Senin, 06 Februari 2017

Mendidik untuk membesarkan Kapasitas Pikiran

Sudah lama saya bergelut dengan dunia pendidikan. Semakin saya jalani, semakin saya memahami betapa nuansa pendidikan terasa seolah menjadi dunia tersendiri lepas dari kehidupan nyata. Maksudnya begini, semua pasti sepakat bahwa tujuan pendidikan untuk membentuk pribadi yang siap menghadapi tantangan kehidupan. Di sana ada domain kepribadian, ada domain pikiran/kognisi berupa kecerdasan, ada domain keterampilan (hard skill). Tapi sayangnya pendidikan di sekolah-sekolah formal terasa kurang memiliki link and match dengan kehidupan nyata. Hampir bisa dikatakan kurang ada korelasi antara kecakapan peserta didik dengan kemampuan mereka dalam menghadapi tantangan kehidupan paska sekolah. Buktinya banyak. Ada begitu banyak peserta didik yang minim prestasi ketika belajar di lembaga formal, namun bisa menjadi pribadi yang luar biasa berprestasi dan mampu memberikan kebermanfaatan yang banyak (sukses) di kehidupan paska sekolah. Sementara, banyak banyak yang berprestasi ketika mengenyam pendidikan di sekolah, namun tak bisa survive dalam menghadapi tantangan kehidupan paska sekolah, dengan menjadi pengangguran, misalnya.

Tulisan ini sama sekali bukan tentang kampanye negatif atas pendidikan formal (sekolah). Namun sebuah kritik, sekaligus kritik diri, karena saya juga merupakan bagian dari pendidikan formal (guru). Ini adalah sebuah tulisan mengenai curhatan yang barangkali getir untuk dibaca. Tapi saya mengatakan apa adanya. Ada bahan evaluasi yang ketika dibuka mungkin membuat sebagian kalangan mengernyitkan dahi. Ingin membantah suatu hal tapi itu nyata. Saya memiliki banyak cerita untuk disampaikan, untuk membuktikan bahwa seringkali tidak ada link and match antara sekolah dengan kesiapan peserta didik dalam menghadapi kehidupan mandiri. Namun, cukup beberapa saja saya sampaikan di sini. 

Saya memiliki seorang teman yang kisah hidupnya hingga sekarang cukup memberikan saya pelajaran mengenai hidup yang luar biasa. Sama sekali bukan siswa beprestasi di sekolah, namun di kehidupannya saat dewasa dia mampu menjadi orang yang bermanfaat bagi banyak orang, mampu mempekerjakan banyak orang melalui kiprahnya sebagai pengusaha. Ada juga seorang murid yang sama sekali tak memiliki prestasi akademis namun ketika lulus sekolah dia bisa hidup mandiri, berkecukupan dan bisa memberdayakan banyak orang. Bukan tentang sisi entrepreneurship yang saya tekankan di sini. Melainkan tentang kemampuan melakukan hal besar (yang tak semua orang mampu melakukanya) dan bermanfaat bagi orang banyak. Itu yang membuat saya kagum. Sementara, tidak sedikit orang, baik teman-teman sekolah maupun mantan murid saya, yang berprestasi gemilang di sekolah, namun jangankan mampu memberdayakan sesama, berusaha untuk memandirikan diri saja tak bisa. Ada kisah miris seorang yang ketika sekolah sering juara kelas, bahkan ranking satu di angkatannya. Namun hingga tulisan ini dibuat, dia masih berstatus sebagai seorang wiyata bakti dengan penghasilan yang relatif jauh dari kata cukup. ‘’Ah..jangan mengukur segala sesuatu dengan penghasilan/uang. Barangkali orang tersebut bahagia dengan kehidupannya’’ Boleh lah berkata demikian. Namun kita pasti merasa miris membayangkan bagaimana kehidupan orang yang hingga usia dewasa tidak mampu menjawab tantangan kehidupan secara gemilang, padahal dia termasuk orang yang ‘berprestasi’ ketika berada di lembaga pendidikan yang notabenenya menggemblengnya menjadi pribadi yang siap dengan tantangan zaman. 

Saya jadi berpikir bahwa ada sesuatu yang barangkali sangat penting namun alpa untuk disampaikan/diajarkan di sekolah. Hal tersebut adalah kapasitas pikiran. Ya, kapasitas pikiran. Orang-orang yang mampu meraih kesuksesan besar serta mampu memberikan kebermanfaatan yang besar bagi sesama pada umumnya memiliki kapasitas pikiran yang besar. Mereka memiliki pikiran ‘mampu melakukan hal besar’. Darimana dan bagaimana pikiran tersebut didapat? Nah, ini yang menjadi titik renungan tentang pendidikan. Dalam dunia pendidikan formal (sekolah), ada domain kognisi. Peserta didik dididik untuk terasah intelektualitasnya. Hanya saja, pendekatan yang digunakan kurang (tidak) berpengaruh terhadap membesarnya kapasitas pikiran. Peserta didik perlu dididik untuk memiliki keyakinan bahwa mereka MEMILIKI KEMAMPUAN (self-esteem) dalam setiap menghadapi segala situasi. Bagaimana caranya? apakah semudah dengan menyebutkan kata-kata mutiara seperti ‘if you think you can, then you can’? Kemudian serta merta mereka akan berubah menjadi pribadi yang memiliki self-esteem yang tinggi? Ternyata tidak begitu adanya. Butuh proses yang lebih dari sekedar kata-kata. 

Proses menumbuhkan keyakinan MAMPU (self-esteem) perlu dilakukan melalui proses yang berkesinambungan dan terintegrasi dalam segala kegiatan di lingkungan pendidikan. Peserta didik perlu diyakinkan bahwa mereka memiliki kemampuan. Itu sangat penting. Keyakinan tersebut akan sangat berguna bagi mereka dalam menghadapi tantangan kehidupan di kemudian hari. Saya kadang berpikir, jangan-jangan justru penyelenggaraan pendidikan di sekolah justru membunuh self-esteem peserta didik. Kemudian saya meraba dan mengingat-ingat, barangkali memang ada kalanya justru pendidik adalah pihak yang seringkali menjadi penghambat/pembunuh semaian benih-benih self-esteem pada peserta didik. 

Pendidik perlu memahami ilmu psikologi dengan benar-benar paham. Psikologi tentang pembelajaran, dan psikologi tentang peserta didik. 


Tulisan ini bersambung………..




Tidak ada komentar:

Posting Komentar