Kamis, 20 Mei 2021

Refleksi Pendidikan di Sekolah: Things we often take for granted

 


Satu hal penting yang guru maupun komunitas sekolah secara umum sering abaikan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah adalah mengajarkan peserta didik tentang cara belajar. Istilah dalam bahasa inggrisnya adalah “take it for granted”. Kita menganggap itu hal yang tidak perlu mendapat perhatian, karena dianggap sudah lumrah. Padahal, para peserta didik merupakan individu-individu yang hadir di sekolah dengan multi kondisi yang beragam. Ada sebagian peserta didik yang sudah memiliki motivasi belajar yang tinggi, ada pula yang tidak memiliki motivasi belajar sama sekali. Ada yang sudah mengetahui tentang gaya belajarnya, ada pula yang tak tau gaya belajar yang sesuai itu seperti apa. Ada yang sudah memiliki kemampuan manajemen waktu belajar, ada pula yang belum memiliki kemampuan itu.

Faktanya, pendekatan belajar untuk mata pelajaran satu berbeda dengan mata pelajaran lainnya. Misalnya, untuk mempelajari rumpun mata pelajaran bahasa tentu berbeda dari cara belajar mata pelajaran eksakta, ilmu sosial, seni, olahraga, dan lainnya. Masing-masing pelajaran membutuhkan pendekatan tertentu. Gaya belajar masing-masing individu pun kadang berbeda. Ada yang memiliki kecenderungan visual, auditori, kinestetik, atau gabungan di antaranya. Sekolah punya tanggungjawab besar untuk membantu peserta didik untuk memahami hal-hal penting tersebut.  

Peserta didik memiliki kondisi latar belakang social ekonomi dan budaya yang beragam. Ada yang lahir di keluarga yang memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan, sehingga ada fasilitas dan dorongan untuk belajar yang memadai. Ada pula peserta didik yang tinggal di lingkungan keluarga yang kurang memiliki kesadaran dan wawasan tentang cara mendukung belajar anak. Sekolah memiliki andil besar untuk membangun sinergi dengan para orang tua dalam memberhasilkan proses belajar peserta didik. Ide tentang sekolah untuk orang tua sepertinya perlu diimplementasikan. Sekolah perlu memberi pemahaman kepada orang tua tentang bagaimana keterlibatan orang tua dalam mendukung keberhasilan belajar anak. Di negara-negara yang pendidikannya sudah maju, peran orang tua (parental involvement) dalam keberhasilan belajar anak benar-benar mendapat perhatian baik dari sekolah maupun dari pembuat kebijakan pada otoritas yang lebih tinggi. Sinergi antara sekolah dengan orang tua tidak hanya terjalin dalam hal pembiayaan sekolah, namun juga hal-hal yang berkaitan dengan keberhasilan belajar anak.

Sekolah sejatinya juga memiliki kewajiban untuk mengkomunikasikan konten kurikulum terhadap peserta didik. Peserta didik perlu diberi pemahaman tentang kenapa mereka harus terlatih kemampuan Higher-order thinking nya, yang berdasarkan teori Taksonomi Bloom mencakup menganalisa, mengevaluasi dan mencipta. Mereka perlu memahami kenapa mereka harus mengasah keterampilan abad 21 yang mencakup kolaborasi, kreativitas, komunikasi berpikir kritis, karakter dan kewarganegaraan. Apa korelasinya dengan kehidupan mereka.

Dengan pemahaman tentang hal-hal di atas, peserta didik akan menyadari bahwa sekolah bukanlah sekedar rutinitas mengerjakan tugas dan mengejar nilai hingga mencapai kelulusan. Jauh lebih dari itu, sekolah akan dipahami sebagai proses penempaan diri untuk menumbuhkan kualitas diri, sehingga memiliki kompetensi dalam menghadapi tantangan kehidupan. Hal ini yang akan membuat proses pembelajaran di sekolah terasa bermakna. Kita bisa berpikir dan membayangkan berada pada posisi peserta didik. Tanpa pemahaman tentang kurikulum, cara belajar, dan pentingnya hal-hal yang dipelajari di sekolah, maka aktivitas-aktivitas yang ada di sekolah hanya akan terasa sebagai rutinitas tanpa makna yang menjemukan. Tugas-tugas yang harus diselesaikan akan terasa sebagai sebuah perbudakan. Mungkin terkesan terlalu berlebihan untuk mengatakan ini sebagai perbudakan. Namun kata apalagi yang bisa menggambarkan perasaan orang yang harus melakukan suatu rutinitas tanpa tau maknanya selain kata perbudakan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar