Senin, 21 Maret 2022

Mengukur Kualitas Guru dari Mindset, Learning Habit, dan Adaptability

 

Kualitas guru adalah salah satu kunci utama bagi berkualitasnya pendidikan suatu negara. Anggaran pendidikan boleh ditambah. Kurikulum pendidikan boleh terus berubah. Fasilitas fisik sekolah boleh terus bertambah. Namun jika guru tidak terus berbenah, maka semua hal yang disebutkan tadi akan seperti kehilangan arah. Ada namun tak bermakna.

Bayangkan, kondisi fisik sekolah begitu mewah, namun tak ada inovasi, kreativitas maupun efektivitas dalam proses pembelajaran siswa. Bayangkan, kurikulum didesain sedemikian rupa sehingga diharapkan bisa menjadi jawaban atas perubahan peradaban, namun guru tak mampu untuk memanifestasikan mandate kurikulum tersebut ke dalam praktik pembelajaran. Bayangkan, anggaran pendidikan dinaikkan, namun kualitas guru kurang terperhatikan. Tak ada dampak yang terasa pada kualitas pembelajaran siswa. Padahal semua kebijakan pendidikan berorientasi pada berkualitasnya pengalaman belajar siswa, sehingga terwujudlah tujuan dari pendidikan di Indonesia.  

Salah satu tantangan besar dalam upaya perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia adalah memperbaiki mindset guru. Kurikulum sudah beberapa kali berganti. Dalam setiap pergantian kurikulum, selalu ada cara-cara baru dalam praktik pembelajaran yang semestinya diterapkan oleh guru. Namun, betapa pun seringnya kurikulum berganti, praktik pembelajaran yang diterapkan guru di kelas masih banyak yang tidak mengalami perubahan. Pembelajaran yang sedianya berpusat pada siswa (student-centeredness) masih berkutat pada kondisi dimana guru menjadi pusat dari aktivitas belajar di kelas. Salah satu cirinya adalah penggunaan buku, modul, atau bahan ajar tertentu sebagai patokan, alih-alih menggunakan keragaman sumber belajar. Andai para guru memiliki mindset terbuka terhadap perubahan, maka mandat kurikulum akan mudah untuk termanifestasikan dalam praktik pembelajaran.

Selain itu, hal krusial yang berkaitan dengan masalah  kualitas guru adalah seberapa besar guru memiliki longlife learning habit dan adaptability. Guru yang memiliki long life learning habit akan terus berbenah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran siswa. Sementara, guru yang rendah dalam long life learning habitnya, akan cenderung stagnan dan tidak mengalami perubahan positif pada level profesionalitasnya. Long life learning habit merupakan karakter yang terbentuk melalui proses pembiasaan (nurturing) bukan karena bawaan sedari lahir (natural).

Adaptability atau kemampuan beradaptasi berkaitan dengan longlife learning habit. Adaptability adalah kemampuan dan kemauan guru untuk terus beradaptasi dengan perubahan zaman. Adaptability biasanya berkorelasi positif dengan long life learning habit. Guru-guru yang memiliki kemampuan  beradaptasi biasanya merupakan guru yang mau untuk terus belajar. Guru yang memiliki adaptability mampu meninggalkan pola-pola lama yang telah usang, berganti dengan pola-pola baru yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Gartatik, seorang guru bahasa inggris di Jawa Tengah, bisa menjadi contoh yang bagus terkait long life learning habit dan adaptability. Dia adalah guru bahasa inggris berusia 50an tahun. Dia merupakan seorang long life learner. Dia selalu berusaha untuk mengupdate kemampuan diri dalam menggunakan teknologi untuk tujuan pembelajaran siswa. Berbagai program pengembangan profesionalitas dia ikuti. Dia juga merupakan guru yang gemar membaca. Wawasannya luas, literasi technologi nya sangat bagus, dan dia selalu mampu beradaptasi dengan perkembangan kurikulum yang didesain oleh pemerintah. Dia adalah potret guru yang memiliki growth-mindset, learning  habit dan adaptability. Dia selalu memiliki keberagaman pendekatan dalam pembelajaran yang membuat para siswa menikmati proses belajar pada mata pelajaran yang dia ampu.

Dalam konteks pendidikan di Indonesia, seorang guru danggap professional jika dia mumpuni dalam empat kompetensi yang terdiri dari kopetensi pedagogic, professional, kepribadian dan social. Sayangnya, pengukuran empat kompetensi tersebut biasanya dilakukan dalam frekuensi yang sangat terbatas. Banyak guru yang sudah mendapatkan srtifikat professional berhenti dari proses penempaan diri. Harusnya definisi dari guru professional itu diperluas. Ada variable yang perlu ditambahkan lagi. Variable tersebut adalah learning habit dan adaptability. Guru yang professional semestinya bukan hanya memiliki empat kompetensi yang diukur melalui satu atau kali mata uji kompetensi, melainkan juga guru yang terbukti memiliki learning habit dan adaptability. Tidak ada profesionalitas kecuali adanya upaya terus berbenah dan meningkatkan kualitas diri. Orang yang berhenti belajar akan cenderung ketinggalan zaman. Tentu tidak ada orang professional yang ketinggalan zaman. Orang professional selalu update dengan perubahan zaman.

Lantas, pertanyaan penting yang muncul adalah bagaimana caranya program pengembangan profesionalitas guru bisa menunjang learning habit dan adaptability guru. Hal pertama yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah memastikan bahwa program pengembangan profesionalitas guru harus berkesinambungan. Jangan lagi labelisasi professional dilakukan melalui program yang sekali dilaksanakan selesai. Program sertifikasi guru, misalnya, semestinya dilakukan secara berkala. Hal tersebut dilakukan untuk menjadi salah satu stimulus bagi guru untuk terus belajar. Program sertifikasi berkala guru tersebut tidak perlu harus berkonsekuensi terhadap kesejahteraan guru, karena bisa menimbulkan mental pressure dan menggangu wellbeing guru. Jadikan itu sebagai refleksi bagi guru. Mereka yang gagal dalam sertifikasi yang berkala tersebut semestinya malu. Hal tersebut akan bisa menjadi pemicu mereka untuk terus belajar.

Hal kedua yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah se-sering mungkin menyelenggarakan banyak program lomba tentang best practice, inovasi pembelajaran, dan penghargaan bagi guru inspiratif. Manusia adalah makhluk yang pragmatis. Banyak manusia yang hanya mau berusaha melakukan sesuatu ketika mereka merasa ada manfaat yang bisa didapatkan dari melakukan hal tersebut. Program-program semacam itu akan menjadi motivasi ekstrinsik. Sumber motivasi ekstrinsik semacam itu bisa menjadi pemicu tumbuhnya motivasi intrinsic guru di kemudian hari.

Hal ketiga yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengeluarkan kebijakan diwajibkannya In House Training di setiap sekolah secara berkala. Guru-guru di sekolah bisa menjadi peer-mentor bagi guru lainnya. Selama ini, berbagai workshop atau pelatihan pengembangan kualitas pembelajaran tidak disertai dengan pewajiban bagi peserta untuk melakukan diseminasi materi kepada rekan guru lainnya dari. Banyak guru kreatif invatif yang tidak diberi ruang untuk sharing terhadap rekan guru lainnya. Akibatnya, performa mengajar guru tidak merata. Agar guru akrab dengan nuansa belajar, maka setiap sekolah harus melakukan in-house training secara berkala. Guru harus saling berbagi ilmu terhadap sesama. Program saling berbagi ilmu di sekolah tidak akan terselenggara kecuali ada kebijakan pemerintah yang mewajibkan hal tersebut untuk menjadi program nyata.

Growth-mindset, learning habit serta adaptability guru bisa ditunjang dengan berbagai kebijakan pendidikan yang berkaitan dengan peningkatan profesionalitas guru sebagaimana yang di sebutkan di atas. Harus kita ingat selalu bahwa Growth-mindset, learning habit serta adaptability terbentuk melalui proses pembiasaan (nurturing) bukan muncul secara alami (natural).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar