Sabtu, 31 Desember 2022

Aku, listrik padam, dan signal internet yang hilang

 

Hari ini, di kampungku listrik padam. Sialnya, signal internet juga raib sama sekali. Tak pelak, aktivitas online ku lumpuh. Aku tak bisa berkomunikasi melalui media digital. Sungguh tidak mudah untuk menenangkan pikiran yang sudah terlanjur tergantung pada media digital sebegitu candunya. Pikiran kalut. Emosi meledak, meski aku cukup bisa mengendalikannya. Persis, hari terakhir di tahun 2022 ini aku merasakan gejala ketidaksehatan mental yang akut, hanya karena ketiadaan internet dan listrik.

Mungkin besok semua akan kembali normal. Bisa pagi, siang atau pun malam. Mungkin. Tidak ada yang menjamin. Namun sehari ini saja emosi dan pikiranku sudah kacau, gegara koneksi internet hilang. Hidup di kampung ini, aku harus memiliki kesabaran lebih terhadap keterbatasan kondisi. Persetan dengan ocehan orang yang berkata bahwa aku harus stay di kampong untuk mengabdikan diri kepada masyarakat di kampong. Mungkin aku bisa mengabdi. Namun aku tidak sehat secara mental, emosional dan psikologis. Lantas apa makna dari pengabdian tersebut jika aku tidak enjoy my life?

Di kampong, hidup terasa tenang. Begitu kata orang kota yang terbiasa hidup di lingkungan penuh hingar bingar keramaian. Memang benar, di kampong hidup terasa tenang. Namun jika tinggal di kampong dalam waktu yang lama, tidak nyaman juga rasanya. Ketenangan dan kesunyian butuh takaran. Ia adalah penyeimbang dari hidup keseharian yang penuh dengan kesibukan dan keramaian. Namun  ketenangan dan kesunyian yang melebihi takaran hanya akan berubah menjadi rasa bosan, dan ujungnya wellbeing juga yang kena.

Di satu hari tanpa internet dan listrik ini  aku merenungkan banyak hal. Manusia (aku) sudah sebegitu tergantungnya dengan akses internet. Begitu frustasi rasanya ketika koneksi internet hilang. Aku jadi membayangkan bilamana suatu hari nanti internet benar-benar sudah hilang atau dihilangkan. Tidak ada yang tidak mungkin. Apalagi internet adalah ciptaan manusia. Dan manusia adalah makhluk yang sarat dengan kepentingan. Aku merasa harus belajar menyesuaikan diri dengan keadaan tanpa internet. Bagaimana tetap merasakan kebermaknaan waktu tanpa internet.

Dulu, menghabiskan hari tanpa internet adalah hal biasa. Malah orang masih menyangsikan manfaat dari keberadaan internet. Itu dulu, zaman ketika orang masih bisa bahagia dengan berbagai aktivitas tanpa internet. Sekarang, orang jualan bakso di kampong saja mengandalkan internet untuk mempromosikan dagangannya. Orang ingin bertukar cangkul saja berkomunikasi melalui sarana internet. Orang mau bersilaturahim saja memberitahu orang yang akan didatangi melalui sarana internet. Kini, internet benar-benar seperti darah. Ia menyatu dengan tubuh, dan terasa sangat fatal ketika ada masalah dengannya.

Bukan hanya rasa bosan yang membuatku benci dengan tiadanya internet hari ini. Aku ada urusan yang sangat penting yang mengharuskanku untuk memiliki akses internet. Bisa saja aku pergi ke kecamatan sebelah dengan menempuh perjalanan selama satu jam. Namun, cuaca juga sedang kurang bagus. Hujan deras disertai angin kencang dan hawa dingin yang merasuk ke tulang sangatlah tidak mendukung untuk aku mengambil opsi tersebut.

Hari ini, aku dipaksa belajar tentang tawakkal. Tentang menerima apa pun yang terjadi. Jika kondisi ini berakibat tidak menguntungkan bagiku, maka aku terima. Apa pun aku terima dan aku yakini itu sebagai kehendak Alloh SWT.

 Hingga detik aku merangkai tulisan ini, aku masih berjibaku dengan rasa suntuk atas matinya listrik serta tiadanya internet. Ku tengok indicator batre laptop yang menunjukan ketersediaan batre masih sekitar 40%. Biasanya masih bisa dipakai selama kurang lebih 20 menit. Bisa lebih sedikit, bisa kurang.

Aku, padamnya listrik, hilangnya signal internet, hujan beserta angin dan hawa dingin, dan kegalauan.

Alhamdulillah..bersyukur masih tersisa batre di laptopku yang memungkinkanku untuk mencurahkan unek-unek ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar