Sabtu, 28 Oktober 2023

Refleksi Bagi Guru di Sekolah-Sekolah Pinggiran

 

Kita, guru, dihadapkan pada siswa-siswa yang memiliki tingkat resiliensi yang rendah. Mereka mengeluh ketika mendapatkan tugas-tugas latihan yang sebenarnya itu bagus buat progress belajar mereka. Mereka belajar hanya sebatas mempersiapkan ujian, supaya mendapatkan nilai. Itu pun frekuensi belajarnya relatif sedikit. Bahkan jangankan belajar, banyak dari mereka yang untuk bisa mau berangkat ke sekolah saja sudah untung Alhamdulillah.

Kita dihadapkan siswa-siswa yang tidak memiliki privilege lingkungan yang mendukung untuk tumbuh kembangnya potensi mereka. Jangankan mendapatkan dukungan fasilitas belajar, bahkan di antara mereka masih banyak yang dididik di lingkungan keluarga yang tak paham apa arti pendidikan. Di antara mereka, pendidikan dipersepsikan hanya sebatas aktivitas untuk membaca, berhitung serta meraih ijasah yang bisa digunakan untuk melamar pekerjaan di kemudian hari.

Kita dihadapkan pada para siswa yang begitu overwhelmed dengan tuntutan mempelajari berbagai mata pelajaran, baik yang mereka suka maupun yang mereka tidak suka. Mereka harus mempelajari setidaknya tiga hingga lima mata pelajaran setiap harinya. Sebuah hal yang cukup berat untuk dilakukan, memang. Terlebih ketika apa yang harus mereka pelajari bukanlah hal yang mereka sukai. Guru yang menangani satu mata pelajaran saja seringkali merasakan berat menjalaninya. Namun itu lah realita dalam system pendidikan di Negara kita. Beda dengan Negara dengan system pendidikan maju seperti Australia, dimana siswa SMA betul-betul diberi kemerdekaan dalam memilih mata pelajaran yang merka suka. Jadi siswa Indonesia memang berat.

Kita dihadapkan pada siswa-siswa yang tak paham kenapa mereka harus melalui proses pendidikan di sekolah. Kenapa mereka harus belajar. Bahkan banyak yang tidak paham apa itu belajar, dan apa dampaknya bagi kehidupan mereka. Sayangnya lagi, mereka belum tentu mendapatkan pemahaman itu selama menjalani kegiatan di sekolah. Belum tentu guru mereka mau dan atau mampu memberi mereka pemahaman. Belum tentu guru-guru mereka memberi pemahaman bahwa ada istilah modalitas belajar, preferensi belajar, moment yang tepat untuk belajar, bahwa pendekatan belajar masing-masing mata pelajaran itu berbeda, hubungan antara otak dengan belajar, bagaimana mengoptimalkan gelombang otak untuk bisa belajar dengan hasil maksimal, bagaimana menyiasati keterbatasan untuk tetap bisa belajar, serta bagaimana menumbuhkan motivasi untuk mau dengan sukarela mempelajari sesuatu. Ini bukan tentang menggurui, memvonis atau memberikan judgement, melainkan sebuah refleksi untuk kita bersama. Evaluasi bahwa barangkali selama ini kita (guru) belum telaten untuk memberi pemahaman-pemahaman tersebut kepada apra siswa.

Kita (guru) memang sudah penuh dengan berbagai tugas, hingga seringkali  lupa untuk memahami esensi dari eksistensi kita di sekolah. Esensi bahwa kita selayaknya menjadi figur-figur yang membantu para siswa untuk memahami arti pentingnya belajar, memahami bagaimana cara efektif belajar, serta memandang bahwa belajar adalah sebuah skill yang berguna untuk survive dalam mengarungi hidup secara mandiri. Meski berat, itu memang sudah menjadi tanggungjawab kita sebagai guru, untuk membantu para siswa menghadapi berbagai tantangan yang berkaitan dengan dinamika perkembangan hidup mereka.

Saat para siswa tidak mendapatkan pemahaman tentang belajar dan mengapa mereka harus belajar, maka mereka hadir di sekolah laksana zombie. Bergerak, berjalan, namun tak tau makna atas apa yang mereka lakukan.

Jika demikian, para siswa cenderung memandang sekolah sebagai sebuah lembaga yang berorientasi pada penyeragaman semata. Seragam pakaiannya. Seragam sikapnya. Dan seragam-seragam lainnya. Di alam bawah sadar mereka, kata “sekolah” terasosiasi deengan kata “beban” yang mau tidak mau harus mereka hadapi, alih-alih memandangnya sebagai aktivitas investasi yang berguna bagi masa depan mereka.

Oleh karena itu, mari kita sebagai guru melakukan refleksi. Jangan-jangan selama ini kita masih harus memperbaiki kualitas peran kita sebagai pendidik yang mampu memahamkan para siswa tentang arti pentingnya belajar dan bagaimana cara melakukannya secara efektif. Dengan begitu, para siswa hadir di sekolah dengan ruh yang penuh gairah untuk belajar, serta menjalankan apa pun arahan positif dari sekolah demi kebaikan mereka. Memang, tidak ada jaminan bahwa upaya baik yang dilakukan oleh kita (guru) akan berbuah hasil sempurna. Sebagian siswa mungkin akan tetap sama saja, walau sudah diberi pemahaman tentang makna pendidikan dan belajar. Sementara sebagian lainya benar-benar mengalami perubahan positif.

Apa pun hasilnya, yang penting proses baik sudah kita ikhtiarkan. Selanjutnya, kita pasrahkan kepada Tuhan yang maha membolak-balikkan hati dan pikiran manusia.  

 

1 komentar:

  1. "Saat para siswa tidak mendapatkan pemahaman tentang belajar dan mengapa mereka harus belajar, maka mereka hadir di sekolah laksana zombie. Bergerak, berjalan, namun tak tau makna atas apa yang mereka lakukan." I completely agree with this. Thus we should, by any means, convince the students that they need to go to school. This should be part of the orientation program and be conveyed repeatedly during classes. We should also emphasize on 2 basic lessons as the ministry of education holds in AKM: languages and mathematics(logic/ reasoning) because they constitute the tools for Learning

    BalasHapus