Ada banyak alasan yang
dikemukakan oleh orang yang suka menunda penyelesaian pekerjaan. Ada yang bilang
bahwa mereka hanya bisa menyelesaikan pekerjaan mereka saat “Good mood” tiba. Ada
yang beralasan menunggu waktu yang tepat. Ada yang pula yang merasa bahwa saat-saat
terakhir menjelang deadline adalah saat paling ampuh untuk keluarnya segala
kreativitas. Alasan-alasan semacam itu biasanya dilontarkan oleh orang-orang
yang umumnya disebut “procrastinator’. Ada pula yang menyebut mereka “the
last minute person”. Makna dari kedua istilah tersebut pada intinya sama, yaitu
orang yang suka mengerjakan atau menyelesaikan suatu pekerjaan di akhir waktu. Bagi
sebagian orang, itu hanyalah semacam preferensi atau gaya individu dalam menyelesaikan
suatu pekerjaan. Namun, dalam dunia psokologi, itu sebenarnya adalah sebuah
penyakit psikologis.
Orang yang mengidap penyakit procrastinating akan cenderung
merasa kurang nyaman jika harus megerjakan suatu pekerjaan sesegera mungkin. Padahal
mereka tahu bahwa saat mengerjakannya di saat-saat akhir, mereka juga merasakan
tekanan mental yang luar biasa. Namun, karena sudah terbiasa, alam bawah sadar
mereka menerima hal tersebut dan menganggapnya sebagai sebuah kelaziman.
Lantas, apakah benar bahwa menyelesaikan suatu pekerjaan di
menit-menit akhir adalah hal yang positif? Orang-orang yang cenderung
procrastinating biasanya mengacu pada dalil bahwa kreativitas seseorang akan
muncul ketika dia sedang berada dalma kondisi underpressure. Bisa jadi benar,
bahwa dalma kondisi terjepit, orang cenderung mampu mengeluarkan segenap
potensi kinerjanya. Kondisi terjepit membuat orang terpacu kreativitasnya. Namun,
orang kadang lupa, bahwa mental burnout yang diakibatkan oleh penundaan
penyelesaian pekerjaan juga tidak kalah hebat dalam menjadi beban psikis. Bahkan,
beban psikis tersebut bisa berimbas pada kesehatan fisik.
Ada banyak cerita tentang mahasiswa yang kesehatannya drop
gegara urusan penyelesaian tugas akhir yang tak kunjung selesai. Ada banyak
cerita tentang seorang pegawai yang kesehatan fisik dan mentalnya melemah
karena tumpukan pekerjaan yang begitu banyak. Sekalipun benar bahwa dalam
kondisi tertekan otak kita akan mengeluarkan segala kreativitasnya, namun tidak
bisa kita pungkiri pula bahwa pekerjaan berat yang tak kunjung selesai akan terasa
menjadi beban mental dan psikis sehingga berpengaruh terhadap kesehatan fisik.
Saya dulu termasuk seorang
procrastinator parah. Susah sekali untuk menyegerakan penyelesaian suatu
pekerjaan. Rasanya seperti tidak nyaman jika suatu pekerjaan selesai dengan
segera. Kondisi tersebut diperparah oleh sifat perfeksionis saya. Gabungan sifat
procrastinating dan perfeksionis benar-benar sukses membuat saya menjadi
manusia yang tidak efektif. Sekian waktu lama terbuang sia-sia. Sementara hasilnya
pun tidak istimewa. Ironisnya begini, orang menunda dan bersikap perfeksionis
terhadap pekerjaan dengan harapan nanti hasilnya maksimal. Padahal,
sama sekali hal tersebut tidak membuat hasil maksimal. Malah sebaliknya, hasilnya
paling mentok ya biasa-biasa saja.
Lalu, bagaimanakah sebaiknya kita besikap terhadap pekerjaan?
orang dengan pola hidup efektif akan cenderung bersegera untuk memulai. Langkah
pertama itu penting. Jika kita ingin mengerjakan suatu thesis, misalnya, maka mengambil
langkah awal itu penting. Dimulai dari mengakses computer yang terkoneksi ke
dalam internet. Kemudian baca-baca berbagai literatur, atau karya penelitian
orang lain, supaya mendapatkan ide. Intinya,
se-enggan apa pun rasanya, langkah awal harus dicoba. Sebagai pancingan motivasi
intrinsik, langkah awal harus membuahkan hasil. Di setiap langkah harus ada hasil
tertentu, karena hal tersebut akan membuat kita merasakan a sense of progress. Ini penting!
Berkomitmenlah untuk terus berproses. Dengan prinsip tadi, yaitu just do it, no
matter what! Paksakan diri untuk memulai. Pikiran akan menemukan “state of flow”
nya saat kita memutuskan untuk memulai dan menjalani proses.
Banyak orang yang berpikir bahwa mereka perlu menunggu “good
mood” to kick start working. Padahal, good mood itu bisa dipancing. Orang yang mau
memaksakan diri untuk langsung jump into the work akan menemukan good mood. Sbenarnya
yang matter bagi proses melakukan suatu pekerjaan itu bukan good mood,
melainkan “flow”. Orang yang sudah menemukan flownya akan cenderung enjoy
dengan proses yang dijalani, bahkan sampai lupa waktu karena sudah mengalir
dengan ritme proses. Kondisi tersebut dalam ilmu positive psychology disebut
dengan “flow”, dikemukakan pertama kali oleh Mihayli Csikszentmihalyi.
Good mood, atau yang seringkali sebenarnya bermakna “flow’
bukan lah hal yang kemunculannya tidak bisa kita upayakan. Flow bisa diciptakan.
Cara menciptakannya ya itu tadi, melalui kemauan untuk jumping into working,
mulai bekerja, apa pun kondisi mood yang ada saat memulai terebut.
Hal penting lain yang perlu dilakukan salam upaya penyelesaian
suatu kerjaan adalah melakukan visualisasi. Visualisasikan bahwa diri kita sedang
mencapai suatu tahapan progress tertentu. Bayangkan bahwa kita tinggal sedikit
lagi hingga di titik selesai. Atau bayangkan kita sudah selesai dengan
pekerjaan kita. Bayangkan rasanya. Bayangkan rasa leganya. Konon, alam bawah
sadar tidak mengenal pengandaian. Jika kita memvisualisasikan diri selesai
dengan pekerjaan tersebut, dan melakukan visualisasi menikmati momen selesainya
pekerjaan tersebut, maka akan muncul energi positif untuk mulai mengerjakannya.
Seringkali, kita perlu memotivasi dan meyakinkan diri kita sendiri
bahwa kita bisa, bahwa kita pasti mampu menyelesaikan suatu pekerjaan dengan
maksimal sesegera mungkin. Visualisasi adalah salah satu teknik untuk merangsang
munculnya motivasi diri.
Tak perlu berpikir lama dan berharap good mood akan tiba. Jika
kita ingin selesai dengan pekerjaan kita, maka hal paling bijak yang perlu kita
lakukan adalah dengan memulainya. Mulai mengerjakannya. No matter what!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar