Rabu, 16 Maret 2022

Pendekatan Komprehensif Kampanye Literasi di Sekolah

Literasi merupakan salah satu topic yang mendapatkan perhatian cukup besar dalam diskursus pendidikan di berbagai Negara, termasuk Indonesia. Bahkan, dalam kerangka pendidikan di abad 21, literasi termasuk salah satu kecakapan yang dianggap sangat penting. Banyak kurikulum di berbagai Negara menyisipkan kampanye literasi sebagai bagian dari reformasi pendidikan. Negara-negara maju seperti Australia, Amerika, China, Hongkong, dan lainnya memasukkan literasi sebagai salah satu titik focus pendidikan. Hal tersebut bukan tanpa alasan. Tingkat literasi masyarakat suatu  Negara terbukti berkorelasi positif terhadap kemajuan Negara tersebut.

Secara harfiah, literasi bermakna kemampuan untuk membaca dan menulis. Namun, secara makna yang lebih luas, literasi bisa dimaknai sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menginterpretasikan, menciptakan, dan mengomunikasikan materi tertulis maupun tak tertulis yang berhubungan dengan berbagai konteks kehidupan. Literasi diyakini oleh banyak orang sebagai salah satu kecakapan untuk survive (survival skill) dalam kehidupan. Oleh karena itu, topic tentang literasi mendapatkan porsi yang cukup strategis dalam diskursus pendidikan, terutama di Indonesia.

Indonesia merupakan Negara yang melakukan kampanye massif terhadap literasi. Spirit kampanye literasi begitu terasa dalam rentang satu decade terakhir. Literasi disisipkan ke dalam kurikulum, sebagai sebuah mandatori untuk digalakkan di lingkungan pendidikan. Pemerintah juga mencetuskan Gerakan Literasi Nasional. Bahkan, pada saat kementerian pendidikan nasional digawangi oleh Anies Baswedan, muncul program wajib baca 15 menit setiap hari di sekolah. meskipun kegiatan 15 menit membaca tersebut Nampak kurang berkesinambungan, namun setidaknya hal tersebut menunjukkan bahwa literasi dinilai penting untuk dikampanyekan di negeri ini.

Harus kita akui bahwa literasi masih merupakan PR besar di negeri kita, Indonesia. Untuk literasi dasar seperti membaca saja masyarakat kita masih belum begitu familiar. Situs World Atlas memuat sebuah laporan tentang pemeringkatan Negara-negara berdasarkan jumlah jam membaca per minggu masyarakatnya. Dalam laporan tersebut, India, Thailand dan China termasuk tiga besar Negara yang jumlah jam baca masyarakatnya paling banyak. Indonesia berada pada urutan yang cukup membuat kita merasa bahwa kita masih harus terus berbenah dalam kampanye literasi.

Lantas, bagaimana sebaiknya kampanye literasi digalakkan? Apakah cukup dengan membuat Gerakan Literasi Nasional? Apakah cukup dengan kegiatan 15 menit membaca di sekolah setiap hari? Apakah cukup dengan menyediakan banyak buku? Semua program tersebut penting, namun agar kampanye literasi berbuah kesuksesan, dibutuhkan pendekatan komprehensif dan berkesinambungan. Kampanye literasi tidak boleh hanya terasa di suatu lingkungan saja, contohnya hanya di lingkungan pendidikan. Di lingkungan pendidikan pun kampanye literasi harus menggunakan pendekatan komprehensif. Di Lingkungan masyarakat dan keluarga, kampanye literasi juga harus secara riil terasa.

Mari kita refleksikan bagaimana kampanye literasi digalakkan skup lingkungan pendidikan seperti sekolah. sekolah merupakan lingkungan yang semestinya identic dengan nuansa literasi. Di sekolah, kegiatan belajar mengajar tentu melibatkan aktivitas membaca, menulis, memahami, menghinterpretasikan, menciptakan, mengkomunikasikan dan hal-hal lainnya sebagaimana yang menjadi prinsip dalam literasi. Itu adalah kondisi ideal sekolah. Namun pada praktiknya, apakah hal kondisi tersebut benar-benar ada di sekolah-sekolah di Indonesia? Ada pertanyaan menarik, berapa jumlah siswa yang suka membaca dan menulis? Berapa jumlah guru yang memiliki kebiasaan membaca dan menulis? Jawaban-jawaban untuk pertanyaan ini memang harus dibuktikan melalui penelitian. Namun ada hipotesis muncul bahwa kebiasaan membaca dan menulis civitas akademika di berbagai sekolah di Indonesia bisa dikatakan masih cukup rendah. Berapa banyak peserta didik yang menggunakan waktu luang untuk membaca, alih-alih bermain game atau melakukan hal yang kurang penting? Berapa banyak guru yang memanfaatkan waktu luang untuk membaca atau menulis, alih-alih untuk menggosip atau melakukan hal yang tak penting lainnya? pertanyaan-pertanyaan tersebut terkesan nyinyir dan julid, namun itu layak untuk direnungkan.

Selama ini, program yang nampak cukup familiar di dalam pembicaraan public terkait kampanye literasi di sekolah adalah program 15 menit membaca. Hal tersebut penting untuk setidaknya mengakrabkan peserta didik dengan aktivitas membaca. Namun, itu saja tidak cukup. Harus ada pendekaan komprehensif dalam kampanye literasi di sekolah. lantas, apa saja yang harus dilakukan oleh pembuat kebijakan di sekolah agar kampanye literasi efektif dan sukses?

Hal pertama harus ada di lingkungan sekolah adalah keteladanan. Pastikan para guru dan kepala sekolah adalah orang-orang yang bisa dijadikan teladan bagi peserta didik dalam hal literasi. Mereka harus memiliki kebiasaan membaca dan menulis terlebih dahulu, sebelum menyuarakan pentingnya membaca dan menulis kepada peserta didik. Mereka juga harus mampu meyakinkan peserta didik tentang manfaat dari aktivitas membaca dan menulis bagi kehidupan mereka pribadi. Manusia adalah makhluk pragmatis. Mereka tidak akan dengan secara sadar dan sukarela melakukan proses pembentukan suatu kebiasaan, kecuali mereka memahami apa manfaat yang akan mereka dapatkan dari hal tersebut. Begitu pula dengan peserta didik. Individu-individu yang sudah memiliki kebiasaan membaca pada umumnya adalah mereka yang sudah sangat paham tentang manfaat dari aktivitas tersebut bagi diri mereka. Jadi, hal pertama yang harus dibenahi adalah keteladanan guru dan kepala sekolah dalam berliterasi.

Hal kedua yang harus diperhatikan adalah wellbeing peserta didik. Konsep wellbeing memang belum dianggap sebagai issue yang strategis dalam konteks penyelenggaraan pendidikan di berbagai sekolah Indonesia pada umumnya. Namun, kita pasti menyadari bahwa kesehatan dan kenyamanan emosi, mental, psikologis dan fisiologis berpengaruh terhadap pengalaman belajar dan pencapaian akademik peserta didik. Itu lah dasar dari wellbeing. Cara mendukung wellbing peserta didik dalam kampanye literasi adalah penyediaan sarana yang mendukung serta pelayanan yang humanis. Betapa banyak siswa yang enggan untuk datang ke perpustakaan karena pembawaan pegawai perpustakaan yang tidak/kurang ramah. Betapa banyak peserta didik yang enggan pergi ke perpustakaan karena kondisi perpustakaan yang terlihat kurang terawat.

Berkunjung ke berbagai perpustakaan yang ada di Jepang dan Australia, saya melihat betapa kenyamanan lingkungan fisik perpustakaan di Negara tersebut sangat terjamin. Orang mungkin datang ke perpustakaan dengan maksud untuk sekedar bersandar atau menikmati ketenangan, karena lingkungan perpustakaan biasanya memang tenang. Orang datang ke perpustakaan mungkin hanya sekedar ingin bersandar di sofa lantai yang empuk sambil menikmati vibe positif yang ada di ruang perpustakaan. Orang mungkin awalnya hanya tertarik untuk selfie-selfie di ruang perpustakaan karena desain interiornya instagrammable. Itu semua tidak masalah. Meminjam istilah yang dipakai oleh Gol A Gong, fasilitas fisik seperti itu adalah pancingan agar orang mau datang ke perpustakaan. Setelah merasa nyaman di perpustakaan, orang lambat laun akan tergerak hatinya untuk membaca, atau melakukan berbagai aktivitas di perpustakaan tersebut yang berkaitan dengan literasi.

Lingkungan perpustakaan yang nyaman dengan desain interior yang enak dipandang serta dilengkapi dengan koleksi buku yang cukup banyak dan up to date, bisa menjadi katalisator bagi terbentuknya keakraban peserta didik dengan dunia iterasi. Penataan fisik perpustakaan juga perlu memperhatikan perkembangan zaman. Dulu, kita bergantung dengan media cetak seperti buku. Di era digital seperti sekarang ini , perpustakaan juga semestinya menyediakan media digital. Setidaknya, perpustakaan perlu menyediakan beberapa computer yang terkoneksi dengan jaringan internet. Posisikan computer tersebut pada lokasi yang terbuka dan mudah diawasi. Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir potensi penggunaan computer untuk hal yang tidak penting. Perpustakaan-perpustakaan di Australia bahkan menempatkan computer pada posisi yang bisa dengan mudah diawasi dari tempat standby nya pegawai perpustakaan.

Selanjutnya, selenggarakan program-program yang memacu minat peserta didik terhadap dunia literasi. Program-program seperti lomba menulis karya fiksi dan non-fiksi, menulis copywriting untuk marketing bisnis, bedah buku, training menulis, workshop digital marketing, seminar financial literacy, penerbita buku secara kolektif, dan lainnya penting untuk diselenggarakan. Program-program tersebut bisa dilaksanakan sebagai bagian dari kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler.

Kegiatan pembelajaran juga bisa diarahkan untuk mendorong kegiatan literasi. Contohnya, peserta didik diarahkan untuk mengakses berbagai sumber belajar (learning resources). Jangan batasi mereka dengan penggunaan satu buku tertentu dalam pembelajaran. Dorong mereka untuk secara mandiri mencari beragam sumber belajar, serta tunjukkan keada mereka contoh-contoh sumber belajar yang bisa mereka akses. Kegiatan belajar yang hanya berpatokan pada penggunaan satu buku tertentu akan mempengaruhi alam bawah sadar peserta didik untuk meyakini bahwa sumber belajar yang valid itu terbatas.

Kampanye literasi tidak akan sepenuhnya berhasil tanpa dukungan berbagai pihak. Sekolah perlu menjalin kerjasama dan komunikasi dengan orang tua. Bentuk konkrit kerjasama antara sekolah dan orang tua dalam untuk mendukung kampanye literasi adalah melalui penyelenggaraan edukasi bagi orang tua. Kegiatan tersebut penting agar orang tua dan sekolah memiliki kesamaan mindset dan persepsi terhadap literasi. Sekolah perlu memberi pemahaman terhadap orang tua tentang alur logis pengaruh literasi peserta didik terhadap keberhasilan mereka dalam hidup. Dengan pemahaman bahwa literasi berpengaruh terhadap keberhasilan peserta didik, maka orang tua seharusnya ikut andil dalam suksesnya kampanye literasi bagi anak-anak mereka. Andil tersebut nantinya bisa berupa penyediaan sarana untuk menunjang literasi di rumah oleh orang tua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar