Pertama-tama, aku ingin ucapkan thanks buat blog ku ini. Aku anggap blog ini layaknya teman dekat yang bersedia mendengarkan keluh kesahku, sekaligus pendengar setia atas segala ide-ide ku tentang banyak hal. karena ia benda mati, tentu aku tak bisa berharap ia bisa memberikan feedback atas semua yang aku sampaikan.
Kali ini, aku ingin curhat kepada blog ku ini tentang dunia kerja ku. Dunia kerja yang sudah aku geluti selama lebih dari 13 tahun. Cukup lama. Andai ia adalah seorang bocah, mungkin sekarang dia sudah mulai menapaki jenjang pendidikan sekolah menengah pertama. Minimal kelas tujuh lah.
Di tempat kerja ku ini, aku merasa kurang mendapatkan dukungan untuk wellbeing ku. Tempat ku bekerja ini nampaknya memang tak begitu mempedulikan wellbeing pekerjanya.
Semua orang dituntut untuk bekerja dengan sistem disiplin neagtif. Semua harus nurut aturan. Aturan tentang jam kerja, tentang kehadiran, tentang banyak hal lainnya. Jika tidak menurut, maka konsekuensinya mengarah kepada gaji. Minimal, tunjangan profesi guru bisa terancam tidak cair, jika ada aturan yang dilanggar.
Lumrah sih, bahwa bekerja dalam satu sistem itu pasti ada aturan yang diberlakukan. Hanya saja, semestinya ada sistem yang menciptakan dan mengatur keseimbangan. Kita adalah manusia yang memiliki berbagai aspek kemanusiaan. Kita punya keluarga, dan perlu memiliki waktu untuk mengurus keluarga. Kita punya kebutuhan untuk refreshing. Kita punya hak untuk terbebas dari ketidaksehatan psikis, mental, emosional dan fisik.
Di tempat kerjaku ini, aku merasa kurang mendapat dukungan terjaminnya wellbeing ku.
Soal cuti libur, misalnya. Aku dan rekan-rekan guru lainnya sudah tidak memiliki hak libur seperti dulu, dimana ketika siswa libur maka guru otomatis boleh libur.
Sekarang, siswa libur, guru tidak otomatis boleh libur.
jatah libur kita dibatasi 12 hari selama satu tahun.
Itu pun, kita hanya diperbolehkan mengambilnya selama siswa libur.
Kita tidak diperbolehkan untuk mengambil cuti di luar hari libur semester.
Belum lagi, atasan kami (Kepala Cabang Dinas) membuat modifikasi aturan.
Modifikasi aturan tersebut berupa pembatasan-pembatasan hari cuti yang diambil.
Contohnya, kita tidak diperbolehkan untuk mengambil cuti penuh di semester tertentu. Cuti tidak boleh diambil dan dihabiskan satu kali. Harus displit beberapa term.
Ada lagi kehendak (aku tidak menyebutnya aturan, karena memang tidak beraturan) atasan yang menginginkan supaya kita tidak mengambil cuti satu minggu penuh. Satu minggu hanya boleh diambil untuk cuti selama dua atau tiga hari.
Ada-ada saja keinginan atasan (Ka. Cabdin).
Entah apa dasar pemikirannya. Yang jelas, aku tak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan atas alasan kenapa ada pembatasan-pembatasan seperti itu.
Ada kesan bahwa pembatasan-pembatasan seperti itu hanya mengikuti ego pimpinan.
Padahal, sebagai sebuah lembaga publik yang bergerak dalam bidang pendidikan, setiap aturan atau kebijakan semestinya dibuat berdasarkan pertimbangan ilmiah.
Di Australia, kenapa setiap guru diberi kesempatan untuk libur dua minggu setiap akhir tri wulan? Alasannya ada kaitannya dengan Wellbeing guru. para pemangku kebijakan menyadari bahwa guru adalah individu yang perlu dimanusiakan. Memberi jatah libur yang proporsional adalah cara memanusiakan guru. Memberi jatah libur yang cukup adalah cara mendukung wellbeing guru.
Liburan ada kaitannya dengan wellbeing. Wellbeing ada kaitannya dengan kreativitas, produktivitas, dan efektifitas kinerja. Orang yang kurang mendapatkan wellbeing akan rentan mengalami gejala gangguan kesehatan mental seperti stress dan depresi. Kondisi stres dan depresi berkorelasi negatif terhadap kinerja. Stres dan gangguan psikologis lainnya akan menurunkan kreativitas dan produktivitas.
itu lah yang menjadi dasar pemikiran kenapa perusahaan-perusahaan besar dunia sudah memberi perhatian khusus terhadap kesehatan mental para pekerjanya.
Kenapa para pejabat di dunia pendidikan kurang memberi perhatian terhadap aspek kesehatan mental tersebut? Jawabannya mungkin karena kurang wawasan. Mereka tidak belajar dan membaca trend-trend terbaru di negara-negara maju.
Rasa-rasanya, andai aku punya kuasa, ingin sekali mereka aku ganti.
Saat mengganti dengan yang baru, akan ku beri pemahaman tentang bagaimana menjadi pemimpin yang cerdas melayani dan memanusiakan bawahan.
Akan ku beri pemahaman tentang bagaimana membuat kebijakan yang berlandaskan akal yang sehat, bukan ego.
Lantas kapan ya aku bisa mempunyai kuasa untuk itu?
Sooner or later, I will make it. I believe it.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar