Sungguh, aku syok ketika melihat pengumuman bahwa aku
tak lolos seleksi akhir Pengajar Praktik (PP) untuk program Guru Penggerak. Jujur,
aku sangat percaya diri menjalani rangkaian seleksi program pengajar praktik
ini. Tidak ada satu tahapan seleksi pun yang aku ragu menjalaninya, atau yang
aku merasa tidka maksimal melakukannya. Semuanya terasa mudah. Mudah bukan
karena seleksinya mudah, melainkan karena aku cukup menguasai keadaan dan penuh
persiapan dalam menjalaninya.
Aku memang nothing to lose terhadap seleksi program PP
ini. Bahkan aku sempat khawatir kalau-kalau ketika aku lolos nanti aku akan
benar-benar sangat terikat oleh program ini sehingga tidak bisa melakukan
aktivitas lainnya yang penting juga. Namun aku merasa seperti tak percaya bahwa
aku tak lolos. Sungguh tak percaya. Serasa ada factor eksternal yang membuatku
gagal.
Ada dua tahapan seleksi program tersebut. Tahap
pertama adalah seleksi berkas. Aku lolos untuk tahap seleksi ini. Cukup mudah
memang, hanya melampirkan berkas-berkas yang aku sudah punya, serta menjawab
beberapa pertanyaan essai seputar topic yang sudah sangat aku kuasai. Karena
lolos tahap pertama, otomatis aku diarahkan untuk menjalani sleeks tahap kedua.
Tahap kedua ini adalah tahap yang menurutku paling mudah. Tahap ini berisi
seputar praktik mengajar dan wawancara. Sungguh hal yang menurutku sangat
mudah. Meski menganggap seleksi kedua ini mudah, aku tak pernah take it for
granted. Aku tetap mempersiapkan diri secara maksimal untuk bisa menjalaninya
dengan prima.
Semua terasa mudah. Lantas, yang membuatku syok itu
apa? Yang membuatku syok adalah aku ternyata tidak lolos di seleksi tahap kedua
ini. Sungguh tidak bisa aku percaya, tapi ini terjadi. Aku mengajar selama
lebih dari sepuluh tahun. Pengalamanku tentang pembelajaran sudah sangat
banyak. Berbagai praktik baik telah aku lakukan. Aku melakukan upaya
peningkatan kompetensi dan
profesionalitas secara berkesinambungan. Berbagai workshop, seminar, belajar
otodidak, dan membaca buku dan berbagai artikel terkait berbagai topic tentang
pendidikan dan pembelajaran telah aku lakukan. Berbagai program internasional
seperti shortcourse sebulan di Queensland, program teacher training selama satu
setengah tahun di jepang, student exchange ke Malaysia telah aku jalani. Workshop
pendalaman kompetensi penulisan dan penelitian yang disponsori oleh US embassy
dan SEAMEO Qitep In Language dan lembaga-lembaga bonafide lainnya telah aku
ikuti. Pendidikan master in education dengan berbagai mata kuliah terkait
pendidikan telah aku jalani, dan aku lulus dengan IPK cumlaude. Pendidikan
terakhirku aku jalani di universitas dengan ranking 100 besar dunia, The
University of Adelaide.
Kurang apa kompetensiku? Pengalaman berorganisasi pun
telah aku miliki. Menjadi ketua forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa
Inggris kabupaten telah aku jalani. Menjadi penulis buku teks bahasa inggris
untuk jenjang Sekolah Menengah Atas juga telah aku alami. Kurang apa lagi?
Dengan semua pengalaman dan pendidikan yang telah aku
miliki, ternyata aku belum dianggap meyakinkan untuk menjadi pengajar praktik
program guru penggerak.
Mungkin aku terlalu optimis terhadap proses seleksi
yang aku jalani. Namun optimisme tersebut bukan tanpa alasan. Aku persiapkan
secara detail hal-hal yang diperlukan untuk sukses menjalani seleksi tersebut. Di
tahapan praktik mengajar (microteaching) aku menyiapkan lesson plan dengan
pembelajaran model flipped classroom, aku sampaikan justifikasi ilmiah atas
penggunaan model tersebut. Aku tidak kekura sumber data ilmiah untuk mendukung
desain pembelajaran tersebut, apalagi ingatanku masih kuat tentang hal-hal yang
aku pelajari selama kuliah S2 di Australia kemarin. Akses terhadap berbagai
artikel ilmiah juga masih kudapatkan. Aku meyakini bahwa persiapanku ini
flawless.
Tiba gilirannya aku melakukan microteaching. Waktu
yang disediakan adalah 10 menit. Aku yakin bahwa aku melaksanakan tahapan demi
tahapan dalam pembelajaran tersebut. Prinsip-prinsip dalam merdeka belajar juga
aku terapkan. Meyakini bahwa apa yang telah aku tampilkan adalah maksimal
memang subjektif sih. Namun aku punya alasan untuk mengklaim bahwa aku telah
menjalankan praktik mengajarklu secara maksimal.
Seleksi terakhir lebih mudah lagi, yaitu seleksi
wawancara. Wawancara adalah bagian dari tahapan seleksi yang menjadi faforitku
dalam setiap proses seleksi untuk program apa pun. Bukan tanpa sebab, karena
aku sudah nglothok dengan how to deal
with interview. Penguasaanku tentang how to exell interview sudah berbuah
hasil. Terbukti aku lolos di berbagai program pengembangan diri dalam skala
internasional, seperti lolos dalam seleksi program shortcourse di The
University of Southern Queensland, seleksi program teacher training
monbukagakusho, dan seleksi beasiswa S2 LPDP.
Kurang apa aku ini? Mohon maaf, kesannya sombong.
Namun aku hanya ingin menunjukkan bahwa I have all it takes to make it. Yang
bikin pahit lagi adalah ketika aku mendengar cerita dari seorang teman bahwa
ada temannya yang lolos padahal temannya itu menunjukkan sikap tidak
professional ketika menjalani proses seleksi. Bentuk ketidakprofesionalannya
adalah dia terlambat untuk mengikuti seleksi. Bahkan, assessor harus
menelponnya berkali-kali untuk mengundangnya mengikuti seleksi. Pun saat itu
dia mengenakan baju yang kurang sesuai, mengenakan pakaian yang tidak formal
untuk sebuah acara yang sangat formal tersebut. Profil resume dia juga biasa
saja. Lolos dia!
Aku sedang tidak menyalahkan asesor yang tidak
meloloskanku. Aku sedang tidak mencari celah-celah kesalahan mereka yang
terlibat dalam proses seleksi. Aku hanya heran dengan kenyataan ini, bahwa aku
tidak lolos. Aku berharap ada feedback dari penyeleksi, aspek-aspek apa yang
membuatku tidak lolos. Namun aku tidak mendapatkannya. Di pengumuman, yang ada
hanyalah kalimat yang menyatakan bahwa aku tidak lolos. Hal yang sempat membuatku
syok, dan hingga kini aku masih tidak percaya dengan itu.
Ndak papa.
At least I can take a lesson from this.
I might simply be ineligible to their standards.
I have been eligible to the standards of LPDP, MEXT
Japan, US Embassy’s RELO, SEAMEO Qitep in Language, and Short course in USQ. As
Ssimple as that.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar