Kita, guru, dihadapkan pada siswa-siswa yang memiliki
tingkat resiliensi yang rendah. Mereka mengeluh ketika mendapatkan tugas-tugas
latihan yang sebenarnya itu bagus buat progress belajar mereka. Mereka belajar
hanya sebatas mempersiapkan ujian, supaya mendapatkan nilai. Itu pun frekuensi
belajarnya relatif sedikit. Bahkan jangankan belajar, banyak dari mereka yang
untuk bisa mau berangkat ke sekolah saja sudah untung Alhamdulillah.
Kita dihadapkan siswa-siswa yang tidak memiliki privilege
lingkungan yang mendukung untuk tumbuh kembangnya potensi mereka. Jangankan mendapatkan
dukungan fasilitas belajar, bahkan di antara mereka masih banyak yang dididik
di lingkungan keluarga yang tak paham apa arti pendidikan. Di antara mereka, pendidikan
dipersepsikan hanya sebatas aktivitas untuk membaca, berhitung serta meraih
ijasah yang bisa digunakan untuk melamar pekerjaan di kemudian hari.
Kita dihadapkan pada para siswa yang begitu
overwhelmed dengan tuntutan mempelajari berbagai mata pelajaran, baik yang
mereka suka maupun yang mereka tidak suka. Mereka harus mempelajari setidaknya
tiga hingga lima mata pelajaran setiap harinya. Sebuah hal yang cukup berat
untuk dilakukan, memang. Terlebih ketika apa yang harus mereka pelajari
bukanlah hal yang mereka sukai. Guru yang menangani satu mata pelajaran saja
seringkali merasakan berat menjalaninya. Namun itu lah realita dalam system pendidikan
di Negara kita. Beda dengan Negara dengan system pendidikan maju seperti
Australia, dimana siswa SMA betul-betul diberi kemerdekaan dalam memilih mata
pelajaran yang merka suka. Jadi siswa Indonesia memang berat.
Kita dihadapkan pada siswa-siswa yang tak paham kenapa
mereka harus melalui proses pendidikan di sekolah. Kenapa mereka harus belajar.
Bahkan banyak yang tidak paham apa itu belajar, dan apa dampaknya bagi
kehidupan mereka. Sayangnya lagi, mereka belum tentu mendapatkan pemahaman itu
selama menjalani kegiatan di sekolah. Belum tentu guru mereka mau dan atau
mampu memberi mereka pemahaman. Belum tentu guru-guru mereka memberi pemahaman
bahwa ada istilah modalitas belajar, preferensi belajar, moment yang tepat
untuk belajar, bahwa pendekatan belajar masing-masing mata pelajaran itu
berbeda, hubungan antara otak dengan belajar, bagaimana mengoptimalkan
gelombang otak untuk bisa belajar dengan hasil maksimal, bagaimana menyiasati
keterbatasan untuk tetap bisa belajar, serta bagaimana menumbuhkan motivasi
untuk mau dengan sukarela mempelajari sesuatu. Ini bukan tentang menggurui,
memvonis atau memberikan judgement, melainkan sebuah refleksi untuk kita
bersama. Evaluasi bahwa barangkali selama ini kita (guru) belum telaten untuk
memberi pemahaman-pemahaman tersebut kepada apra siswa.
Kita (guru) memang sudah penuh dengan berbagai tugas,
hingga seringkali lupa untuk memahami
esensi dari eksistensi kita di sekolah. Esensi bahwa kita selayaknya menjadi
figur-figur yang membantu para siswa untuk memahami arti pentingnya belajar, memahami bagaimana cara efektif belajar, serta memandang bahwa belajar adalah sebuah skill yang berguna untuk survive dalam mengarungi hidup secara mandiri. Meski berat, itu memang sudah menjadi
tanggungjawab kita sebagai guru, untuk membantu para siswa menghadapi berbagai
tantangan yang berkaitan dengan dinamika perkembangan hidup mereka.
Saat para siswa tidak mendapatkan pemahaman tentang belajar
dan mengapa mereka harus belajar, maka mereka hadir di sekolah laksana zombie. Bergerak,
berjalan, namun tak tau makna atas apa yang mereka lakukan.
Jika demikian, para siswa cenderung memandang sekolah
sebagai sebuah lembaga yang berorientasi pada penyeragaman semata. Seragam pakaiannya.
Seragam sikapnya. Dan seragam-seragam lainnya. Di alam bawah sadar mereka, kata
“sekolah” terasosiasi deengan kata “beban” yang mau tidak mau harus mereka
hadapi, alih-alih memandangnya sebagai aktivitas investasi yang berguna bagi
masa depan mereka.
Oleh karena itu, mari kita sebagai guru melakukan
refleksi. Jangan-jangan selama ini kita masih harus memperbaiki kualitas peran
kita sebagai pendidik yang mampu memahamkan para siswa tentang arti pentingnya
belajar dan bagaimana cara melakukannya secara efektif. Dengan begitu, para
siswa hadir di sekolah dengan ruh yang penuh gairah untuk belajar, serta menjalankan
apa pun arahan positif dari sekolah demi kebaikan mereka. Memang, tidak ada
jaminan bahwa upaya baik yang dilakukan oleh kita (guru) akan berbuah hasil
sempurna. Sebagian siswa mungkin akan tetap sama saja, walau sudah diberi pemahaman
tentang makna pendidikan dan belajar. Sementara sebagian lainya benar-benar
mengalami perubahan positif.
Apa pun hasilnya, yang penting proses baik sudah kita
ikhtiarkan. Selanjutnya, kita pasrahkan kepada Tuhan yang maha membolak-balikkan
hati dan pikiran manusia.
"Saat para siswa tidak mendapatkan pemahaman tentang belajar dan mengapa mereka harus belajar, maka mereka hadir di sekolah laksana zombie. Bergerak, berjalan, namun tak tau makna atas apa yang mereka lakukan." I completely agree with this. Thus we should, by any means, convince the students that they need to go to school. This should be part of the orientation program and be conveyed repeatedly during classes. We should also emphasize on 2 basic lessons as the ministry of education holds in AKM: languages and mathematics(logic/ reasoning) because they constitute the tools for Learning
BalasHapus