Minggu, 22 Desember 2019

The Invisible Hand is Real



Pengalaman seleksi wawancara  beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) kemarin adalah momen ketika aku merasa sangat pesimis. Betapa tidak, selama wawancara 1 berlangsung, aku merasa dihajar habis-habisan oleh sasatu pewawancara yang sepetinya memang berperan sebagai “bad cop”. Segala kekuranganku “dicari-cari”, sementara hal-hal yang menurutku menjadi kelebihanku tidak diulik sedikit pun. Sempat ada sedikit frustasi, namun untungnya aku bisa mengendalikan diri. Teringat pesan dasi seorang sahabat yang sudah jadi awardee beasiswa LPDP bahwa “I gotta stay cool, relax, self-controled, and humble”. Oiya, LPDP adalah platform beasiswa yang memiliki dua tahap wawancara. Ada wawancara 1 yang berisi seputar akademik, psikologi dan kualitas diri si pelamar. Ada wawancara 2 yang berisi tentang wawasan kebangsaan.

Selesai wawancara 1, aku sempat bertanya pada teman yang sama-sama selesai melakoni wawancara 1. Dia tidak mendapatkan pengalaman yang sama sebagaimana yang aku punya. Pertanyaannya lancar-lancar saja, sesuai ekspektasi. Tidak ada sesi dimana dia dikuliti. Hanya ditanya seputar kontribusi yang sudah sedang dan akan dijalani di bidang yang dia geluti, serta ditanya pula rencana riset yang jawabannya sudah dia kuasai. Sempat ada rasa bahwa aku mengalami hal yang tidak adil. “It should have been a matter of luck that every interviewee faced different type of interviewer”, as I said to myself. Sempat berpikir pula bahwa itu adalah anti-klimaks dari serangkaian perjuanganku mendapatkan beasiswa tersebut. Perjuangan yang aku rasa sangat “laborious”, yang dipenuhi banyak drama di tiap fasenya.

Hal yang bikin aku merasa lega adalah saat aku curahkan ke teman yang juga melamar beasiswa tersebut dan telah selesai mengikuti seleksi wawancara. Ternyata dia juga mengalami hal yang sama. Dalam hati aku berpikir bahwa itu hanyalah ujian mental, tentang bagaimana aku mendhadapi situasi penuh tekanan dalam diskusi. Apakah aku bisa mengendalikan diri atau tidak. Bila mengingat bagaimana aku bisa mengendalikan diri, spirit optimisme ku muncul. Namun rasa pesimisku sudah terlanjur mendominasi pikiranku. Mungkin ini belum akan menjadi rejekiku, batinku berkata.

Aku sempat merasa curiga, apakah “kesialan” tersebut disebabkan karena ibuku tidak mendoakanku. Selesai wawancara 1, sembari menunggu kesempatan dipanggil untukmenjalani wawancara 2, aku telpon ibuku. Aku bertanya pada ibuku apakah beliau lupa untuk mendoakanku agar lancer dalam menjalani seleksi wawancara tersebut. Ibuku kaget, mendapatkan pertanyaan seperti itu. Beliau mencoba meyakinkan bahwa beliau sudah berdoa agar Tuhan berkenan memudahkanku meraih impianku menjadi awardee beasiswa tersebut. Belakangan ku ketahui bahwa selesai menerima telpon dariku, ibuku langsung bergegas melakukan sholat dhuha, dan berdoa secara khusus untuk kelancaran proses wawancaraku. Seperti biasa, aku selalu melibatkan orangtuaku, terutama ibuku, untuk mendoakan keberhasilanku di tiap momen penting seperti itu. Dan, Alhamdulillah, seringkali aku mendapatkan hasil yang kuinginkan.

Sebagai orang yang beragama, aku sangat percaya akan adanya tangan tuhan (invisible hand). Aku juga percaya bahwa melibatkan orang-orang tercinta untuk mewujudkan hajatku akan memperbesar kemungkinan untuk berhasil. Barangkali berhasilnya kita bukan karena doa kita, melainkan doa orang-orang tercinta. Begitulah yakinku. Keyakinan seperti itu sulit dirasakan oleh orang yang agnostik, atau apriori terhadap eksistensi Tuhan.

Masa penantian pengumuman adalah masa yang sangat mendebarkan, dan cukup menurunkan berat badanku. Nafsu makan jadi berkurang drastic, membayangkan kegagalan yang mungkin terjadi. Aku memang berpikir bahwa aku akan merasa terpukul andai aku gagal, mengingat serangkaian proses yang telah aku jalani. Drama saat tes IELTS, melelahkannya mengurus surat ijin dinas yang mengharuskanku bolak-balik ke ibukota provinsi yang jaraknya relatif sangat jauh. Meyakinkan kepala sekolah untuk memberikan ijin mengikuti seleksi. Mengikuti kursus online berbayar untuk persiapan seleksi berbasis computer. Membeli berbagai buku super tebal untuk memperkaya wawasan kebangsaan dan menyempatkan diri membacanya di tengah kesibukanku mengikuti kegiatan Program Profesi Guru yang berlangsung hampir enam bulan. Konsultasi dengan banyak orang pun aku lakukan, agar maksimal dalam mempersiapkan diri menjalani proses seleksi beasiswa ini. Termasuk mengikuti seminar tentang strategi menaklukkan beasiswa yang diselenggarakan di Jakarta, dimana perjalanan menuju ke sana diliputi drama dipindahkannya penumpang bus sebanyak dua kali, karena dua bus yang kami kendarai mogok. Tega banget rasanya semesta ini andai aku gagal dalam seleksi beasiswa ini.

Hingga waktu pengumuman tiba, aku masih bergelut dengan rasa pesimis. Ada bunyi notifikasi Whatsapp, “klunting”. Aku buka, ternyata WAG yang isinya para peserta seleksi beasiswa sedang ramai membicarakan perihal pengumuman. Aku deg-degan luar biasa. Meski demikian, kuberanikan diri membuka akunku. Aku log in, lalu ku klik menu “status”. Tidak aku baca isi pengumuman secara detil. Aku sempat ingat perkataan seorang teman bahwa jika dinyatakan lulus, maka tulisannya akan hitam semua. Sementara jika tidak lulus, makan kalimat yang berisi pengumuman akan berwarna merah. Aku lirik perlahan, dan tulisannya hitam. Lirikanku persis seperti orang yang nonton film horror yang membuka mata sedikit demi sedikit sambil harap-harap cemas jikalau adegannya menakutkan. Aku coba membaca kalimat secara lengkap. Daan..surprisingly, aku lihat kalimat “SELAMAT ANDA LULUS SELEKSI SUBSTANSI”. Rasanya “ambyaaarrr”. Aku teriak Alhamdulillah begitu kencang, hingga membuat semua keluargaku yang ada dalam mobil kaget dan bertanya apa yang terjadi. Kebetulan, waktu itu kami sekeluarga dalam perjalanan menuju mencari durian. Sangkin senengnya, aku bilang sama mereka, “ silakan makan durian sepuasnya, karena hari ini aku lagi seneng. Aku yang bayar”. Hahaa..ndak penting sih bagian ini. Yang jelas aku sangat senang, padahal tahapan-tahapan lainya masih menanti untuk dilalui. Perjuangan belum berakhir. Namun,setidaknya aku senang, setelah berhari-hari berkutat pada ketidakpastian.

Setidaknya, ada tiga pelajaran berharga yang aku dapatkan. Yang pertama, kita harus selalu berpikir positif terhadap Tuhan. Logika manusia tak selalu sejalan dengan kehendak Tuhan. Kita mungkin berpikir secara logis matematis bahwa kita gagal, karena pengalaman mendukung logika berpikir seperti itu. Namun, Tuhan punya kuasa untuk menciptakan keadaan. Yang kedua, aku semakin yakin akan adanya “Invisible hand”. Barangkali bukan do’aku yang nyampai ke Tuhan, melainkan doa orang-orang tercintaku, terutama Ibuku. Hingga detik ini aku makin percaya pada prinsip “usaha tidak akan menghianati hasil”, dan “man jadda wa jada”. Tidak ada kebetulan dalam hidup. Tidak ada keberuntungan gratis dalam hidup. Keberuntungan merupakan hasil dari kesiapan maksimal dan kesempatan. Orang boleh tidak setuju dengan pemikiran tersebut, tapi itu yang aku yakini.

Alhamdulillah.

Thanks to Alloh SWT!
Thanks to LPDP!
Thanks to my family and all my supporting friends!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar