Satu hal penting yang
guru maupun komunitas sekolah secara umum sering abaikan dalam penyelenggaraan
pendidikan di sekolah adalah mengajarkan peserta didik tentang cara belajar. Istilah
dalam bahasa inggrisnya adalah “take it for granted”. Kita menganggap itu hal
yang tidak perlu mendapat perhatian, karena dianggap sudah lumrah. Padahal, para
peserta didik merupakan individu-individu yang hadir di sekolah dengan multi kondisi
yang beragam. Ada sebagian peserta didik yang sudah memiliki motivasi belajar
yang tinggi, ada pula yang tidak memiliki motivasi belajar sama sekali. Ada yang
sudah mengetahui tentang gaya belajarnya, ada pula yang tak tau gaya belajar
yang sesuai itu seperti apa. Ada yang sudah memiliki kemampuan manajemen waktu
belajar, ada pula yang belum memiliki kemampuan itu.
Faktanya, pendekatan
belajar untuk mata pelajaran satu berbeda dengan mata pelajaran lainnya. Misalnya,
untuk mempelajari rumpun mata pelajaran bahasa tentu berbeda dari cara belajar
mata pelajaran eksakta, ilmu sosial, seni, olahraga, dan lainnya. Masing-masing
pelajaran membutuhkan pendekatan tertentu. Gaya belajar masing-masing individu
pun kadang berbeda. Ada yang memiliki kecenderungan visual, auditori, kinestetik,
atau gabungan di antaranya. Sekolah punya tanggungjawab besar untuk membantu
peserta didik untuk memahami hal-hal penting tersebut.
Peserta didik memiliki
kondisi latar belakang social ekonomi dan budaya yang beragam. Ada yang lahir
di keluarga yang memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan, sehingga ada fasilitas
dan dorongan untuk belajar yang memadai. Ada pula peserta didik yang tinggal di
lingkungan keluarga yang kurang memiliki kesadaran dan wawasan tentang cara mendukung
belajar anak. Sekolah memiliki andil besar untuk membangun sinergi dengan para orang
tua dalam memberhasilkan proses belajar peserta didik. Ide tentang sekolah
untuk orang tua sepertinya perlu diimplementasikan. Sekolah perlu memberi
pemahaman kepada orang tua tentang bagaimana keterlibatan orang tua dalam
mendukung keberhasilan belajar anak. Di negara-negara yang pendidikannya sudah maju,
peran orang tua (parental involvement)
dalam keberhasilan belajar anak benar-benar mendapat perhatian baik dari
sekolah maupun dari pembuat kebijakan pada otoritas yang lebih tinggi. Sinergi antara
sekolah dengan orang tua tidak hanya terjalin dalam hal pembiayaan sekolah,
namun juga hal-hal yang berkaitan dengan keberhasilan belajar anak.
Sekolah sejatinya
juga memiliki kewajiban untuk mengkomunikasikan konten kurikulum terhadap
peserta didik. Peserta didik perlu diberi pemahaman tentang kenapa mereka harus
terlatih kemampuan Higher-order thinking
nya, yang berdasarkan teori Taksonomi Bloom mencakup menganalisa, mengevaluasi
dan mencipta. Mereka perlu memahami kenapa mereka harus mengasah keterampilan
abad 21 yang mencakup kolaborasi, kreativitas, komunikasi berpikir kritis, karakter
dan kewarganegaraan. Apa korelasinya dengan kehidupan mereka.
Dengan pemahaman
tentang hal-hal di atas, peserta didik akan menyadari bahwa sekolah bukanlah
sekedar rutinitas mengerjakan tugas dan mengejar nilai hingga mencapai
kelulusan. Jauh lebih dari itu, sekolah akan dipahami sebagai proses penempaan
diri untuk menumbuhkan kualitas diri, sehingga memiliki kompetensi dalam
menghadapi tantangan kehidupan. Hal ini yang akan membuat proses pembelajaran
di sekolah terasa bermakna. Kita bisa berpikir dan membayangkan berada pada
posisi peserta didik. Tanpa pemahaman tentang kurikulum, cara belajar, dan
pentingnya hal-hal yang dipelajari di sekolah, maka aktivitas-aktivitas yang
ada di sekolah hanya akan terasa sebagai rutinitas tanpa makna yang menjemukan.
Tugas-tugas yang harus diselesaikan akan terasa sebagai sebuah perbudakan. Mungkin
terkesan terlalu berlebihan untuk mengatakan ini sebagai perbudakan. Namun kata
apalagi yang bisa menggambarkan perasaan orang yang harus melakukan suatu rutinitas
tanpa tau maknanya selain kata perbudakan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar