“Aku
mulai merasa tidak puas dengan kedaan sekitar”.
“Aku
mengeluh dengan perlakuan lingkungan terhadapku”.
“Aku
merasa bisa berbuat banyak, namun rasanya aku tidak diberdayakan”.
“Aku
merasa mereka tidak memanusiakanku”.
“Aku
merasa tidak diberi ruang untuk berkontribusi”.
“
Aku merasa masih dianggap sepele dan diremehkan”.
Terbersit
begitu banyak keluh kesah dalam ruang pikiran dan perasaanku. Aku merasa tidak
diberdayakan, padahal aku memiliki kapasitas untuk berkontribusi lebih. aku
berpikir bahwa mereka terlalu tak tau diri untuk mendominasi, sementara mereka
tidak mengimbangi diri dengan kapasitas dan kompetensi untuk berkontribusi. Melihat
mereka, yang ada aku mengernyitkan dahi. Terkesan sombong, namun ini adalah puncak
dari rasa muak ku kepada mereka yang tak memiliki idealisme namun memaksakan
diri untuk selalu terus berada di depan. Tak rela mereka mengalah, untuk
memberi ruang bagi yang lebih layak untuk membuat perubahan.
Segala
sumpah serapah keluar dari pikiranku. Tak puas dengan keadaan. Mereka salah,
dan aku benar. Begitu egoku. Kemudian aku duduk dan merenung. Kusimpulkan satu
hal. Untuk apa aku menunggu situasi di luar untuk berpihak kepadaku. Mereka tidak
berhutang apa-apa padaku. Aku sendiri lah yang bertanggung jawab atas apa yang
terjadi padaku. Seharusnya aku sadar dari dulu, bahwa berharap kepada manusia
hanya akan berbuah rasa kecewa. Mengandalkan diri untuk membuat aksi adalah hal
yang semestinya aku lakukan. Daripada mengeluhkan hujan di jalan, mending aku
berteduh. Daripada mengeluhkan masakan warung yang tidak enak, mending aku
masak sendiri. Ya, aku bertanggungjawab atas diriku sendiri.
Aku
adalah dua sisi yang bersemayam dalam satu tubuh. Satu sisiku (Yi) adalah si
pengeluh. Sisi satunya (Ya) adalah si bijaksana. Dan aku bersukur atas adanya
dua sisiku ini.
Coba
kau tanyakan pada dirimu sendiri. Apakah selama ini kau berharap akan pujian
manusia atas kontribusi yang engkau berikan?
Yi:
“Apakah aku salah, jika aku berharap untuk diberi kesempatan untuk
berkontribusi lebih?. aku manusia normal, yang memiliki kebutuhan aktualisasi
diri. Memiliki kebutuhan untuk dihargai. Memiliki keinginan untuk diberi
kepercayaan karena aku punya kemampuan untuk membuktikan”.
Ya:
“Tidak salah, memang. Namun kamu harus tahu, bahwa berharap pada manusia untuk
berbuat adil padamu hanya akan meninggalkan kekecewaan. Fokuslah pada upaya perwujudan
rencana-rencanamu. Fokuslah untuk mencapai titik keberhasilanmu. Bukan untuk pembuktian
terhadap orang lain, karena itu tidak perlu. Melainkan untuk pembuktian
terhadap dirimu sendiri. Agar kau semakin meyakini, bahwa kau bisa berdikari. Bahwa
kamu bisa mencapai titik puncak tertinggi tanpa uluran tangan mereka”.
Seketika
aku tersadar, “Iya juga ya. Jika memang aku berkapasitas dan berkompetensi, semestinya
aku mengandalkan diri sendiri. Focus pada rencana yang aku miliki, dan
mewujudkannya sendiri”.
Ya
telah menyadarkan Yi, sehingga aku tenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar