Kualitas guru adalah salah satu kunci utama bagi
berkualitasnya pendidikan suatu negara. Anggaran pendidikan boleh ditambah. Kurikulum
pendidikan boleh terus berubah. Fasilitas fisik sekolah boleh terus bertambah. Namun
jika guru tidak terus berbenah, maka semua hal yang disebutkan tadi akan
seperti kehilangan arah. Ada namun tak bermakna.
Bayangkan, kondisi fisik sekolah begitu mewah, namun tak
ada inovasi, kreativitas maupun efektivitas dalam proses pembelajaran siswa. Bayangkan,
kurikulum didesain sedemikian rupa sehingga diharapkan bisa menjadi jawaban
atas perubahan peradaban, namun guru tak mampu untuk memanifestasikan mandate kurikulum
tersebut ke dalam praktik pembelajaran. Bayangkan, anggaran pendidikan
dinaikkan, namun kualitas guru kurang terperhatikan. Tak ada dampak yang terasa
pada kualitas pembelajaran siswa. Padahal semua kebijakan pendidikan
berorientasi pada berkualitasnya pengalaman belajar siswa, sehingga terwujudlah
tujuan dari pendidikan di Indonesia.
Salah satu tantangan besar dalam upaya perbaikan
kualitas pendidikan di Indonesia adalah memperbaiki mindset guru. Kurikulum sudah
beberapa kali berganti. Dalam setiap pergantian kurikulum, selalu ada cara-cara
baru dalam praktik pembelajaran yang semestinya diterapkan oleh guru. Namun,
betapa pun seringnya kurikulum berganti, praktik pembelajaran yang diterapkan
guru di kelas masih banyak yang tidak mengalami perubahan. Pembelajaran yang
sedianya berpusat pada siswa (student-centeredness) masih berkutat pada kondisi
dimana guru menjadi pusat dari aktivitas belajar di kelas. Salah satu cirinya
adalah penggunaan buku, modul, atau bahan ajar tertentu sebagai patokan,
alih-alih menggunakan keragaman sumber belajar. Andai para guru memiliki
mindset terbuka terhadap perubahan, maka mandat kurikulum akan mudah untuk
termanifestasikan dalam praktik pembelajaran.
Selain itu, hal krusial yang berkaitan dengan masalah kualitas guru adalah seberapa besar guru
memiliki longlife learning habit dan adaptability. Guru yang memiliki long life
learning habit akan terus berbenah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran
siswa. Sementara, guru yang rendah dalam long life learning habitnya, akan
cenderung stagnan dan tidak mengalami perubahan positif pada level
profesionalitasnya. Long life learning habit
merupakan karakter yang terbentuk melalui proses pembiasaan (nurturing) bukan karena bawaan sedari
lahir (natural).
Adaptability atau kemampuan beradaptasi berkaitan
dengan longlife learning habit. Adaptability adalah kemampuan dan kemauan
guru untuk terus beradaptasi dengan perubahan zaman. Adaptability biasanya
berkorelasi positif dengan long life learning habit. Guru-guru yang memiliki
kemampuan beradaptasi biasanya merupakan
guru yang mau untuk terus belajar. Guru yang memiliki adaptability mampu meninggalkan pola-pola lama yang telah usang,
berganti dengan pola-pola baru yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Gartatik, seorang guru bahasa inggris di Jawa Tengah,
bisa menjadi contoh yang bagus terkait long
life learning habit dan adaptability.
Dia adalah guru bahasa inggris berusia 50an tahun. Dia merupakan seorang long life learner. Dia selalu berusaha
untuk mengupdate kemampuan diri dalam menggunakan teknologi untuk tujuan
pembelajaran siswa. Berbagai program pengembangan profesionalitas dia ikuti. Dia
juga merupakan guru yang gemar membaca. Wawasannya luas, literasi technologi nya
sangat bagus, dan dia selalu mampu beradaptasi dengan perkembangan kurikulum
yang didesain oleh pemerintah. Dia adalah potret guru yang memiliki growth-mindset, learning habit dan adaptability. Dia selalu memiliki
keberagaman pendekatan dalam pembelajaran yang membuat para siswa menikmati
proses belajar pada mata pelajaran yang dia ampu.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, seorang guru
danggap professional jika dia mumpuni dalam empat kompetensi yang terdiri dari
kopetensi pedagogic, professional, kepribadian dan social. Sayangnya,
pengukuran empat kompetensi tersebut biasanya dilakukan dalam frekuensi yang
sangat terbatas. Banyak guru yang sudah mendapatkan srtifikat professional berhenti
dari proses penempaan diri. Harusnya definisi dari guru professional itu diperluas.
Ada variable yang perlu ditambahkan lagi. Variable tersebut adalah learning
habit dan adaptability. Guru yang professional semestinya bukan hanya memiliki
empat kompetensi yang diukur melalui satu atau kali mata uji kompetensi,
melainkan juga guru yang terbukti memiliki learning habit dan adaptability. Tidak
ada profesionalitas kecuali adanya upaya terus berbenah dan meningkatkan
kualitas diri. Orang yang berhenti belajar akan cenderung ketinggalan zaman. Tentu
tidak ada orang professional yang ketinggalan zaman. Orang professional selalu
update dengan perubahan zaman.
Lantas, pertanyaan penting yang muncul adalah
bagaimana caranya program pengembangan profesionalitas guru bisa menunjang learning habit dan adaptability guru. Hal pertama yang perlu dilakukan oleh pemerintah
adalah memastikan bahwa program pengembangan profesionalitas guru harus
berkesinambungan. Jangan lagi labelisasi professional dilakukan melalui program
yang sekali dilaksanakan selesai. Program sertifikasi guru, misalnya,
semestinya dilakukan secara berkala. Hal tersebut dilakukan untuk menjadi salah
satu stimulus bagi guru untuk terus belajar. Program sertifikasi berkala guru
tersebut tidak perlu harus berkonsekuensi terhadap kesejahteraan guru, karena
bisa menimbulkan mental pressure dan
menggangu wellbeing guru. Jadikan itu sebagai refleksi bagi guru. Mereka yang
gagal dalam sertifikasi yang berkala tersebut semestinya malu. Hal tersebut
akan bisa menjadi pemicu mereka untuk terus belajar.
Hal kedua yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah se-sering
mungkin menyelenggarakan banyak program lomba tentang best practice, inovasi
pembelajaran, dan penghargaan bagi guru inspiratif. Manusia adalah makhluk yang
pragmatis. Banyak manusia yang hanya mau berusaha melakukan sesuatu ketika mereka
merasa ada manfaat yang bisa didapatkan dari melakukan hal tersebut. Program-program
semacam itu akan menjadi motivasi ekstrinsik. Sumber motivasi ekstrinsik
semacam itu bisa menjadi pemicu tumbuhnya motivasi intrinsic guru di kemudian
hari.
Hal ketiga yang perlu dilakukan pemerintah adalah
mengeluarkan kebijakan diwajibkannya In
House Training di setiap sekolah secara berkala. Guru-guru di sekolah bisa
menjadi peer-mentor bagi guru
lainnya. Selama ini, berbagai workshop atau pelatihan pengembangan kualitas
pembelajaran tidak disertai dengan pewajiban bagi peserta untuk melakukan
diseminasi materi kepada rekan guru lainnya dari. Banyak guru kreatif invatif
yang tidak diberi ruang untuk sharing terhadap rekan guru lainnya. Akibatnya,
performa mengajar guru tidak merata. Agar guru akrab dengan nuansa belajar,
maka setiap sekolah harus melakukan in-house
training secara berkala. Guru harus saling berbagi ilmu terhadap sesama. Program
saling berbagi ilmu di sekolah tidak akan terselenggara kecuali ada kebijakan
pemerintah yang mewajibkan hal tersebut untuk menjadi program nyata.
Growth-mindset, learning habit serta adaptability guru
bisa ditunjang dengan berbagai kebijakan pendidikan yang berkaitan dengan
peningkatan profesionalitas guru sebagaimana yang di sebutkan di atas. Harus kita
ingat selalu bahwa Growth-mindset, learning habit serta adaptability terbentuk
melalui proses pembiasaan (nurturing)
bukan muncul secara alami (natural).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar