Belum pernah aku
merasakan hatiku se-patah ini. Rasanya sungguh kecewa, ingin marah, namun helpless. Siapa pun yang berkesempatan
untuk studi di sebuah perguruan tinggi di luar negeri pasti menginginkan untuk
merasakan pengalaman nyata belajar di Negara tujuan. Namun saat ini aku tak
kuasa untuk menerima keadaan yang mengharuskanku untuk menjadi mahasiswa dari
sebuah universitas di luar negeri tapi tak dapat berangkat ke Negara tujuanku
studi.
Aku berusaha untuk
mendamaikan diri. Meyakinkan diri bahwa hal ini harus diterima karena memang
sekarang sedang dalam situasi pandemi. Namun susah untuk meyakinkan diri
tentang hal ini, ketika mengetahui teman-temanku sudah pada berangkat ke Negara
pilihan mereka masing-masing. Australia memang membuat keputusan yang berbeda
dari Negara-negara lain dalam menyikapi pandemi. Orang luar tidak diijinkan
masuk ke wilayah Australia, tak terkecuali mahasiswa asing. Jangankan mahasiswa
asing, warganya sendiri yang terdampar di luar negeri banyak yang tidak
diijinkan untuk kembali. Hanya mereka yang benar-benar memiliki kualifikasi
tertentu yang dibolehkan untuk masuk ke Negara ini, pejabat Negara, misalnya.
Aku sering kena
mental, ketika melihat dan mendengar segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas
teman-temanku yang begitu normal di Australia sekarang ini. Tak ada masker tak ada
jaga jarak maupun hand-sanitizer. Smua berjalan normal layaknya kehidupan
sebelum pandemi. Aku punya hak untuk hadir di sana, karena aku bayar lunas,
melalui dana beasiswa yang disediakan oleh negeriku. Rasanya aku ingin marah,
tapi apa daya. Kenapa mereka tidak menggunakan skema karantina saja, untuk
mahasiswa asing yang mau datang kesana. Kami siap bayar sendiri. Kalo mau,
tempatkan kami di pusat-pusat karantina yang letaknya jauh dari pemukiman selama
sebulan penuh. Kami masih mampu bayar. Tetapi si Scott Morrison terlalu bangs*t!
Nafsu politiknya membuat dia menutup mata terhadap nasib kami.
Memang, belajar bisa
dilakukan dengan tanpa tatap muka. Namun lain cerita, jika sedari awal hati ini
sudah meniatkan diri untuk belajar secara tatap muka di universitas yang
dipilih. Hal lain yang bikin kecewa adalah bahwa banyak pilihan lain yang sudah
terlanjur diabaikan, demi pilihan untuk studi di Negara Australia bangs*t ini. Kewajiban
sudah kami tunaikan, dengan bayar visa dan tuition fee. Namun hak-hak kami
tidak dipenuhi. Aku yang sebelumnya begitu mengagumi Negara ini jadi ill-feel
sejadi-jadinya. Muak tak terkira. Mungkin seperti ini rasanya dipenjara. Dipenjara
oleh perlakuan sebuah Negara yang dulunya adalah penjara.
Ku kecewa tiada
terkira.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar