Picture: https://www.fastweb.com/ |
Masa penantian pengumuman hasil
seleksi LPDP ini membuatku galau. Tidak seperti biasanya, beberapa kali aku
mengikuti seleksi beasiswa program ke luar negeri dimana sebagian aku berhasil dan sebagian lainnya lebih sering gagal (lol), aku menyikapinya secara
nothing to lose. Padahal kali ini aku masih menanti pengumuman, dan hasilnya seperti apa pun masih bisa dikatakan fifty-fifty antara
kemungkinan hasil posisif tidaknya.
Kegalauanku berawal dari proses seleksi wawancara 1 yang
cukup membuatku shock. Bukannya aku
merasa tidak siap menghadapi wawancara tersebut, justru karena sebenarnya aku sudah menyiapkannya dengan sanagt matang. Yang membuatku galau paska wawancara adalah sikap salah satu
pewawancara yang membuatku berpikir bahwa dia kurang fair padaku dalam memerankan diri
sebagai pewawancara. Idealnya, wawancara adalah sesi dimana pewawancara
mengorek habis isi kepala, track reccord dan rencana masa depan yang dimiliki
oleh orang yang diwawancarai. Namun, wawancara itu aku rasa laksana sebuah
ceramah, yang aku mau ndak mau harus mendengarkannya. Di situ
kelemahan-kelemahan ku dikupas habis, seolah tidak ada sisi kelebihanku yang
layak untuk ia tanyakan lebih dalam. Sesekali dia persilakan aku untuk memberikan argumentasi, namun dengan nada retoris, seperti tidak membutuhkan jawabanku sama sekali, dan hanya ingin aku mengiyakan apa yang dikatakannya. Pernyataan-pernyataannya cukup judgmental. Itu yang membuatku makin kurang nyaman. Meski demikian, aku berusaha bersikap proporsional, menerima situasi dan menunjukkan ekspresi sungguh-sungguh emndengarkan apa yang dikatakan pewawancara tersebut. Ada situasi dilematis pada saat itu,
antara bersikap “nurut” dengan mengiyakan semua yang disampaikan oleh
pewawancara, atau menyampaikan konter argument untuk mematahkan klaim yang
disampaikan oleh si pewawancara. Berjkali-kali muncul dalam pikiranku, sepatah pesan
yang disamnpaikan oleh temanku sebelumnya, bahwa aku harus stay humble. Stay
humble ini yang menimbulkan interpretasi makna yang bias, menruutku. Ukuran
humble yang proporsional dalam menghadapi tekanan seperti saat wawancaraku itu seperti
apa, I have no clue.
Tes wawancara atau yang disebut sebagai seleksi substansi
ini merupakan bagian dari rangkaian seleksi beasiswa LPDP, yang terdiri dari wawancara
1 dan wawancara 2. Wawancara 1 kurang lebih berisi topic seputar akademis dan
psikologi, dengan tiga pewawancara. Sementara wawancara 2 yang hanya digawangi
oleh seorang pewawancara akan menguji wawasan kebangsaan peserta wawancara. Sejatinya,
aku sudah sangat siap secara mental menghadapi sesi wawancara ini, karena
pengalaman dan latihan yang sudah aku jalani selama ini. Pengalaman menjalani
tes wawancara di berbagai program membuatku yakin bahwa wawancara adalah sesi
yang aku bakal paling optimis menghadapinya, hingga aku mendapati situasi yang
membuatku berpikir sebaliknya.
Jika mengingat bagaimana proses wawancara 1 yang aku
jalani, aku merasa tidak bisa 100% yakin akan hasil positif nanti. Aku berharap
keajaiban Alloh muncul,, sebagaimana aku selalu meyakini bahwa dalam setiap
upaya, seringkali ada Invisible hand
yang menciptakan situasi yang miraculous.
Satu hal yang bikin aku baper berat dalam menunggu hasil seleksi substansi ini
adalah bayangan andai aku gagal. Aku membayangkan betapa patah hatinya aku
andai gagal, mengingat proses yang telah aku lalui. Mungkin ini adalah ujian
keikhlasan, sekaligus pelajaran bahwa semaksimal apapun upaya yang kitalakukan,
tetap harus sadar diri bahwa ada kekuatan lain yang lebih memiliki kuasa untuk
menentukan keadaan. Pendaftara beasiswa yang kulakukan kali ini bukan minim
persiapan. Ada serangkaian proses penuh drama di dalamnya. Apalagi aku melamar
beasiswa melalui jalur Targetted Group ASN.
Konsekuensinya, tentu banyak. Di antaranya adalah keharusan mengurus berkas-berkas
administratif birokratis yang laborious
banget.
Drama pertama adalah saat aku menjalani tes IELTS. Entah
kenapa aku salah menuliskan jawaban essay writing di lembar yang bukan
semestinya. Essay writing 1 aku tulis di lembar jawab yang seharusnya untuk
essay writing 2. Dan aku menyadarinya setelah hanya tinggal beberapa menit waktu
yang tersedia. Sementara itu, tidak ada lembar kerja pengganti, sehingga aku
harus menghapus semua tulisan dan menulis ulang di lembar kerja yang
semestinya. Jangan tanya seperti apa aku melakukannya, karena rasa gugup
bercampur kekhawatiran habisnya waktu membuat aku menulis tanpa pikir panjang. Sekenanya
saja aku menulis, karena tidak cukup waktu untuk mengingat semua poin yang aku
tuliskan sebelumnya. Meski demikian, Alhamdulillah masih dapet band score yang
lumayan, meski skor writing menjadi yang paling rendah di antara skill yang
diuji lainnya.
Drama kedua adalah menguru surat ijin kepala Dinas Pendidikan
Provinsi dan surat Rekomendasi Kepala Badan Kepegawaian Daerah. Bukan semata factor
jarak yang berimplikasi pada banyaknya biaya yang harus aku keluarkan,
mengingat itu semua harus diurus di ibukota provinsiku yang jaraknya sekitar 200km
dari kampungku, dan memerlukan waktu tempuh yang lumayan lama. Ada kesalahan
teknis yang mengaruskanku bolak-balik untuk mengurus surat tersebut. Sangat
lega rasanya setelah surat tersebut jadi.
Meski sudah cukup berpengalaman dalam menghadapi
wawancara, namun aku tidak serta merta menggampangkannya/ meremehkannya. Aku
tetap maksimalkan ikhtiar agar kelak aku punya alasan untuk Tuhanku
memberhasilkanku. Aku ikuti berbagai grup telegram dan whatsapp tentang
persiapan seleksi substansi. Aku latih kemampuan retorikaku agar semakin lancar
saat menjawab berbagai pertanyaan wawancara. Aku baca buku-buku dan
artikel-artikel yang relevan dengan materi yang akan dipertanyakan saat
wawancara. Aku pelajari ringkasan 100 pertanyaan yang sering muncul dalam
wawancara beasiswa LPDP, yang dibagikan oleh seorang teman. Bahkan sebagai
tambahan, biar maksimal, aku googling sendiri berbagai pertanyaan seputar
wawancara yang aku dapatkan dari berbagai sumber. Aku berkonsultasi dengan
beberapa dosen/professor yang mengajar di kampus yang hendak aku jadikan tempat
studi. Aku juga berkonsultasi dengan beberapa teman yang sudah memperoleh
beasiswa tersebut. Aku tanyakan secara detail hal-hal yang aku rasa sangat
penting. Bahkan ada seorang teman yang bilang bahwa aku terlalu detil dalam
menyiapkan diri menghadapi tes wawancara ini. Kurang apa aku ini?
Memang, aku belum memiliki Letter of Acceptance (LoA). Namun aturan beasiswa LPDP membolehkan
siapapun yang belum memiliki surat tersebut untuk mengikuti seleksi beasiswa.
Selesai wawancara, aku diskusi dengan beberapa teman di grup telegram tentang
pertanyaan apa yang masing-masing dari kami dapatkan. Dan gilaa, aku merasa
pertanyaan-pertanyaan wawancara yang mereka dapatkan enak-enak banget. Ndak
susah-susah amat. Seputar rencana studi, kontribusi apa yang telah sedang dan
akan dilakukan, dan diulik apa yang menjadi kelebihan mereka. Lha aku? Seolah
pengalaman berorganisasiku yang seabreg, pengalaman mengikuti program
pengembangan diriku baik dalam negeri maupun luar negeri yang aku kira akan
sangat mendukung dan memperkuat keyakinan pewawancara akan kelayakanku
memperoleh beasiswa tersebut, kontribusiku yang sudah, sedang dan akan aku
lakukan, seolah tiada makna dan tak layak untuk diulik barang sedikit saja.
Diganti dengan bahas tuntas kekuranganku berupa bahwa aku belum memiliki
artikel yang dipublikasi di jurnal internasional yang terindeks scorpus. Saat
ditanya tentang publikasi, aku coba menawarkan diri untuk menunjukkan buku
karyaku berupa English Textbook yang sudah cetak, namun ditolak. “Ndak perlu”,
kata si pewawancara. Yang jelas aku harus membuktikan sesuatu yang aku memang belum
punya. Andai semua peserta wawancara diminta hal yang sama, untuk menunjukkan
publikasi ilmiah emreka di jurnal internasional yangt erikdeks scorpus, mungkin
aku akan emrasa lega, dan menilainya fair. Masalahnya, aku tanya teman-teman,
sangat sangat jarang yang ditanya publikasi ilmiah untuk mereka yang mengambil
program master’s Degree.
Jujur, aku sangat iri dengan teman-teman peserta seleksi beasiswa tahap sebelumnya yang sharing bahwa mereka mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang menurutku relatif mudah, dan akhirnya mereka lolos. Rasa hati makin ga karuan saat ada teman yang bilang bahwa dia sebenarnya ikut seleksi beasiswa ini coba-coba saja, dan tanpa persiapan yang begitu maksimal. Namun mereka akhirnya mendapatkan beasiswa tersebut. Di tulisan ini, aku tidak sedang menyalahkan siapa-siapa.
Aku hanya sedang mencurahkan isi hati, bahwa situasi seperti ini kebetulan
terjadi padaku. Tentu ada pelajaran berharga yang bisa dipetik oleh banyak
orang, bahwa kadang betapapun siapnya kita dalam berusaha, situasi-situasi tak
terduga yang membuat kita berpikir bahwa itu kurang fair bisa terjadi. Aku
menganggapnya sebagai sebuah ujian keikhlasan. Dalam kenyataan hidup, rumus
matematika tidak selamanya berlaku. Logikanya, orang dengan persiapan maksimal
akan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Namun ternyata tiada jaminan akan
hal tersebut, karena mau tidak mau ada kekuatan lain yang memiliki kuasa untuk
membuat scenario atas jalannya hidup kita.
Aku pasrahkan semuanya kepada Alloh SWT.
Apapun nanti hasilnya, harus aku sikapi dengan positif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar