Pengalaman seleksi wawancara beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana
Pendidikan) kemarin adalah momen ketika aku merasa sangat pesimis. Betapa
tidak, selama wawancara 1 berlangsung, aku merasa dihajar habis-habisan oleh sasatu
pewawancara yang sepetinya memang berperan sebagai “bad cop”. Segala kekuranganku “dicari-cari”,
sementara hal-hal yang menurutku menjadi kelebihanku tidak diulik sedikit pun. Sempat ada sedikit
frustasi, namun untungnya aku bisa mengendalikan diri. Teringat pesan dasi
seorang sahabat yang sudah jadi awardee beasiswa LPDP bahwa “I gotta stay cool,
relax, self-controled, and humble”. Oiya, LPDP adalah platform beasiswa yang memiliki dua
tahap wawancara. Ada wawancara 1 yang berisi seputar akademik, psikologi dan kualitas
diri si pelamar. Ada wawancara 2 yang berisi tentang wawasan kebangsaan.
Selesai wawancara 1,
aku sempat bertanya pada teman yang sama-sama selesai melakoni wawancara 1. Dia
tidak mendapatkan pengalaman yang sama sebagaimana yang aku punya.
Pertanyaannya lancar-lancar saja, sesuai ekspektasi. Tidak ada sesi dimana dia
dikuliti. Hanya ditanya seputar kontribusi yang sudah sedang dan akan dijalani
di bidang yang dia geluti, serta ditanya pula rencana riset yang jawabannya
sudah dia kuasai. Sempat ada rasa bahwa aku mengalami hal yang tidak adil. “It should have been a matter of luck that
every interviewee faced different type of interviewer”, as I said to
myself. Sempat berpikir pula bahwa itu adalah anti-klimaks dari serangkaian
perjuanganku mendapatkan beasiswa tersebut. Perjuangan yang aku rasa sangat “laborious”,
yang dipenuhi banyak drama di tiap fasenya.
Hal yang bikin aku
merasa lega adalah saat aku curahkan ke teman yang juga melamar beasiswa
tersebut dan telah selesai mengikuti seleksi wawancara. Ternyata dia juga mengalami
hal yang sama. Dalam hati aku berpikir bahwa itu hanyalah ujian mental, tentang
bagaimana aku mendhadapi situasi penuh tekanan dalam diskusi. Apakah aku bisa
mengendalikan diri atau tidak. Bila mengingat bagaimana aku bisa mengendalikan
diri, spirit optimisme ku muncul. Namun rasa pesimisku sudah terlanjur
mendominasi pikiranku. Mungkin ini belum akan menjadi rejekiku, batinku
berkata.
Aku sempat merasa
curiga, apakah “kesialan” tersebut disebabkan karena ibuku tidak mendoakanku.
Selesai wawancara 1, sembari menunggu kesempatan dipanggil untukmenjalani
wawancara 2, aku telpon ibuku. Aku bertanya pada ibuku apakah beliau lupa untuk
mendoakanku agar lancer dalam menjalani seleksi wawancara tersebut. Ibuku
kaget, mendapatkan pertanyaan seperti itu. Beliau mencoba meyakinkan bahwa
beliau sudah berdoa agar Tuhan berkenan memudahkanku meraih impianku menjadi
awardee beasiswa tersebut. Belakangan ku ketahui bahwa selesai menerima telpon
dariku, ibuku langsung bergegas melakukan sholat dhuha, dan berdoa secara
khusus untuk kelancaran proses wawancaraku. Seperti biasa, aku selalu
melibatkan orangtuaku, terutama ibuku, untuk mendoakan keberhasilanku di tiap
momen penting seperti itu. Dan, Alhamdulillah, seringkali aku mendapatkan hasil
yang kuinginkan.
Sebagai orang yang
beragama, aku sangat percaya akan adanya tangan tuhan (invisible hand). Aku
juga percaya bahwa melibatkan orang-orang tercinta untuk mewujudkan hajatku akan
memperbesar kemungkinan untuk berhasil. Barangkali berhasilnya kita bukan
karena doa kita, melainkan doa orang-orang tercinta. Begitulah yakinku. Keyakinan
seperti itu sulit dirasakan oleh orang yang agnostik, atau apriori terhadap
eksistensi Tuhan.
Masa penantian
pengumuman adalah masa yang sangat mendebarkan, dan cukup menurunkan berat
badanku. Nafsu makan jadi berkurang drastic, membayangkan kegagalan yang mungkin
terjadi. Aku memang berpikir bahwa aku akan merasa terpukul andai aku gagal,
mengingat serangkaian proses yang telah aku jalani. Drama saat tes IELTS,
melelahkannya mengurus surat ijin dinas yang mengharuskanku bolak-balik ke
ibukota provinsi yang jaraknya relatif sangat jauh. Meyakinkan kepala sekolah
untuk memberikan ijin mengikuti seleksi. Mengikuti kursus online berbayar untuk
persiapan seleksi berbasis computer. Membeli berbagai buku super tebal untuk
memperkaya wawasan kebangsaan dan menyempatkan diri membacanya di tengah
kesibukanku mengikuti kegiatan Program Profesi Guru yang berlangsung hampir enam
bulan. Konsultasi dengan banyak orang pun aku lakukan, agar maksimal dalam
mempersiapkan diri menjalani proses seleksi beasiswa ini. Termasuk mengikuti
seminar tentang strategi menaklukkan beasiswa yang diselenggarakan di Jakarta,
dimana perjalanan menuju ke sana diliputi drama dipindahkannya penumpang bus
sebanyak dua kali, karena dua bus yang kami kendarai mogok. Tega banget rasanya
semesta ini andai aku gagal dalam seleksi beasiswa ini.
Hingga waktu
pengumuman tiba, aku masih bergelut dengan rasa pesimis. Ada bunyi notifikasi
Whatsapp, “klunting”. Aku buka, ternyata WAG yang isinya para peserta seleksi
beasiswa sedang ramai membicarakan perihal pengumuman. Aku deg-degan luar
biasa. Meski demikian, kuberanikan diri membuka akunku. Aku log in, lalu ku
klik menu “status”. Tidak aku baca isi pengumuman secara detil. Aku sempat
ingat perkataan seorang teman bahwa jika dinyatakan lulus, maka tulisannya akan
hitam semua. Sementara jika tidak lulus, makan kalimat yang berisi pengumuman
akan berwarna merah. Aku lirik perlahan, dan tulisannya hitam. Lirikanku persis
seperti orang yang nonton film horror yang membuka mata sedikit demi sedikit
sambil harap-harap cemas jikalau adegannya menakutkan. Aku coba membaca kalimat
secara lengkap. Daan..surprisingly, aku lihat kalimat “SELAMAT ANDA LULUS SELEKSI
SUBSTANSI”. Rasanya “ambyaaarrr”. Aku teriak Alhamdulillah begitu kencang,
hingga membuat semua keluargaku yang ada dalam mobil kaget dan bertanya apa
yang terjadi. Kebetulan, waktu itu kami sekeluarga dalam perjalanan menuju
mencari durian. Sangkin senengnya, aku bilang sama mereka, “ silakan makan durian
sepuasnya, karena hari ini aku lagi seneng. Aku yang bayar”. Hahaa..ndak
penting sih bagian ini. Yang jelas aku sangat senang, padahal tahapan-tahapan
lainya masih menanti untuk dilalui. Perjuangan belum berakhir. Namun,setidaknya
aku senang, setelah berhari-hari berkutat pada ketidakpastian.
Setidaknya, ada tiga pelajaran
berharga yang aku dapatkan. Yang pertama, kita harus selalu berpikir positif
terhadap Tuhan. Logika manusia tak selalu sejalan dengan kehendak Tuhan. Kita mungkin
berpikir secara logis matematis bahwa kita gagal, karena pengalaman mendukung
logika berpikir seperti itu. Namun, Tuhan punya kuasa untuk menciptakan
keadaan. Yang kedua, aku semakin yakin akan adanya “Invisible hand”. Barangkali
bukan do’aku yang nyampai ke Tuhan, melainkan doa orang-orang tercintaku,
terutama Ibuku. Hingga detik ini aku makin percaya pada prinsip “usaha tidak
akan menghianati hasil”, dan “man jadda wa jada”. Tidak ada kebetulan dalam
hidup. Tidak ada keberuntungan gratis dalam hidup. Keberuntungan merupakan
hasil dari kesiapan maksimal dan kesempatan. Orang boleh tidak setuju dengan
pemikiran tersebut, tapi itu yang aku yakini.
Alhamdulillah.
Thanks to Alloh SWT!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar