Selasa, 08 November 2022

Tidak cukup hanya dengan kompetensi. Butuh posisi

 

Saat kuliah Magister kemarin, aku banyak mempelajari hal-hal penting tentang berbagai prinsip dalam pendidikan. Ada tentang pedagogi. Ada tentang pentingnya wellbeing. Ada tentang bagaimana mengatur manajemen lembaga pendidikan, tentunya ketika posisi kita adalah seseorang yang memiliki otoritas kepemimpinan. Ada tentang neurosains, mempelajari tentang berbagai karakteristik otak manusia. Aku juga belajar banyak tentang kurikulum.

Perkuliahan yang aku jalani memang memantapkanku menjadi seorang pendidik yang penuh dengan kompetensi. Namun, ketika lulus kuliah dan kembali ke tempat ku mengajar, aku sadari ada satu hal yang tidak dapat dipenuhi oleh perkuliahanku kemarin. Yaitu tentang bagaimana caranya mewujudkan semua ide idealis menjadi nyata. Semua hal yang dipelajari tersebut memang penting. Wellbeing, pedagogi, kepemimpinan pendidikan, neurosains, kurikulum dsb memang penting. Namun untuk memanifestasikan semua konsep tersebut ke dalam praktik penyelenggaraan pendidikan yang nyata, dibutuhkan akses terhadap pengambilan kebijakan.

Percayalah, sepintar apa pun kita, jika kita tidak memiliki otoritas untuk menentukan kebijakan, maka sulit untuk mewujudkan ide tentang penyelenggaraan pendidikan yang ideal. Sebagai bagian dari organisasi lembaga pendidikan, kita mungkin memang memiliki kesempatan untuk bersuara. Namun, jangan berharap banyak bahwa suara aspirasi kita akan selalu mewujud menjadi program nyata. Kadang, atau mungkin seringkali, ide-ide kita akan terbentur oleh ego pemimpin organisasi (kepala sekolah, kepala dinas, atau pembuat kebijakan lainnya). Kadang, ide-ide kita sulit terwujud karena miskin dukungan dari rekan sejawat.

Jangan berpikir bahwa dukungan dari rekan sejawat itu tidak penting. Sangat penting, bahkan. Dukungan rekan sejawat, walau hanya dukungan moril, sangat lah penting. Efek minimal yang kita rasakan atas dukungan rekan sejawat adalah kenyamanan psikologis. Mereka mungkin tidak akan berbuat banyak. Namun, setidaknya diamnya mereka, atau sikap tolerannya mereka tidak akan menghambat laju upaya perwujudan ide-ide kita.

Lulus dari sebuah kampus ternama dari laur negeri, terlebih kampus yang bereputasi besar, sedikit banyak membuat egoku melambung tinggi. Kadang terbersit pikiran bahwa kata-kata ku harus didengar. Terkadang terbersit pikiran bahwa ide-ide besarku harus diakomodir. Terkadang egoku mendesak bahwa aku harus diberi kesempatan untuk menempati posisi-posisi strategis. Kadang egoku mengeluhkan situasi dimana orang-orang yang tak memiliki idealisme, miskin ide, dan tak memiliki dedikasi tinggi tidak mau mengalah dan terkesan tidak tau diri. Namun aku harus sadar, bahwa aku hidup di negara dengan kultur dimana orang-orang yang tak berkompetensi pada memiliki ambisi tinggi yang semata hanya demi memenuhi kebutuhan eksistensi diri.

Aku ingin memimpin, namun terbentur oleh hirarki birokrasi. Aku sempat berpikir bahwa tempatku bukan di sini. Jika ingin berbakti dan mengabdi kepada negeri dengan maksimal, aku harus mandiri. Menunggu mereka tau diri akan lama, dan waktunya tidak pasti. Menunggu aku mendapat giliran mungkin akan lama, dan memang sudah terbukti aku sudah lama di sini namun masih di posisi seperti ini.

Aku memang harus mandiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar