Dulu aku berpikir bahwa aku tidak perlu terobsesi
untuk menjadi seorang pejabat, cukup jadi guru biasa saja sudah cukup. Menjadi
seorang guru memang hal yang self-rewarding. Melihat para siswa berubah
karakternya menjadi positif, wawasannya menjadi luas, pikirannya menjadi
semakin maju dan cerdas, serta berubah cara pandangnya tentang berbagai hal
dalam hidup, merupakan hal yang rewarding, bagiku. Jangankan melihat para siswa
mencapai semua hal itu, sekedar melihat mereka menikmati proses pembelajaran
yang aku desain saja rasanya sangat menyenangkan dan memuaskan.
Pikiranku berubah saat aku menyadari bahwa berbagai
ide yang aku punya tentang pengembangan penyelenggaraan pendidikan di sekolah
tidak terwujudkan hanya karena pemilik otoritas tertinggi di sekolah tidak
sejalan dengan pemikiranku. Ide-ideku besar dan berdampak bagi para siswa,
namun tidak didukung oleh keberpihakan kebijakan yang berkesinambungan.
Contohnya, aku sempat merintis program reading community. Sudah jalan sekian
bulan, namun aku tidak mendapatkan dukungan dari orang-orang yang seharusnya
mendukung ide tersebut. Aku pernah merintis program mengundang tamu dari Negara
luar ke sekolah untuk mengenalkan budaya, bahasa, dan memberi nuansa pembelajaran
baru bagi para siswa. Banyak yang secara moril mendukung program tersebut.
Namun, tidak adanya dukungan pendanaan membuat program tersebut tidak berjalan
secara rutin dan berkesinambungan.
Sementara, aku menyaksikan sendiri betapa mereka yang
memiliki otoritas untuk membuat kebijakan begitu mudah mewujudkan ide. Contoh
sederhana dan nyata, di suatu sekolah, ada beberapa ruang kelas yang tidak
memiliki jam dinding. Hal tersebut dikeluhkan oleh banyak guru, namun wakil
kepala sekolah yang mengurus sarana prasarana tidak bergeming. Begitu kepala
sekolah berbicara kepada waka sarpras tersebut untuk segera melakukan pengadaan
jam dinding, langsung direspon, dan tak lama kemudian terbeli lah jam dinding
untuk dipasang di setiap ruang kelas. Berbagai kebijakan di sector pendidikan,
baik yang berdampak positif maupun negative juga berasal dari ide seseorang
yang memiliki otoritas.
Kepala dinas pendidikan provinsi merubah cara pegawai
membuktikan kehadirannya, dari yang semula hanya dengan tandatangan di lembar
kehadiran menjadi menggunakan mesin finger print. Setelah itu, berubah lagi
menggunakan aplikasi. Jam belajar siswa di sekolah yang semula hanya 6.5 jam
perhari menjadi 8.5 jam perhari juga berakar dari ide seseorang yang punya
otoritas. Saegala peraturan yang diberlakukan untuk mendukung pelaksanaan
ide-ide tersebut juga berasal dari pemikiran seseorang yang memiliki otoritas.
Kesimpulannya apa? Memiliki otoritas adalah jalan realistis untuk seseorang
mewujudkan ide-ide briliannya untuk memberi dampak tertentu pada
komunitas/organisasi dimana dia berada.
Semua contoh tersebut menyadarkanku betapa menjadi
pejabat yang memiliki otoritas itu perlu. Wewenang pembuatan kebijakan yang
dipegang oleh orang yang tidak baik, akan berdampak negative terhadap banyak
orang. Sementara wewenang pembuatan kebijakan yang dipegang oleh orang yang
tepat akan berdampak kebaikan. Jika yang aku urus hanyalah praktik pembelajaran
di kelas semata, maka dampak positif yang aku berikan hanya berkutat terbatas
pada kelas yang aku kelola. Namun jika aku memiliki akses terhadap pembuatan
kebijakan public, maka aku bisa mewujudkan ide-ide brilianku menjadi nyata.
Itulah yang menyadarkanku arti pentingnya menjadi seorang pembuat kebijakan
publik.
Kini, aku berfikir bahwa aku perlu suatu saat menjadi
seorang yang memegang otoritas dalam manajemen pendidikan di negeri ini. Entah di
level sekolah, wilayah kabupaten, provinsi, atau pun dalam skup nasional. Kadang
aku mengamati bagaimana orang-orang di sekitarku meniti karir dan mencapai
posisi menjadi seseorang yang memiliki otoritas. Sebagian ada yang mencapainya
dengan jalan yang normative, sesuai aturan yang berlaku. Namun aku dapati pula
fakta bahwa banyak praktik campur tangan politik dalam proses titian karir untuk
mencapai posisi tertentu dalam struktur manajemen pendidikan di negeri ini.
Aku berpikir bahwa menjadi kepala dinas pendidikan
provinsi adalah hal yang bisa mengantarkanku mewujudkan ide-ideku. Namun aku
lihat bahwa jabatan tersebut adalah jabatan politis. Agak susah untuk dicapai
jika jabatan yang aku idamkan adalah jabatan politis. Namun hal pasti yang aku
harus lakukan adalah terus belajar dan memantaskan diri. Who knows pepatah
masih berlaku bahwa hasil tidak menghianati proses.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar