Minggu, 08 Desember 2019

Seleksi Beasiswa: Sebuah ujian keikhlasan


Image result for struggle for scholarship
Picture: https://www.fastweb.com/

Masa penantian pengumuman hasil seleksi LPDP ini membuatku galau. Tidak seperti biasanya, beberapa kali aku mengikuti seleksi beasiswa program ke luar negeri dimana sebagian aku berhasil dan sebagian lainnya lebih sering gagal (lol), aku menyikapinya secara nothing to lose. Padahal kali ini aku masih menanti pengumuman, dan hasilnya seperti apa pun masih bisa dikatakan fifty-fifty antara kemungkinan hasil posisif tidaknya.

Kegalauanku berawal dari proses seleksi wawancara 1 yang cukup membuatku shock. Bukannya aku merasa tidak siap menghadapi wawancara tersebut, justru karena sebenarnya aku sudah menyiapkannya dengan sanagt matang. Yang membuatku galau paska wawancara adalah sikap salah satu pewawancara yang membuatku berpikir bahwa dia kurang fair padaku dalam memerankan diri sebagai pewawancara. Idealnya, wawancara adalah sesi dimana pewawancara mengorek habis isi kepala, track reccord dan rencana masa depan yang dimiliki oleh orang yang diwawancarai. Namun, wawancara itu aku rasa laksana sebuah ceramah, yang aku mau ndak mau harus mendengarkannya. Di situ kelemahan-kelemahan ku dikupas habis, seolah tidak ada sisi kelebihanku yang layak untuk ia tanyakan lebih dalam. Sesekali dia persilakan aku untuk memberikan argumentasi, namun dengan nada retoris, seperti tidak membutuhkan jawabanku sama sekali, dan hanya ingin aku mengiyakan apa yang dikatakannya. Pernyataan-pernyataannya cukup judgmental. Itu yang membuatku makin kurang nyaman. Meski demikian, aku berusaha bersikap proporsional, menerima situasi dan menunjukkan ekspresi sungguh-sungguh emndengarkan apa yang dikatakan pewawancara tersebut. Ada situasi dilematis pada saat itu, antara bersikap “nurut” dengan mengiyakan semua yang disampaikan oleh pewawancara, atau menyampaikan konter argument untuk mematahkan klaim yang disampaikan oleh si pewawancara. Berjkali-kali muncul dalam pikiranku, sepatah pesan yang disamnpaikan oleh temanku sebelumnya, bahwa aku harus stay humble. Stay humble ini yang menimbulkan interpretasi makna yang bias, menruutku. Ukuran humble yang proporsional dalam menghadapi tekanan seperti saat wawancaraku itu seperti apa, I have no clue.

Tes wawancara atau yang disebut sebagai seleksi substansi ini merupakan bagian dari rangkaian seleksi beasiswa LPDP, yang terdiri dari wawancara 1 dan wawancara 2. Wawancara 1 kurang lebih berisi topic seputar akademis dan psikologi, dengan tiga pewawancara. Sementara wawancara 2 yang hanya digawangi oleh seorang pewawancara akan menguji wawasan kebangsaan peserta wawancara. Sejatinya, aku sudah sangat siap secara mental menghadapi sesi wawancara ini, karena pengalaman dan latihan yang sudah aku jalani selama ini. Pengalaman menjalani tes wawancara di berbagai program membuatku yakin bahwa wawancara adalah sesi yang aku bakal paling optimis menghadapinya, hingga aku mendapati situasi yang membuatku berpikir sebaliknya.
Jika mengingat bagaimana proses wawancara 1 yang aku jalani, aku merasa tidak bisa 100% yakin akan hasil positif nanti. Aku berharap keajaiban Alloh muncul,, sebagaimana aku selalu meyakini bahwa dalam setiap upaya, seringkali ada Invisible hand yang menciptakan situasi yang miraculous. Satu hal yang bikin aku baper berat dalam menunggu hasil seleksi substansi ini adalah bayangan andai aku gagal. Aku membayangkan betapa patah hatinya aku andai gagal, mengingat proses yang telah aku lalui. Mungkin ini adalah ujian keikhlasan, sekaligus pelajaran bahwa semaksimal apapun upaya yang kitalakukan, tetap harus sadar diri bahwa ada kekuatan lain yang lebih memiliki kuasa untuk menentukan keadaan. Pendaftara beasiswa yang kulakukan kali ini bukan minim persiapan. Ada serangkaian proses penuh drama di dalamnya. Apalagi aku melamar beasiswa melalui jalur Targetted Group ASN. Konsekuensinya, tentu banyak. Di antaranya adalah keharusan mengurus berkas-berkas administratif birokratis yang laborious banget.

Drama pertama adalah saat aku menjalani tes IELTS. Entah kenapa aku salah menuliskan jawaban essay writing di lembar yang bukan semestinya. Essay writing 1 aku tulis di lembar jawab yang seharusnya untuk essay writing 2. Dan aku menyadarinya setelah hanya tinggal beberapa menit waktu yang tersedia. Sementara itu, tidak ada lembar kerja pengganti, sehingga aku harus menghapus semua tulisan dan menulis ulang di lembar kerja yang semestinya. Jangan tanya seperti apa aku melakukannya, karena rasa gugup bercampur kekhawatiran habisnya waktu membuat aku menulis tanpa pikir panjang. Sekenanya saja aku menulis, karena tidak cukup waktu untuk mengingat semua poin yang aku tuliskan sebelumnya. Meski demikian, Alhamdulillah masih dapet band score yang lumayan, meski skor writing menjadi yang paling rendah di antara skill yang diuji lainnya.

Drama kedua adalah menguru surat ijin kepala Dinas Pendidikan Provinsi dan surat Rekomendasi Kepala Badan Kepegawaian Daerah. Bukan semata factor jarak yang berimplikasi pada banyaknya biaya yang harus aku keluarkan, mengingat itu semua harus diurus di ibukota provinsiku yang jaraknya sekitar 200km dari kampungku, dan memerlukan waktu tempuh yang lumayan lama. Ada kesalahan teknis yang mengaruskanku bolak-balik untuk mengurus surat tersebut. Sangat lega rasanya setelah surat tersebut jadi.

Meski sudah cukup berpengalaman dalam menghadapi wawancara, namun aku tidak serta merta menggampangkannya/ meremehkannya. Aku tetap maksimalkan ikhtiar agar kelak aku punya alasan untuk Tuhanku memberhasilkanku. Aku ikuti berbagai grup telegram dan whatsapp tentang persiapan seleksi substansi. Aku latih kemampuan retorikaku agar semakin lancar saat menjawab berbagai pertanyaan wawancara. Aku baca buku-buku dan artikel-artikel yang relevan dengan materi yang akan dipertanyakan saat wawancara. Aku pelajari ringkasan 100 pertanyaan yang sering muncul dalam wawancara beasiswa LPDP, yang dibagikan oleh seorang teman. Bahkan sebagai tambahan, biar maksimal, aku googling sendiri berbagai pertanyaan seputar wawancara yang aku dapatkan dari berbagai sumber. Aku berkonsultasi dengan beberapa dosen/professor yang mengajar di kampus yang hendak aku jadikan tempat studi. Aku juga berkonsultasi dengan beberapa teman yang sudah memperoleh beasiswa tersebut. Aku tanyakan secara detail hal-hal yang aku rasa sangat penting. Bahkan ada seorang teman yang bilang bahwa aku terlalu detil dalam menyiapkan diri menghadapi tes wawancara ini. Kurang apa aku ini?

Memang, aku belum memiliki Letter of Acceptance (LoA). Namun aturan beasiswa LPDP membolehkan siapapun yang belum memiliki surat tersebut untuk mengikuti seleksi beasiswa. Selesai wawancara, aku diskusi dengan beberapa teman di grup telegram tentang pertanyaan apa yang masing-masing dari kami dapatkan. Dan gilaa, aku merasa pertanyaan-pertanyaan wawancara yang mereka dapatkan enak-enak banget. Ndak susah-susah amat. Seputar rencana studi, kontribusi apa yang telah sedang dan akan dilakukan, dan diulik apa yang menjadi kelebihan mereka. Lha aku? Seolah pengalaman berorganisasiku yang seabreg, pengalaman mengikuti program pengembangan diriku baik dalam negeri maupun luar negeri yang aku kira akan sangat mendukung dan memperkuat keyakinan pewawancara akan kelayakanku memperoleh beasiswa tersebut, kontribusiku yang sudah, sedang dan akan aku lakukan, seolah tiada makna dan tak layak untuk diulik barang sedikit saja. Diganti dengan bahas tuntas kekuranganku berupa bahwa aku belum memiliki artikel yang dipublikasi di jurnal internasional yang terindeks scorpus. Saat ditanya tentang publikasi, aku coba menawarkan diri untuk menunjukkan buku karyaku berupa English Textbook yang sudah cetak, namun ditolak. “Ndak perlu”, kata si pewawancara. Yang jelas aku harus membuktikan sesuatu yang aku memang belum punya. Andai semua peserta wawancara diminta hal yang sama, untuk menunjukkan publikasi ilmiah emreka di jurnal internasional yangt erikdeks scorpus, mungkin aku akan emrasa lega, dan menilainya fair. Masalahnya, aku tanya teman-teman, sangat sangat jarang yang ditanya publikasi ilmiah untuk mereka yang mengambil program master’s Degree.

Jujur, aku sangat iri dengan teman-teman peserta seleksi beasiswa tahap sebelumnya yang sharing bahwa mereka mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang menurutku relatif mudah, dan akhirnya mereka lolos. Rasa hati makin ga karuan saat ada teman yang bilang bahwa dia sebenarnya ikut seleksi beasiswa ini coba-coba saja, dan tanpa persiapan yang begitu maksimal. Namun mereka akhirnya mendapatkan beasiswa tersebut. Di tulisan ini, aku tidak sedang menyalahkan siapa-siapa. Aku hanya sedang mencurahkan isi hati, bahwa situasi seperti ini kebetulan terjadi padaku. Tentu ada pelajaran berharga yang bisa dipetik oleh banyak orang, bahwa kadang betapapun siapnya kita dalam berusaha, situasi-situasi tak terduga yang membuat kita berpikir bahwa itu kurang fair bisa terjadi. Aku menganggapnya sebagai sebuah ujian keikhlasan. Dalam kenyataan hidup, rumus matematika tidak selamanya berlaku. Logikanya, orang dengan persiapan maksimal akan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Namun ternyata tiada jaminan akan hal tersebut, karena mau tidak mau ada kekuatan lain yang memiliki kuasa untuk membuat scenario atas jalannya hidup kita.


Aku pasrahkan semuanya kepada Alloh SWT.

Apapun nanti hasilnya, harus aku sikapi dengan positif.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar