Saat kuliah
Magister kemarin, aku banyak mempelajari hal-hal penting tentang berbagai
prinsip dalam pendidikan. Ada tentang pedagogi. Ada tentang pentingnya
wellbeing. Ada tentang bagaimana mengatur manajemen lembaga pendidikan,
tentunya ketika posisi kita adalah seseorang yang memiliki otoritas
kepemimpinan. Ada tentang neurosains, mempelajari tentang berbagai karakteristik
otak manusia. Aku juga belajar banyak tentang kurikulum.
Perkuliahan yang
aku jalani memang memantapkanku menjadi seorang pendidik yang penuh dengan
kompetensi. Namun, ketika lulus kuliah dan kembali ke tempat ku mengajar, aku
sadari ada satu hal yang tidak dapat dipenuhi oleh perkuliahanku kemarin. Yaitu
tentang bagaimana caranya mewujudkan semua ide idealis menjadi nyata. Semua hal
yang dipelajari tersebut memang penting. Wellbeing, pedagogi, kepemimpinan
pendidikan, neurosains, kurikulum dsb memang penting. Namun untuk memanifestasikan
semua konsep tersebut ke dalam praktik penyelenggaraan pendidikan yang nyata, dibutuhkan
akses terhadap pengambilan kebijakan.
Percayalah,
sepintar apa pun kita, jika kita tidak memiliki otoritas untuk menentukan kebijakan,
maka sulit untuk mewujudkan ide tentang penyelenggaraan pendidikan yang ideal. Sebagai
bagian dari organisasi lembaga pendidikan, kita mungkin memang memiliki
kesempatan untuk bersuara. Namun, jangan berharap banyak bahwa suara aspirasi kita
akan selalu mewujud menjadi program nyata. Kadang, atau mungkin seringkali, ide-ide
kita akan terbentur oleh ego pemimpin organisasi (kepala sekolah, kepala dinas,
atau pembuat kebijakan lainnya). Kadang, ide-ide kita sulit terwujud karena
miskin dukungan dari rekan sejawat.
Jangan berpikir
bahwa dukungan dari rekan sejawat itu tidak penting. Sangat penting, bahkan. Dukungan
rekan sejawat, walau hanya dukungan moril, sangat lah penting. Efek minimal yang
kita rasakan atas dukungan rekan sejawat adalah kenyamanan psikologis. Mereka mungkin
tidak akan berbuat banyak. Namun, setidaknya diamnya mereka, atau sikap
tolerannya mereka tidak akan menghambat laju upaya perwujudan ide-ide kita.
Lulus dari
sebuah kampus ternama dari laur negeri, terlebih kampus yang bereputasi besar,
sedikit banyak membuat egoku melambung tinggi. Kadang terbersit pikiran bahwa
kata-kata ku harus didengar. Terkadang terbersit pikiran bahwa ide-ide besarku
harus diakomodir. Terkadang egoku mendesak bahwa aku harus diberi kesempatan
untuk menempati posisi-posisi strategis. Kadang egoku mengeluhkan situasi
dimana orang-orang yang tak memiliki idealisme, miskin ide, dan tak memiliki
dedikasi tinggi tidak mau mengalah dan terkesan tidak tau diri. Namun aku harus
sadar, bahwa aku hidup di negara dengan kultur dimana orang-orang yang tak
berkompetensi pada memiliki ambisi tinggi yang semata hanya demi memenuhi
kebutuhan eksistensi diri.
Aku ingin
memimpin, namun terbentur oleh hirarki birokrasi. Aku sempat berpikir bahwa
tempatku bukan di sini. Jika ingin berbakti dan mengabdi kepada negeri dengan
maksimal, aku harus mandiri. Menunggu mereka tau diri akan lama, dan waktunya
tidak pasti. Menunggu aku mendapat giliran mungkin akan lama, dan memang sudah
terbukti aku sudah lama di sini namun masih di posisi seperti ini.
Aku memang harus
mandiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar