Hari ini, di kampungku listrik padam. Sialnya, signal
internet juga raib sama sekali. Tak pelak, aktivitas online ku lumpuh. Aku tak
bisa berkomunikasi melalui media digital. Sungguh tidak mudah untuk menenangkan
pikiran yang sudah terlanjur tergantung pada media digital sebegitu candunya. Pikiran
kalut. Emosi meledak, meski aku cukup bisa mengendalikannya. Persis, hari
terakhir di tahun 2022 ini aku merasakan gejala ketidaksehatan mental yang
akut, hanya karena ketiadaan internet dan listrik.
Mungkin besok semua akan kembali normal. Bisa pagi,
siang atau pun malam. Mungkin. Tidak ada yang menjamin. Namun sehari ini saja
emosi dan pikiranku sudah kacau, gegara koneksi internet hilang. Hidup di kampung
ini, aku harus memiliki kesabaran lebih terhadap keterbatasan kondisi. Persetan
dengan ocehan orang yang berkata bahwa aku harus stay di kampong untuk
mengabdikan diri kepada masyarakat di kampong. Mungkin aku bisa mengabdi. Namun
aku tidak sehat secara mental, emosional dan psikologis. Lantas apa makna dari
pengabdian tersebut jika aku tidak enjoy my life?
Di kampong, hidup terasa tenang. Begitu kata orang
kota yang terbiasa hidup di lingkungan penuh hingar bingar keramaian. Memang
benar, di kampong hidup terasa tenang. Namun jika tinggal di kampong dalam
waktu yang lama, tidak nyaman juga rasanya. Ketenangan dan kesunyian butuh
takaran. Ia adalah penyeimbang dari hidup keseharian yang penuh dengan
kesibukan dan keramaian. Namun
ketenangan dan kesunyian yang melebihi takaran hanya akan berubah
menjadi rasa bosan, dan ujungnya wellbeing juga yang kena.
Di satu hari tanpa internet dan listrik ini aku merenungkan banyak hal. Manusia (aku)
sudah sebegitu tergantungnya dengan akses internet. Begitu frustasi rasanya
ketika koneksi internet hilang. Aku jadi membayangkan bilamana suatu hari nanti
internet benar-benar sudah hilang atau dihilangkan. Tidak ada yang tidak
mungkin. Apalagi internet adalah ciptaan manusia. Dan manusia adalah makhluk yang
sarat dengan kepentingan. Aku merasa harus belajar menyesuaikan diri dengan
keadaan tanpa internet. Bagaimana tetap merasakan kebermaknaan waktu tanpa
internet.
Dulu, menghabiskan hari tanpa internet adalah hal
biasa. Malah orang masih menyangsikan manfaat dari keberadaan internet. Itu dulu,
zaman ketika orang masih bisa bahagia dengan berbagai aktivitas tanpa internet.
Sekarang, orang jualan bakso di kampong saja mengandalkan internet untuk
mempromosikan dagangannya. Orang ingin bertukar cangkul saja berkomunikasi
melalui sarana internet. Orang mau bersilaturahim saja memberitahu orang yang
akan didatangi melalui sarana internet. Kini, internet benar-benar seperti
darah. Ia menyatu dengan tubuh, dan terasa sangat fatal ketika ada masalah
dengannya.
Bukan hanya rasa bosan yang membuatku benci dengan
tiadanya internet hari ini. Aku ada urusan yang sangat penting yang
mengharuskanku untuk memiliki akses internet. Bisa saja aku pergi ke kecamatan
sebelah dengan menempuh perjalanan selama satu jam. Namun, cuaca juga sedang
kurang bagus. Hujan deras disertai angin kencang dan hawa dingin yang merasuk
ke tulang sangatlah tidak mendukung untuk aku mengambil opsi tersebut.
Hari ini, aku dipaksa belajar tentang tawakkal.
Tentang menerima apa pun yang terjadi. Jika kondisi ini berakibat tidak
menguntungkan bagiku, maka aku terima. Apa pun aku terima dan aku yakini itu
sebagai kehendak Alloh SWT.
Hingga detik
aku merangkai tulisan ini, aku masih berjibaku dengan rasa suntuk atas matinya
listrik serta tiadanya internet. Ku tengok indicator batre laptop yang
menunjukan ketersediaan batre masih sekitar 40%. Biasanya masih bisa dipakai
selama kurang lebih 20 menit. Bisa lebih sedikit, bisa kurang.
Aku, padamnya listrik, hilangnya signal internet,
hujan beserta angin dan hawa dingin, dan kegalauan.
Alhamdulillah..bersyukur masih tersisa batre di
laptopku yang memungkinkanku untuk mencurahkan unek-unek ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar