Minggu, 02 Agustus 2020

Statistics : from sick to addict

Mulai seminggu terakhir ini, aku dipaksa oleh sebuah keadaan untuk belajar ilmu statistik. Ada sekian aplikasi, salah satunya adalah SPSS (Statistical Package for Social Science), yang aku mau tidak mau harus familiar dengannya.

Bagi sebagian orang, statistic adalah ilmu yang mudah dan menyenangkan. Namun tidak bagiku. Pikiran dan perasaan sudah terlanjur tidak nyaman dengan hal yang berhubungan dengan olah data, angka, dan hitung-hitungan lainnya yang rumit.

Menghadapi ilmu statstik rasanya seperti sebuah pertaruhan bagi diriku. Pertaruhan tentang apakah aku bisa memotivasi diri untuk bisa menyenangi hal yang harus aku pelajari. Sebuah motivasi yang selama ini kerap aku sampaikan kepada anak didikku.

Andai aku tak bisa menang atas pertaruhan ini, dengan kata lain aku tidak berhasil menyenangi ilmu ini, maka sama saja untaian kata-kata mutiaraku saat memotivasi para anak didik untuk belajar adalah omong kosong belaka.

Cukup frustasi dengan awal perkenalan dengan ilmu statistic yang kurang menyenangkan, aku berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan bagaimana caranya bisa menyenangi ilmu tersebut. Aku coba gali untuk memahami secara dalam tentang apa manfaat yang bisa aku raih dengan mempelajari ilmu statistic ini. Sekian banyak literature dan sumber inspirasi aku akses, hasilnya aku mendapatkan jawaban dalam waktu yang relative tidak lama.

Perlahan aku meyakini bahwa ilmu statistik beserta semua pernak pernik turunannya, akan sangat bermanfaat bagiku dalam melakukan penelitian-penelitan di masa yang akan dating.

Sedari kuliah S1 aku selalu menghindari statistic. Itulah alas an utama kenapa aku melakukan penelitian kualitatif saat mengerjakan skripsi S1 dulu.

Memahami ilmu statistic juga aku rasa akan sangat bermanfaat untuk keperluan bisnis. Untuk hal yang satu ini, memang seperti masih abstrak. Namun aku ada gambaran jelas dalam pikiran tentang manfaat ilmu statistic terhadap bisnis.

Kini, aku memiliki alas an jelas kenapa aku harus belajar statistic, mulai dari dasar. Dengan demikian, belajarku akan ilmu tersebut aku lakukan secara sukarela, sebagai sebuah kebutuhan, ketimbang sebuah pemenuhan kewajiban yang tentu memberi beban secara psikologis.

Aku merasa menang atas pertaruhan ini. Aku bisa memenuhi tanggungjawab moral untuk bisa membuktikan sendiri kata-kata mutiara sebagai motivasi yang selama ini sering aku sampaikan ke anak didik ku.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar