Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI) adalah sebuah organisasi profesi keguruan yang
memiliki posisi yang sangat strategis. Keberadaan organisasi ini tidak hanya
berpengaruh secara positif terhadap guru, namun juga terhadap kualitas
pendidikan di Indonesia. Peran yang ditunjukkan oleh PGRI sudah begitu nyata
dampaknya bagi para guru pada khususnya dan pendidikan di Indonesia pada
umumnya.
Kiprah PGRI
selama ini nampak dalam bentuk advokasi-advokasi yang berkaitan dengan hajat
hidup para guru. Terealisasinya anggaran pendidikan 20% dari Anggaran
Pengeluaran dan Belanja Negara (APBN), terwujudnya sertifikasi guru, dan
pengangkatan tenaga honorer menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) di beberapa
periode waktu sedikit banyak merupakan hasil dari advokasi yang dilakukan oleh
PGRI. Upaya positif tersebut sudah semestinya dilakukan oleh PGRI, mengingat
isu-isu penting yang terkait dengan pendidikan memang menjadi pusat perhatian
PGRI.
Di antara
sekian banyak isu dalam dunia pendidikan, ada satu isu yang sangat penting
namun sepertinya masih luput dari perhatian PGRI. Isu tersebut adalah wellbeing
guru. Di negara-negara dengan sistem pendidikan yang sudah maju, wellbeing guru
mendapat perhatian serius. Perhatian tersebut termanifestatikan dalam bentuk
kebijakan-kebijakan yang berpihak pada wellbeing guru. Misalnya, kebijakan cuti
tahunan, penyediaan sarana prasana yang menunjang efektivitas mengajar,
proporsi beban kerja guru, program pengembangan kompetensi guru dan lainnya.
Di
indonesia, isu tentang wellbeing belum menjadi perhatian utama para stakeholder
pendidikan. Setidaknya, hal tersebut tercermin dalam kebijakan di sektor
pendidikan yang belum mengarusutamakan wellbeing guru. Ada berbagai kemungkinan
yang membuat wellebing guru belum menjadi perhatian yang serus di dunia
pendidikan di Indonesia. Kemungkinan pertama adalah bahwa konsep wellbeing
dianggap masih belum jelas. Bahkan, secara harfiah, belum ada padanan kata
wellbeing dalam bahasa Indonesia. Dalam berbagai literatur, kata wellebing
masih diadopsi secara utuh dan ditulis dengan cetak miring sebagai istilah
serapan dari bahasa asing. Yang kedua, perhatian dunia penelitian dalam bidang
pendidikan di Indonesia terhadap topik tentang wellbeing guru belum begitu
masif. Kurangnya penelitian dan publikasi ilmiah yang berkaitan dengan
wellbeing guru membuat stakeholder di sektor pendidikan kurang memiliki
kesadaran akan pentingnya wellbeing. Sementara, hasil penelitian biasanya
menjadi salah satu dasar atau referensi dalam perumusan kebijakan dalam
berbagai sektor, termasuk sektor pendidikan.
Berkaitan
dengan definisi, Turner dan Theilking (2019) mengartikan wellbeing guru sebagai
kesehatan mental, emosional, psikologis, dan fisik seorang individu dalam
menjalankan profesinya sebagai guru. Sementara, Seligman (2018) menyatakan
bahwa wellbeing guru bisa dikatakan 2 bagus ketika mereka mendapatkan berbagai
aspek yang mencakup emosi positif, flow dalam bekerja, kualitas hubungan antar
individu dalam komunitas, kebermaknaan dari apa yang dikerjakan, serta
tercapainya keberhasilan (achievement).
Lantas, apa
pentingnya mengarusutamakan wellbeing guru? Mengapa wellbeing guru harus
dieprjuangkan? Ada berbagai hasil penelitian yang meyakinkan pentingnya
wellbeing guru. Yang pertama, wellbeing guru terbukti berkorelasi positif
terhadap performa guru dalam mengajar. Wellbeing guru berpengaruh terhadap
efektivitas pembelajaran (Hwang et al, 2017; McCallum & Price, 2015;
Mehdinezhad, 2012). Sementara, guru yang mengalami gejala psikologis seperti
stress, depresi, burnout, cenderung kurang efektif dalam mengajar (Pillay et
al, 2005). Yang kedua, wellbeing guru bisa menjadi mediating factor (faktor
mediasi) yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap performa dan hasil
belajar peserta didik (Adler, 2016; Roffey, 2012). Secara logis, efektivitas
pembelajaran yang diciptakan oleh guru dengan wellbeing yang bagus akan
berpengaruh terhadap output belajar peserta didik. Yang ketiga, guru adalah
manusia yang secara kodrat membutuhkan keseimbangan, atau yang sering dikenal
dengan istilah work-life balance. Ketika keseimbangan hidup dan bekerja tidak
terpenuhi, tentu ada efek negatif yang berpotensi muncul. Konsekuensinya, efek
negatif tersebut berpengaruh tidak hanya terhadap kehidupan individual guru,
namun juga pekerjaan mereka.
Hal
berikutnya yang harus didiskusikan adalah bagaimana langkah kongkrit PGRI dalam
memperjuangkan terakomodirnya wellbeing guru. Hal pertama yang perlu dilakukan
oleh PGRI adalah mengidentifikasi berbagai isu faktual yang berkaitan dengan
wellbeing guru, baik di level daerah maupun nasional. Contoh isu faktual
terkait wellbeing guru adalah tentang kebijakan terkait hari libur untuk guru.
Sejak adanya desentralisasi kebijakan pendidikan, berbagai daerah di Indonesia
merumuskan kebijakan yang berbeda dari daerah lain terkait cuti tahunan guru.
Di beberapa wilayah seperti Jawa Tengah dan Yogyakarta, guru jenjang sekolah
Menengah Atas (SMA) dan Sekolah menengah Kejuruan (SMK) mendapatkan hak cuti
sejumlah 12 hari per tahun. Hal tersebut sama artinya dengan guru diperlakukan
sebagaimana ASN pada umumnya, atau pegawai kantoran swasta pada umumnya. Banyak
guru yang mengeluhkan kebijakan tersebut, terlebih tidak ada fleksibilitas
terkait waktu kapan hak cuti tersebut bisa diklaim. Contoh isu faktual lain
adalah tentang kesejahteraan finansial guru. Kesejahteraan finansial adalah isu
faktual yang sangat berpengaruh terhadap wellbeing guru dan berimbas pada
performa mengajar mereka. Selain isu-isu tersebut, masih banyak isu faktual
lain terkait wellbeing guru yang bisa diidentifikasi oleh PGRI.
Setelah
mengidentifikasi masalah, hal yang perlu dilakukan oleh PGRI adalah melakukan
advokasi terhadap otoritas terkait, baik di level daerah maupun pusat, sesuai
dengan konteks geografis dimana permasalahan tersebut berada. Sebagai sebuah
organisasi profesi yang legal dan strategis, PGRI tentunya diberi ruang oleh
pemerintah untuk menyampaikan aspirasinya. Ruang penyampaian aspirasi ini lah
yang bisa menjadi celah bagi PGRI untuk menyuarakan kebijakan 3 pengarusutamaan
wellbeing bagi guru. hal ini merupakan salah satu bentuk tindakan konkrit PGRI
dalam memperjuangkan nasib guru.
Sumber Pustaka
Adler, A.
(2016). Teaching well-being increases academic performance: Evidence from
Bhutan, Mexico, and Peru. University of Pennsylvania.
Hwang, Y.
S., Bartlett, B., Greben, M., & Hand, K. (2017). A systematic review of
mindfulness interventions for in-service teachers: A tool to enhance teacher
wellbeing and performance. Teaching and Teacher Education, 64, 26-42.
McCallum,
F., & Price, D. (2015). Teacher wellbeing. In Nurturing wellbeing
development in education (pp. 122-142). Routledge.
Mehdinezhad,
V. (2012). Relationship between High School teachers’ wellbeing and teachers’
efficacy. Acta Scientiarum. Education, 34(2), 233-241. Roffey, S. (2012). Pupil
wellbeing—Teacher wellbeing: Two sides of the same coin?. Educational and child
psychology, 29(4), 8.
Seligman,
M. (2018). PERMA and the building blocks of well-being. The journal of positive
psychology, 13(4), 333-335.
Turner, K.,
& Theilking, M. (2019). Teacher wellbeing: Its effects on teaching practice
and student learning. Issues in Educational Research, 29(3), 938-960.
Pillay, H.,
Goddard, R., & Wilss, L. (2005). Well-being, burnout and competence:
implications for teachers. Australian journal of teacher education, 30(2),
21-31. 4
Penulis
Nama : Dahlan, S.Pd Instansi: SMA N 1 Paninggaran, Kab. Pekalongan, Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar