Selama aku menjalani karir sebagai guru, aku menemui beberapa rekan guru yang menunjukkan dedikasi yang tinggi terhadap dunia pekerjaan yang mereka geluti. Aku benar-benar salut dengan mereka. Sebagian dari mereka menunjukkan tingginya dedikasi dengan wujud sikap terus belajar memperbaiki kualitas pembelajaran. Meskipun hal tersebut lumrah dan sewajarnya dilakukan oleh guru, namun nyatanya tidak mudah untuk mengupayakan pengembangan diri di saat dalam waktu bersamaam guru memiliki tuntutan kerja yang cukup besar. Sebagian menunjukkan dedikasinya dengan cara doing all good things for the sake of their students. Ada beberapa guru yang mengupauyakan supaya banyak dari siswa mereka meraih kesempatan studi di perguruan tinggi dengan beasiswa. Mereka melakukan pendampingan secara terstruktur, terencana dan berkesinambungan, hingga para siswa banyak yang meraih kesempatan studi lanjut ke perguruan tinggi. Ini adalah pekerjaan ekstra, di luar pekerjaan pokok sebagai pengajar atau pendidik.
Ada pula guru yang sering berlama-lama tinggal di
sekolah. Bukan karena tidak ada urusan lain yang berarti, melainkan mereka
ingin memastikan bahwa para siswa terlayani dengan baik. Mereka sengaja menunda
waktu pulang supaya bisa focus mempersiapkan pembelajaran yang efektif dan
bermakna bagi para siswa. Ada pula guru yang menjadi pembina banyak kegiatan
ekstrakurikuler. Bukan karena berharap mendapatkan vakasi tambahan sebagai
pembina ekstra, namun karena mereka menyadari bahwa bakat dan minat siswa harus
diasah melalui pendampingan guru. Dalam kasus tersebut, biasanya guru tersebut
memiliki kompetensi lebih, sementara guru lain, entah karena kurang kompeten
atau karena keengganan, tidak menjadi pembina kegiatan ekstrakurikuler.
Aku merasa salut dengan guru-guru semacam itu. Lebih salut
lagi, guru-guru tersebut adalah yang mengajar di Indonesia, terutama di sekolah
negeri. Jika dedikasi tersebut ditunjukkan oleh para guru yang mengajar di
sekolah-sekolah di Negara maju, maka rasanya aku tidak merasa salut, alias
biasa saja, karena menjadi guru di Negara-negara maju biasanya ada keseimbangan
antara tuntutan kerja dengan reward yang diterima guru. Dengan kata lain, tingginya
gaji yang diterima oleh guru di sana bisa menjadi stimulus maksimalnya kinerja
guru. di Negara-negara maju, guru tidak perlu memikirkan hal lain selain focus memberikan
pelayanan pembelajaran yang maksimal. Mereka tidak perlu memikirkan tentang
mencari tambahan pendapatan, karena gaji yang mereka cukup untuk menguatkan
daya beli mereka dalam memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari.
Di negeri kita, jangankan guru yang masih mengabdi,
guru yang sudah pegawai negeri dengan tunjangan sertifikasi pun bertekuk lutut
pada inflasi. Gaji yang mereka terima jumlahnya semakin naik dari tahun ke
tahun, memang. Namun value dari gaji mereka melemah seiring dengan naiknya
inflasi. Di Australia, gaji sebulan guru bisa dipakai untuk membeli tiga hingga
enam Macbook. Sementara gaji guru di Indonesia untuk membeli satu buah macbook
saja harus mengumpulkan gaji beberapa bulan.
Orang yang berdedikasi tinggi di bidang yang
digelutinya biasanya adalah orang yang sudah selesai dengan diri sendiri. Selesai
dengan diri sendiri artinya sudah merasa tercukupi akan segala kebutuhan hidup.
Baik kebutuhan pokok maupun kebutuhan sekunder dan tersier. Selain itu, mereka
memiliki integritas yang tinggi, serta menunjukkan tanggungjawab moral yang besar.
Menunjukkan dedikasi tinggi di saat seorang guru belum selesai dengan dirinya
sendiri adalah hal yang mungkin bisa terjadi, namun seandainya ada maka layak
untuk kita angkat topi. Karena sulit! Bayangkan, focus memikirkan pelayanan
maksimal dalam mendidik siswa, sementara kebutuhan pokok seperti sandang,
pangan dan papan saja masih belum sepenuhnya tercukupi. Belum lagi kebutuhan
akan kesehatan mental, psikologis dan emosional. Bisa, memang, namun berat. Itu
lah kenapa aku salut dengan para guru yang penuh dedikasi seperti itu.
Ini artinya aku salut juga pada diri sendiri.
:-D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar