Tulisan
ini tentang betapa kasihannya para siswa di Indonesia. kasihan gimana maksudnya?
Gimana gak kasihan. Mereka harus mempelajari berbagai
mata pelajaran setiap hari aktif sekolah. Kelas X SMA/SMK saja, mereka memiliki
beban belajar sekitar 15-17 mata pelajaran. Mengapa disebut “beban belajar”? Bukankah
mempelajari itu semua akan baik buat mereka? Faktanya, itu beban. Bagaimana tidak
beban? Mereka harus mempelajari berbagai mata pelajaran, mau tidak mau, suka
tidak suka. Di setiap mata pelajaran ada passing
grade (KKM) yang harus mereka capai. Jika tidak bisa mencapainya.
Mempelajari banyak hal yang tidak disukai dengan
terpaksa demi meraih batas nilai tertentu, apakah kira-kira tidak membuat
stress?
Logika waras tentu akan menyimpulkan bahwa that’s sort of stress-making thing.
Insane nya, mereka harus mempelajari itu semua di lima
hari sekolah setiap minggunya, dari pagi hingga sore. Siklus belajar seperti
itu sebenernya juga kurang efektif untuk membuat para siswa paham, enjoy dan sehat
secara mental, emosional, psikis maupun fisik. Namun sejauh ini Nampak belum
ada perubahan atas kebijakan dalam dunia pendidikan tersebut.
Belum lagi, mereka masih memiliki beban untuk
menyelesaikan tugas dan pekerjaan Rumah (PR) saat berada di rumah. Meski topik
tentang kontraproduktifnya PR sudah lama menjadi bahan diskusi, namun masih
banyak guru yang membebani para siswa dengan berbagai PR dan tugas dengan level
kesulitan yang beragam.
Semudah-mudahnya tugas dan PR, jika setiap guru mata
pelajaran memberikan tugas dan PR, maka tentu hal tersebut cukup menjadi beban
buat para siswa.
Para siswa adalah makhluk yang membutuhkan
keseimbangan (learn and life balance)
juga, sebagaimana manusia dewasa. Mereka butuh untuk berpartisipasi aktif dalam
lingkungan di luar sekolah, seperti lingkungan social dan keluarga. Mereka butuh
waktu untuk bermain, mereka butuh waktu untuk mengasah dan menyalurkan hobinya
yang tidak ada hubungannya dengan dunia persekolahan. Sebagian dari mereka
butuh mencari uang untuk membantu perekonomian keluarga. Banyak kegiatan ekstra
yang tidak kalah penting buat mereka, di luar kegiatan persekolahan.
Wellbeing para siswa di Indonesia nyatanya memang belum
mendapat perhatian serius. Sementara di Negara-negara dengan system pendidikan
yang maju, wellbeing menjadi isu serius yang diperhatikan dan diarusutamakan
dalam kebijakan pendidikan.
Dalam suatu kesempatan collaborative learning melalui media
online antara sekolah Indonesia dengans ebuah sekolah dari Australia, para
siswa dari kedua sekolah kaget dan heran dengan perbedaan signifikan tentang jumlah
jam belajar per minggu yang harus di pelajari oleh para siswa di Indonesia dan Australia.
Di Indonesia, kelas X SMA/SMk harus mempelajari sekitar 14017 mata pelajaran,
dan hal tersebut membuat para siswa di auastralia kaget. Tak kalah kaget para
siswa Indonesia ketika mengetahui bahwa untuk jenjang kelas yang smaa, di austarlia, para siswa hanya dibebani belajar
6-7 mata pelajaran. Di sekolah-sekolah di Austarlia, ada mata pelajaran wajib, dan
ada mata pelajaran pilihan yang benar-benar bisa dipilih oleh para siswa secara
merdeka. Perbedaannya njomplang sekali
bukan?
Dengan fakta seperti itu, jangan heran ketika para
siswa di Indonesia secara emosi, mental dan psikis terpengaruh secara negative akibat
overwhelmingnya beban belajar yang harus mereka emban. Bahkan hal tersebut bisa
jadi berpengaruh terhadap attitude dan karakter mereka (ini hanya hipotesis,
dan tentu perlu penelitian nyata).
Itlah sedikit gambaran tentang betapa overwhelmed nya para siswa di Indonesia.
Kasian!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar