Jumat, 20 Mei 2016

...Purple Days... (Novel Edition)


Aku sangat meyakini bahwa tak ada yang terjadi di dunia ini secara kebetulan. Semua hal terjadi by design, dan sang Pencipta lah yang mendesain semuanya. 
        
Aku tak menyangka hari itu akan menjadi momen yang sangat mendebarkan, yang mengaduk-aduk rasa ku, dan menjadikanku laksana makhluk lemah yang lunglai karena terbawa haru birunya suasana jiwa.
        
Pagi-pagi, di hotel tempat aku menginap, aku merias diri. Aku tampilkan diriku sebagai sosok yang berpenampilan menarik. Aku tata rambutku yang telah menyatu dengan minyak rambut tipe `super hard`. Aku kenakan kaos hitam kebanggaanku yang yang kuperoleh saat mengikuti shortcourse di University of Southern Queensland, setahun silam. Seolah hendak menemui seseorang yang istimewa, aku rapikan diriku. Padahal, waktu itu tujuanku adalah menyusuri berbagai tempat di Tokyo, sebagai bagian dari liburan Goolden Week selama 5 hari. Sama sekali tak ada agenda untuk menemui seseorang. Aku merasa seperti `dipersiapkan` untuk menghadapi sebuah momen tertentu. Itu yang aku maksud dengan by design. 

Pukul 11 siang aku check-out dari hotel dan berjalan menuju area makanan halal, Ameyayokocho, yang terletak di sebelah selatan Ueno Station, Tokyo. Senang rasanya bakal mendapati menu halal dengan rasa yang nikmat. Dari sekian banyak kedai menu halal yang ada, yang kebanyakan dimiliki oleh muslim pendatang dari Turki, pakistan, dan Banglades, pilihanku jatuh pada kedai nasi ayam yang bernama Chicken Man. Ku pesan seporsi nasi ayam seharga 600yen. Aku santap begitu lahapnya, hingga seporsi makanan memenuhi rongga lambungku. 

Dan cerita pun dimulai

Tiba-tiba datanglah dia. Gadis yang entah siapa namanya duduk dan memesan nasi ayam dengan porsi yang cukup besar, menurutku, untuk ukuran seorang gadis. Awalnya tak terbersit untuk menyapa, dan mencoba bersikap layaknya sesama pelanggan yang menikmati hidangan di restoran atau kedai yang tak kenal satu sama lain. Wajahnya melayu, dan itu yang membuatku menyangka bahwa dia masih satu ras/bangsa dengan ku. Dugaanku, dia adalah anak Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Jepang. Hati seolah tergerak untuk menyapa, mencoba memenuhi tuntunan adat ketimuranku untuk mulai menyapa sesama, terlebih dengan orang sebangsa yang bersua di negeri orang. Ku sapa dia bukan dengan bertanya nama, melainkan menebak darimana dia berasal.
`` dari Indonesia?, tanyaku.
``Saye dari Malaysia``, jawabnya.

Percakapan pun dimulai, hingga berlangsung sekitar 30 menit. Ternyata dia sedang berada di Jepang dalam rangka menjadi guide bagi orang-orang malaysia yang melancong ke Jepang. Cukup lama dia berada di Jepang, menjalankan pekerjaan yang sepertinya sangat menyenangkan. Siapa yang tak senang bila mendapat pekerjaan yang sejalan dengan hobi traveling. 30 menit terasa begitu singkat. Aku seperti kena candu. Candu untuk berbicara banyak dengan dia. Itu terjadi begitu alami. Hari sudah siang. Waktu menunjukkan pukul 11.30. Aku coba menawarkan untuk mengajak dia dan rombongan yang dia bawa untuk melaksanakan sholat dhuhur di masjid Assalam, yang bisa dicapai dengan berjalan kaki selama 15 menit dari tempat kami makan. Kami pun melaksanakan sholat di sana.

Selesai sholat, kami harus berpisah, karena kami memiliki agenda yang berbeda. Aku ada jadwal untuk pergi ke Tokyo Institute of Technology, untuk mengikuti seminar pendidikan yang dihadiri oleh beberapa tokoh pendidikan indonesia yang menjadi pembicara, salah satunya adalah mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan Repubik Indonesia, Muhamad Nuh. Sedangkan mereka harus melanjutkan perjalanan untuk mengunjungi tempat-tempat menarik di Tokyo. Beruntung sekali, aku sempat mendapatkan nomor telponnya. Sehingga, aku bisa melanjutkan komunikasi dengannya setelahnya. 

Seperti apakah dia?

Sungguh ini akan menjadi kisah yang mungkin tak akan lekang waktu dalam hidupku. Betapa tidak, kisahnya unik dan kadang membuatku tak percaya bahwa itu terjadi. 
Aku suka mendengarkan musik. Salah satu lagu yang cukup sering aku dengarkan dan dendangkan di kala sempat adalah lagu dangdut berjudul `` Gadis Malaysia``, yang dipopulerkan oleh Yus Yunus. Bunyi lirik lagu tersebut yaitu, 

``Baru pertama aku melihat gadis secantik kamu
Berparas melati disanggul jelita….
Nur Azizah… Nur Azizah…..
Gadis malaysia memakai kebaya panjang
Berselendang sutra ungu Hatiku tergoda
Boleh-boleh tak boleh, wajah adik ku pandang
Boleh-boleh tak boleh, aku jatuh cinta
Nur Azizah… Nur Azizah…..
Jangan malu, berikan kepadaku… madu-madu asmara
Semakin kupandang semakin haus pula cintaku
Tutur sapa… tutur sapa dan Bahasa
Menyentuh telingaku bagaikan serunai syahdu
Jawaban cintamu seakan-akan ku tak percaya…
Ku akan persembahkan sebuah rumah kecil
Berdinding bunga-bunga untuk kita berdua..
Boleh-boleh tak boleh wajah adikku pandang
Boleh-boleh tak boleh aku jatuh cinta``
Sepertinya, dalam hal ini, hukum ketertarikan benar-benar bekerja. Hukum ketertarikan/ law of attraction berbunyi, ``segala sesuatu yang kita fokuskan dan sering kita berinteraksi dengannya akan mewujud nyata dalam kehidupan kita, apapun itu``. Dan itu yang terjadi. 

Nama gadis itu adalah ``Azizah``. Dia memintaku memanggilnya ``Azii``. Hanya butuh tambahan ``Nur`` agar namanya sama persis dengan nama yang ada pada lirik lagu di atas, Nur Azizah. Dia berasal dari Malaysia. (haha..Ya Alloh, apa ini?). Dia punya postur tubuh yang tinggi, bahkan sepertinya hanya selisih kurang dari 10cm dari tinggi badanku. Dia sempat cerita bahwa dia menggeluti dunia modelling dan sering diminta menjadi model untuk brand busana muslimah di malaysia. 

Segala deskripsi sosok gadis yang ada pada lagu tersebut ada pada dia. HIngga sekarang pun aku belum berhenti takjub dengan hal ini. Seolah sedang membaca sebuah cerita fiksi, tapi ini nyata. Seorang gadis yang dideskripsikan dalam sebuah lagu yang sering aku dengar, hadir mewujud nyata dan aku jumpai dalam hidupku. 

Hari minggu, tanggal 8 Mei, hari terakhir liburanku di Tokyo. Ku perpagi kunjunganku ke Odaiba, sebuah kawasan di tokyo sebelah tenggara yang memiliki taman hijau berpadu dengan bangunan-bangunan modern, serta memiliki icon terkenal berupa patung Liberty dan Jembatan Pelangi. Tak banyak yang aku lakukan disana. Hanya menggugurkan kewajibanku untuk menyempatkan kesana, menggambil beberapa gambar indahnya taman, patung liberty, tepian laut, jembatan pelangi, dan beberapa spot yang nampak indah dalam jepretan kamera smartphone ku. Belakangan, aku merasa ada yang aneh. Tak ada satu pun foto selfie kulakukan di tempat itu, meski sudah kurencanakan. Padahal banyak sekali orang berbangga berfoto selfie ria dengan angle patung liberty dan Jembatan Pelangi dan mempostingnya di Media Sosial. 

Aku sengaja menyegerakan untuk menyudahi petualanganku di Odaiba, karena ada janjian untuk bertemu dan berwisata bersama mengunjungi beberapa tempat di Jepang. Dengan si dia, Azizah. Memang bagai gayung bersambut, ajakanku untuk jalan bersama diiyakan juga olehnya. Pukul 11 telah kami sepakati sebagai waktu untuk kami bertemu di Central Gate stasiun Shinjuku. Ada beberapa alternatif rute dari Odaiba menuju Stasiun Shinjuku. Namun aku mengambil rute paling cepat agar sesegera mungkin tiba disana dan mampu mendahuluinya. Tak ingin lama membuatnya menunggu ternyata menjadi motivasi kuat untuk aku berdisiplin dan datang ke tempat itu. Pukul 10 pagi aku tiba disana, dan benar, aku harus menunggu, karena waktu masih cukup panjang menuju pukul 11. 

Menunggunya menjadi momen yang cukup mendebarkan. Resah, gelisah, dan senang bercampur jadi satu. Senang karena akan punya kesempatan untuk kembali bersua dengannya. Resah karena kadang terbersit rasa ragu bahwa dia benar-benar mau menemuiku, karena kami baru sekali bertemu. Biasanya wanita mudah sekai curiga dengan pria, dan tak mudah percaya, apalagi untuk melakukan janji untuk bertemu. Namun, dia sepertinya punya ‘trust’ atasku, dan itu yang menjadikanku mengharuskan diri untuk memberikan kesan positif kala bertemu. Jam 11 sudah berlalu. Kucoba menghubunginya lewat FB Messenger dan whatssap, namun telat juga dia membalas. Ternyata dia masih di dalam hotel tempatnya menginap. Ada kesan tergesa-gesa dia menjawab pesanku. Sepertinya ia sedang bergegas menuju stasiun tempat kami akan bertemu. 

Dan kami pun bertemu. Bukan di Central gate seperti yang sudah kami sepakati, namun dia langsung masuk ke stasiun menuju Platform 2, mengambil Yamanote line. Kami memulai petualangan kami dengan pergi ke daerah Harajuku untuk mencari masjid dan berburu makanan halal disana. Cukup sulit ternyata untuk mencari masjid disana. Berbekal aplikasi google map, kami memulai pencarian. Ditunjukkan sebuah titik oleh google map dengan rute yang cukup jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki. Di sana kami akan menemukan masjid, menurut google map. Namun, setibanya di titik tersebut, kami tak dapati masjid, melainkan sebuah bangunan tinggi yang terlihat seperti apartemen. Barangkali, memang disitu lah letak masjid yang dimaksud, berlokasi si suatu lantai tertentu di bagian atas apartemen. kami tak masuk ke dalam gedung tersebut, dan beralih menuju pencarian restoran makanan halal. Kami yakin si pemilik restoran bakal tau masjid terdekat, atau bahkan memberi tumpangan untuk kami melaksanakan sholat dhuhur dan ashar.  

Sampailah kami di restoran makanan halal yang bernama Malay Chan. Itu adalah sebuah restoran yang menyediakan masakan khas malaysia, namun pemiliknya adalah orang Jepang. Aku terkejut, ternyata dia gemar masakan super pedas juga. Kami makan sambil berbincang-bincang perihal pekerjaan, hobi, kesibukan sehari-hari, pengalaman kuliah, cita-cita, dan sebagainya. Sempat aku belajar banyak kosakata melayu dari dia. Kami memang berasal dari negara yang masih satu rumpun. Namun, meski sama-sama menggunakan bahasa melayu, ada banyak perbedaan baik dalam penggunaan kosakata tertentu maupun dalam hal aksen. Hal tersebut lah yang menjadikanku berpikir bahwa andai boleh memilih, aku lebih memilih untuk bercakap dengannya dalam bahasa Inggris. Namun, sekali aku menawarkannya, dia memilih untuk tetap bercakap dalam bahasa yang dia pakai sehari-hari. Makan siang yang cukup lama, hingga waktu tiba untuk menunaikan sholat ashar. Pemilik kedai cukup berbaik hati menawarkan kami untuk melakukan ibadah sholat jamak dhuhur dan sholat ashar di lantai dua kedai tersebut. Kami berdua pun melaksanakan sholat berjamaah tersebut di ruang yang disediakan pemilik kedai. 

Makin lama berjalannya waktu, makin terlihat menonjol pesonanya. Ah…tiba-tiba aku berbicara tentang pesona. Aku suka sifat mandirinya, kedewasaan berpikirnya, dan segala karakternya. Ah… aku tak kuasa untuk berkhayal terlalu jauh. Andai sosok seperti Itu yang ku dapatkan sebagai ……… (parah nih! dah setengah waras. hahaha), bahagianya hati tentunya. 1.5 jam berlalu begitu singkat. Kami bergegas menuju tujuan kami selanjutnya, Shin-okuba. Sebuah tempat dimana ada Muslim Town dan Korea Town. Cukup jauh kami berjalan dari Malay Chan menuju stasiun Ikebukuro, karena kami tak tau persis dimana lokasinya, dan hanya mengandalkan google map sebagai petunjuk jalan. Sesekali aku berusaha mencairkan suasana dengan bercanda. Namun, seringkali gagal membuatnya tertawa, mungkin karena kendala bahasa. Sama-sama melayu, tapi beda. Hanya satu yang sempat membuatnya tertawa. Yaitu saat aku menanyakan berapa nilai geografinya dulu ketika sekolah di SMA. Dia bilang, tak `begitu bagus`. `pantas lah tak jua temukan stasiun meski pakai google map`, sahutku. `sini biar aku yang cari. Dulu nilaiku 90`, tambahku, dan dia pun tertawa. Senangnya bisa sukses membuatnya tertawa.

Tibalah kami di daerah shin-okuba, yang bisa dicapai dalam waktu 6 menit dengan kereta dari stasiun Ikebukuro. Kami berjalan menuju Muslim Town. Disana kami temukan beberapa kedai halal dengan aneka masakan. Ada kedai halal Masakan Indonesia, ada kebab Turki, kedai masakan malaysia, masakan Banglades, dan sebagainya. Tak ada masakan disana yang kami coba, karena perut masih terasa kenyang. Bersyukur kami sempat menemukan masjid disana. Sebuah masjid yang terletak di lantai 4 sebuah bangunan tinggi. Cukup untuk menampung jamaah 30 orang pria, untuk ruangan pria. Namun aku tak tau seberapa luas ruangan masjid untuk wanita. Selesai sholat kami bergegas menuju Korean District. kawasan ini lebih luas dibanding kawasan muslim yang kami kunjungi sebelumnya. Berbeda dengan kawasan muslim. Kawasan ini lebih didominasi oleh aneka produk kosmetik dan fashion. Namun ada pula restoran masakan khas korea. Kawasan ini cukup padat, hingga kami harus berjalan pelan menyusuri trotoar dan mengunjungi beberapa toko.

Selesai berkelana di area Shin-okuba, kami berjalan cukup jauh menuju Shinjuku Stastion. Dalam perjalanan, kami temukan sebuah taman bermain. Di sana ada ayunan. Dia mengajakku untuk mencoba ayunan tersebut. Ada beberapa ayunan, yang semuanya sedang dipakai. Dan anehnya, semua pemakainya adalah orang-orang dewasa, alih-alih dipakai oleh anak-anak. Di taman tersebut ada 3 ekor kucing yang sedang bermain dengan pemiliknya. Dia memintaku untuk bertanya kepada si pemilik kucing apakah dia boleh menyentuhnya dan mencoba bermain dengannya. Waah..ternyata dia penyayang kucing. Aku jadi teringat dengan sebuah teori psikologi, bahwa penyayang hewan mempunyai kecenderungan memiliki hati yang lembut dan baik. Makin terpesona aku olehnya. Kami menikmati duduk di ayunan sambil bercengkerama hingga seorang pria tua (penjaga taman bermain) berseru ke semua pengunjung bahwa taman hendak ditutup karena sudah sore. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju Shinjuku Station. 
I like this pics

Setibanya di shinjuku, dia mengantarku mencari terminal bus Shinjuku. Cukup lama kami mencari terminal bus karena area Shinjuku begitu luas, dan kami tak pernah kesana sebelumnya. Selang berapa lama, kami menemukan sebuah gedung 4 lantai yang ternyata itulah terminal bus yang kami cari. Bus yang akan aku naiki berada di lantai paling atas. Terminal tersebut sangat luas, dan terlihat begitu modern. Selesai menemukan tempat dimana bus yang akan kunaiki berada, kami menuju sebuah kedai makanan halal untuk makan malam. Kami memilih kedai SHIDIQ, yang menyajikan menu khas banglades, ``Nan``. Menu yang terdiri dari roti dan kare. Ada banyak pilihan kare. Kami memilih menu yang berbeda. Aku memilih kare kambing, sedangkan dia memilih kare udang. Selalu kami memilih menu yang berbeda. Dengan demikian kami bisa saling tukar mencicipi menu pesanan kami. Tapi lebih sering aku yang mencicipi menu yang dia pesan, setelah ada tawaran darinya, tentunya. Ternyata dia tak suka daging kambing. Aroma daging kambing tak sedap, katanya. 

Dia sangat komunikatif dan suka bercerita. Cerita-cerita yang kebanyakan merupakan pengalaman pribadinya. Begitu menarik ia bercerita.   Aku seperti sedang dimanjakan dengan dongeng-dongeng sarat pesan moral. Aku kagum padanya. Dia memiliki rencana yang jelas dengan masa depannya, dengan aktivitas yang akan dia lakukan. Dia pribadi yang mandiri, dan punya kesungguhan kuat untuk membahagiakan orangtuanya. Sebagai anak ke-5 dari 11 bersaudara, dia merasa punya tanggungjawab untuk membantu adik-adiknya yang masih menempuh pendidikan.

Malam makin larut. Waktu menunjukkan pukul 09.45. Namun kedai masih ramai. Akhirnya, saat yang rasanya tak begitu kuharapkan pun tiba. Ya, kami harus berpisah. Dia harus kembali ke Hotel tempat dia menginap, dan aku harus balik ke Sendai dengan naik bus. Di titik persimpangan stasiun kami berpisah. Dia menuju stasiun, dan aku yang setengah enggan membalas salam perpisahannya pun berjalan menuju terminal bus. Dua hari berinteraksi dengannya, tak pernah sekali pun kami sempat bersalaman. Namun, entah mengapa, justru aku bersyukur dengan hal tersebut. 

Episode melankolis

Episode yang aku sangat tak suka pun tiba. Tiba-tiba aku mudah `baper`, apalagi kalau dengerin musik intrumentalia kesukaanku, `Romantic Relaxing Saxofone `, yang aku download dari Youtube, sambil ingat-ingat sehari bersamanya. Aku merasa sedang terbodohi oleh keadaan yang aku tak mampu mengendalikannya. Ah, semua teori tentang bagaimana mengendalikan pikiran yang telah aku pelajari sebelumnya terasa tumpul sudah. Aku merasa seperti tak kuasa atas diriku. Aku jadi merasa malu sama Alloh, Tuhanku. Mengingatnya, tak sampai aku seperti ini, kepikiran berkepanjangan. Tapi terhadap makhluknya, aku bisa sebegitu takluknya. Dia,  baru aku kenal kemarin, namun sekarang sudah mampu menguasai pikiranku. Aku lambaikan kain putih dengan situasi perasaan ini. Namun aku berusaha berdzikir kepada Alloh. Barangkali, ini adalah ujian. Dan ini memang ujian. 

Perasaanku jadi sensitif. Setiap kali aku coba memulai komunikasi dengannya melalui aplikasi Whattsap atau Fb Messenger, selalu merasa harap-harap cemas. Ketika pesan tak langsung berbalas, makin penat lah pikiran. Ketika pesan dibalas, hati pun berbinar laksana mendapatkan cahaya di gelapnya jalan. Seperti ABG yang baru kenal asmara. Terjadi dialog hebat dalam batinku.
’kenapa kamu jadi cengeng, rapuh dan lemah seperti ini?’’ 
‘’kamu ini laki-laki tulen. Tak selayaknya kamu lunglai terbawa perasaan seperti itu’’, 
‘’ah, emang laki-laki tak berhak untuk menuruti perasaan? laki-laki juga manusia’’

Di sinilah paradoksnya cinta

Aku seperti menyaksikan sebuah episode drama yang aku sendiri berperan sebagai aktornya. Asmara… dengannya banyak hati yang mekar berbunga-bunga. Tapi karenanya pula banyak hati lemah patah dan tak berdaya. Sudah se dewasa ini, kadang masih saja bingung bagaimana menghadapi situasi semacam ini. Aku yakin ini adalah ujian. Aku berdoa agar Alloh senantiasa menuntunku ke jalanNya yang lurus. 

’Ya Allah, Jauhkanlah diriku dari perasaan yang sia-sia dan kurniakanlah padaku, hati yang baik dan sentiasa tenang..amin 🙆’’





Tidak ada komentar:

Posting Komentar