tentang guru dan siswa penting
untuk diperhatikan? Jawabannya adalah karena sejatinya penyelenggaraan
pendidikan formal di sekolah adalah bermuara pada kebaikan para siswa. Kebaikan
bagi siswa yang dimaksud ditandai dengan pencapaian-pencapaian berbagai aspek seperti
terbentuknya karakter positif, terasahnya berbagai kecerdasan, serta terasahnya
berbagai keterampilan siswa. Sedangkan guru adalah actor utama dalam perwujudan
pendidikan yang berkualitas bagi pendidik.
Banyak stakeholder pendidikan yang
mungkin kurang menyadari pentingnya wellbeing. Hal tersebut bisa dipahami
karena wellbeing, meski bukan hal baru, adalah konsep yang belum cukup menyita
perhatian dalam diskusi di dunia pendidikan di Indonesia. Bahkan, padanan kata
untuk wellbeing pun sepertinya belum ada di Indonesia. Kita bisa melihat, dalam
berbagai dokumen yang mencatut wellbeing, kata wellbeing diadopsi secara utuh
tanpa menggunakan padanan kata dalam bahasa Indonesia.
Secara harfiah, konsep wellbeing
mencakup kondisi kesehatan psikologis, mental, emosional, dan fisik seorang individual.
Wellbeing adalah hal yang bersifat netral, namun mudah terpengaruhi oleh factor
eksternal. Berbicara tentang definisi dari wellbeing, seorang pakar wellbeing
bernama Martin Seligman membuat sebuah kerangka berpikir yang sering disebut
sebagai PERMA. PERMA merupakan singkatan dari Positive Emotion, Engagement, Positive Relationship, Meaning and accomplishment.
Lantas, apa kaitannya antara wellbeing
guru, kebijakan libur bagi guru, dan siswa? Guru adalah sebuah profesi yang
cukup rentan dengan masalah psikologis, emosional, dan mental. Banyaknya tuntutan
pekerjaan guru seringkali membuat seorang guru rentan mengalami stress, baik stress
level ringan maupun berat. Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa
tuntutan pekerjaan guru membuat banyak guru mengalami masalah-masalah yang
berkaitan dengan wellbeing tersebut. Sementara, wellbeing guru terbukti
berpengaruh terhadap siswa. Wellbeing yang terganggu akan berimplikasi terhadap
peforma guru dalam mengajar. Tentunya, performa mengajar guru sangat
mempengaruhi pengalaman serta hasil belajar siswa. Sehingga, sangat jelas bahwa
wellbeing guru berdampak pada proses dan pencapaian pembelajaran siswa.
Kebijakan libur bagi guru adalah cukup
mendapat perhatian yang serius di berbagai Negara yang system pendidikannya maju
seperti Australia, Finlandia, Jepang, Amerika, Selandia Baru dan lainnya. Negara-negara
maju tesebut memiliki kebijakan libur bagi guru yang cukup menarik untuk
dibahas. Di Australia, para guru memiliki jatah libur dengan jumlah total 12
minggu tiap tahunnya. Libur tersebut di adalah libur sekolah, di luar libur
hari besar nasional. Di Jepang dan Australia, guru memiliki jumlah libur
sekolah dengan total kurang lebih 10 minggu. Kebijakan libur di Finlandia, dan
Selandia Baru pun kurang lebih sama. Intinya, Negara-negara tersebut
mengalokasikan liburan bagi guru dalam jumlah yang relative proporsional.
Mungkin ada pertanyaan, mengapa Negara-negara
tersebut mengalokasikan hari libur yang cukup banyak bagi para guru? jawabannya
adalah bahwa hal tersebut merupakan bagian dari kebijakan untuk menunjang wellbeing
guru. Mereka menyadari bahwa wellbeing yang positif akan berimplikasi positif
pula terhadap performa kinerja. Sebaliknya, wellbeing yang negative akan
berimplikasi negative pula terhadap kinerja. Menurut Pasi Sahlberg (seorang
pemerhati pendidikan yang berasal dari Finlandia) pemberian porsi libur yang
cukup bagi guru dipandang sebagai salah satu solusi bagi profesi guru yang
rentan terhadap stress dan masalah psikologis lainnya yang berimplikasi pada
kinerja guru. Waktu libur bagi guru yang cukup akan menunjang wellbeing guru.
sementara, wellbeing guru yang bagus akan berpengaruh positif terhadap kinerja
mereka dalam mengajar. Akhir dari wellbeing guru yang positif adalah pengalaman
belajar siswa yang maksimal.
Dalam dunia penelitian, ada istilah variable bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variable). Wellbeing guru merupakan bahgian dari variable bebas yang berpengaruh terhadap pengalaman dan hasil belajar para siswa (dependent variable). Yang namanya variable, level pengaruhnya beragam. Ada variabel yang memiliki pengaruh besar dan dominan. Ada pula variable yang sedikit pengaruhnya. Terlepas besar kecilnya Wellbeing sebagai variable yang mempengaruhi pengalaman dan hasil belajar para siswa, wellbeing tetap layak untuk menjadi perhatian dunia pendidikan, karena secara ilmiah wellbeing berdampak pada kualitas pembelajaran para siswa.
Jika negara-negara maju memberikan
kebijakan libur yang relative cukup bagi guru dengan alasan-alasan ilmiah tadi,
lantas, apa yang mendasari kebijakan pelitnya waktu libur bagi guru di Jawa
Tengah? Apakah hal tersebut dimaksudkan agar guru bisa lebih maksimal dalam
mengajar? Apakah hal tersebut dimaksudkan agar memberikan dampak positif bagi
pendidikan para siswa? Ataukah itu hanya kebijakan asal-asalan yang miskin
pertimbangan ilmiah? Memang sih, setiap Negara memiliki pendekatan berbeda
dalam merumuskan suatu kebijakan terkait pendidikan. Namun, semestinya selalu
ada dasar rasional dan ilmiah mengapa suatu kebijakan dibuat. Jangan sampai
kebijakan dibuat sesuka hati para pemangku kebijakan dengan dasar subjektivitas.
Jika memang tidak ada korelasi
positif antara pelitnya kebijakan libur bagi guru dan maksimalnya hasil pendidikan
para siswa, maka kebijakan tersebut harus ditinjau ulang. Guru harus dijamin
welbeingnya, karena wellbeing guru terbukti secara ilmiah berimplikasi terhadap
wellbeing siswa dan proses serta hasil belajar siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar