Picture Source: https://www.mindsahead.org.uk |
Perhatian pemerintah terhadap pendidikan bagi generasi
Indonesia begitu besar. Secara berkala, kurikulum diperbaharui agar generasi
kita memiliki kualitas yang relevan untuk menjawab tantangan zaman. Berbagai pelatihan
pengembangan profesionalitas guru diselenggarakan agar mereka bisa memberi pelayanan
yang lebih prima kepada generasi baru atau peserta didik. Berbagai program yang
berorientasi pada wellbeing peserta didik dikampanyekan, seperti sekolah ramah
anak, sekolah anti-bullying, dan lainnya. Begitu perhatiannya pemerintah
terhadap generasi baru, sampai dewasa ini kita cukup familiar dengan istilah “pembelajaran
yang berpihak pada peserta didik”, seolah-olah di periode sebelumnya para guru
kurang berpihak pada peserta didik.
Menyelenggarakan pendidikan yang berpihak pada peserta
didik memang sudah semestinya dilakukan. Kita tentunya ingin para generasi kita
menjadi cerdas, berkepribadian luhur, memiliki berbagai keterampilan, dan berkarakter
pancasilais. Namun pertanyaannya, kenapa istilah “keberpihakan terhadap para guru”
tidak dikampanyekan dalam system pendidikan kita?
Pertanyaan ini mungkin terkesan out of the topic,
namun sebenarnya sangat relevan dengan topic tentang keberpihakan terhadap
peserta didik.
Bagaimana tidak? Guru adalah pihak yang berinteraksi
langsung dengan para peserta didik. Mereka adalah ujung tombak pelaksanaan
kurikulum. Sesempurna apa pun kurikulum didesain, guru lah yang menjadi pemain
utama dalam melaksanakan kurikulum dalam praktik pembelajaran secara riil. Katakanlah
kurikulum didesain sedemikian rupa kerennya. Namun kurikulum adalah benda pasif,
yang membutuhkan guru-guru yang berkualitas untuk benar-benar menerapkannya.
Berbicara tentang kualitas guru, aspek yang sering
mendapat perhatian adalah soal berbagai kompetensi yang meliputi pedagogik, professional,
kepribadian dan sosial. Namun ada hal penting yang juga sangat berpengaruh
terhadap kualitas guru, yaitu kesehatan mental, emosional, psikologis, dan
fisik. Dalam ilmu psikologi, kesehatan mental, emosional, psikologi sering
disebut dengan istilah Wellbeing. Dalam
system pendidikan di Indonesia, Wellbeing
sepertinya belum dianggap sebagai komponen penting dari kualitas seorang guru. Padahal,
setinggi apa pun kompetensi guru, ketika mereka kurang sehat secara mental,
emosional dan psikologis, apakah mereka bisa maksimal dalam mengupayakan
pembelajaran yang berpihak kepada peserta didik? Tentunya tidak. Kita tidak
bisa mengharapkan guru-guru yang kesehatan mental nya kurang bagus untuk bisa
memastikan pembelajaran yang berpihak kepada peserta didik.
Oleh karena itu, semestinya pemerintah juga
memperhatikan system pendidikan yang memiliki keberpihakan terhadap guru. Mungkin
ada yang bertanya, apakah system pendidikan
kita selama ini kurang berpihak kepada guru? Sisi mana dari system pendidikan
kita yang kurang berpihak kepada guru?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ingin memberi
gambaran tentang bagaimana system pendidikan yang berpihak pada guru dilaksanakan
di sebuah Negara yang namanya Australia. Di Australia, guru diberi kebebasan
untuk mendesain perangkat pembelajaran mereka. Format perangkat pembelajaran
seperti apa pun diterima, asalkan mereka memiliki dasar argumentasi atas format
tersebut. Dengan demikian, guru tidak dipusingkan dengan keharusan untuk
menyiapkan berbagai perangkat administrasi pembelajaran dengan format baku yang
seringkali berpotensi membuat mereka stress. Kebebasan berekspresi dalam
mendesain perangkat pembelajaran memacu kreativitas para guru, dan membebaskan
mereka dari stress. Dengan demikian, kesehatan mental mereka terjaga.
Kedua, guru-guru di Australia diberi jatah libur dengan
durasi yang cukup signifikan. Australia menerapkan system triwulan untuk
periode pembelajaran. Sementara Indonesia menerapkan system semester. Dalam setahun
ada empat triwulan. Di setiap akhir triwulan, guru dan peserta didik diberi jatah
waktu libur selama dua minggu. Di triwulan terakhir, guru bahkan diberi jatah waktu libur sebanyak
empat minggu. Sehingga, dalam setahun, guru-guru di Australia mendapat total
sepuluh minggu untuk berlibur.
Mungkin orang bertanya, dengan banyaknya jumlah hari
libur bagi para guru di Australia, apakah kualitas pendidikan di Australia menjadi
merosot. Jawabannya adalah tidak. Australia masih merupakan salah satu dari
sekian Negara dengan pencapaian hasil tes PISA dan TIMMS di atas rata-rata. Hasil
tersebut selalu konsisten dari tahun ke tahun. Human Index Australia juga
selalu tinggi dari tahun ke tahun.
Ternyata, kebijakan libur yang banyak bagi guru bukan
hanya ada di Australia. Di berbagai Negara dengan system pendidikan yang maju lainnya,
porsi libur bagi guru juga cukup signifikan. Jepang, Hongkong, New Zealand,
berbagai Negara eropa dan amerika juga memiliki kebijakan serupa.
Lantas, apa relevansinya antara kebijakan libur bagi
guru dengan kualitas pendidikan, dan mengapa harus dibahas dalam artikel in?
Jawabannya adalah, ada korelasi positif antara kebijakan
libur dengan kesehatan mental para guru dan performa mereka dalam melaksanakan
tugas pembelajaran.
Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh National
Foundatuion for educational Research, sebagaimana yang dipublikasikan di www.theguardian.com,
mengajar merupakan salah satu profesi dengan tingkat stress yang sangat tinggi dibanding
pekerjaan lainnya.
Jadi, para guru menjalani sebuah pekerjaan yang rentan
terhadap masalah kesehatan mental, emosional dan psikologis. Menyikapi fakta
ini, system pendidikan seharusnya didesain untuk memberi keberpihakan terhadap
para guru, agar mereka memiliki kesehatan mental yang bagus. Hal-hal yang
berpotensi memacu stress guru semestinya ditangani oleh pemerintah, dan menjadi
perhatian dalam perumusan kebijakan pendidikan.
Berkaitan dengan pertanyaaan tentang apakah system pendidikan
di Negara kita belum berpihak pada guru, kita bisa melihat fakta yang ada. Guru-guru
kita masih memiliki beban untuk menyiapkan administrasi dengan format tertentu
yang seringkali memicu stress. Mereka semestinya diberi kebebasan penuh untuk
mendesain perangkat pembelajaran mereka, asalkan mereka memiliki dasar
argumentasi yang kuat. Terkait libur guru, pemerintah semestinya memberi porsi
libur yang lebih. alih-alih memberikan porsi libur proporsional, para guru di Indonesia
memiliki jatah libur yang sangat terbatas. Di Indonesia, kebijakan libur guru
menjadi kewenangan pemerintah daerah. Di beberapa daerah, guru diberi jatah
libur hanya sebanyak 12 hari selama setahun. Parahnya, jatah libur tersebut
hanya bisa diklaim saat para siswa libur. Lebih parahnya lagi, kadang pejabat
cabang dinas mengada-adakan aturan pembatasan yang lebih rumit lagi tentang
libur. Di antaranya, guru hanya boleh mengambil cuti selama sekian hari setiap
semester, dan tidak diperkenankan untuk mengambil jatah cuti penuh dalam satu
periode waktu sekaligus.
Kenapa dalam artikel ini hanya membahas isu tentang
perangkat administrative dan jatah libur? Apakah hanya itu yang menjadi isu
yang berkaitan dengan kesehatan mental guru? jawabannya adalah tidak. Sangat banyak
isu yang berkaitan dengan kesehatan mental guru. Dua contoh itu hanyalah dua
dari sekian banyak isu yang ada.
Intinya, kebijakan pendidikan yang berpihak pada guru
perlu diwujudkan. Kita hanya bisa berharap pada guru-guru yang terjamin kesehatan
mental nya untuk mewujudkan pembelajaran yang berpihak pada peserta didik. Toh menurut penelitian ilmiah, kesehatan
mental guru sangat berkorelasi positif dengan kualitas proses dan hasil belajar
para peserta didik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar