Di tempat aku bekerja paruh waktu ini aku bertemu dengan seorang pekerja yang sangat ramah. Namanya Calleb. Usianya 27 tahun. Aku menilainya ramah, karena dalam persepsiku sikap seperti itu tidka biasanya nampak pada anak muda Australia. Dia Nampak selalu berhati-hati dalam bersikap dan bertutur kata. Meski demikian, hal itu tidak berarti bahwa dia tidak suka bercanda dengan kawan atau rekan kerjanya. Selain itu, dia juga terlihat seperti pribadi yang kurang percaya diri. Hal tersebut nampak dari gestur dan cara berbicaranya.
Aku sempat
berbincang dengannya tentang berbagai hal. Salah satu yang kutanyakan adalah apakah
dia kuliah. Kemudian dia bercerita bahwa dia putus sekolah saat dia berada di
kelas 8 secondary school, alias kelas 2 SMP kalo dalam system Pendidikan di Indonesia.
Alasan dia Drop Out (DO) cukup mengejutkan. “School is suck! I got bullied many times but everyone at school did
nothing”. Demikian sepenggal kalimat yang dia ucapkan. Dia Nampak merasa
kesal dan kecewa dengan lingkungan skeolahnya. Dia mengalami bully an yang
cukup sering dari teman-teman sekolahnya. Namun dia merasa tidak mendapatkan
pembelaan dari siapa pun di sekolah tersebut. Hgal tersebut membuatnya
memutuskan untuk keluar sekolah.
Beruntung dia
tinggal di Australia dan menjadi warga negara Australia. Di Australia, kesempatan
untuk make a living begitu banyak. Bahkan orang yang tidak berpendidikan saja bisa
mendapatkan penghidupan yang layak, asal mau bekerja. Di Indonesia, jangankan orang yang tidak berpendidikan,
orang berpendidikan pun banyak yang menganggur karena terpental dari persaingan
lapangan pekerjaan. Sementara, di Australia, orang yang DO dari sekolah seperti
Caleb ini masih bisa hidup layak memiliki rumah layak dan kendaraan seharga $AUS
30.000 tanpa warisan dari orang tuanya.
Di sini saya
tidak akan focus pada pembahasan mengenai kesempatan hidup layak di Australia. Hal
yang menarik untuk dibahas adalah betapa isu wellbeing siswa adalah nyata. Isu wellbeing
sangat berpengaruh terhadap siswa dalam konteks komunitas, budaya, maupun
negara mana pun. Berbagai kasus yang berhubungan dengan wellbeing di lingkungan
pendidkan di Indonesia juga sebenarnya banyak. Namun hal tersebut nampak belum
dipandang sebagai sebuah isu yang krusial. Pertikaian, bullying, dan gesekan
antar individu di lingkungan Pendidikan masih sering dipandang sebagai domain
antar individu yang terlibat dalam maslaah tersebut semata. Padahal masalah
seperti itu layak untuk diperhatikan dan dimasukkan ke dalam kerangka kebijakan
di lingkungan pendidikan.
Berbagai negara
maju sudah menjadikan wellbeing sebagai isu strategis dan mendapaktan porsi
perhatian besar. Bahkan berbagai sekolah di Australia memiliki satu tim khusus
yang menangani urusan wellbeing warga sekolah. Hal tersebut muncul karena
kesadaran para pemangku kebijakan Pendidikan di Australia akan besarnya
pengaruh wellbeing terhadap keberhasilan individu pada khususnya dan pencapaian
tujuan Pendidikan pada umumnya.
Sekolah semestinya
tidak hanya berfokus pada pencapaian prestasi akademik, penguatan karakter dan
keterampilan peserta didik semata. Penyelenggaraan Pendidikan semestinya juga memperhatikan
pentingnya kesehatan mental, emosional, fisik dan psikologis semua individu
yang ada di lingkungan Pendidikan. Untuk apa prestasi akademik meningkat jika pencapaian
tersebut diraih dengan mengorbankan kesehatan mental, emosional, atau
pskologis? Untuk apa prestasi-prestasi individu banyak, jika antar individu tidak
terbangun sikap saling menghargai dan menghormati?
Beruntung Caleb adalah
warga Australia dan tinggal di Australia. Bayangkan Calleb Calleb lain yang ada
di negara seperti Indonesia yang kesempatan untuk make a living tidak sebanyak
dan sebagus Australia. Jika mereka tidak memperoleh lingkungan yang bagus,
mereka mungkin hanya akan menjadi gelandangan setelah putus sekolah.
Semoga kebijakan-kebijakan
di Indonesia di sector Pendidikan semakin memperhatikan pentignya wellbeing warga
sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar