Jumat, 06 Januari 2017

"Om OLEH-OLEH Om..."



____________________________
Siang tadi, aku dapet oleh-oleh dari seorang dosen.
Dua bungkus roti kering dan cracker.
Ceritanya, winter holiday kemaren, beliau berlibur ke korea selatan.
Bukan cuma aku yang diberi oleh-oleh tsb, melainkan beberapa teman dan dosen lain.
Dosen tersebut memang begitu akrab dengan aku.
Aku melihat ada ekspresi bahagia dan penuh rasa terimakasih yang ditunjukkan teman-teman dan dosen yang diberi oleh-oleh tersebut.
Oleh-oleh yang mungkin terbilang ‘biasa’ bagi sebagian orang, terutama orang dari negeriku, Indonesia.
___________________________
Oleh-oleh semacam itu mungkin sekali dikatakan ‘Biasa’ untuk ukuran sebuah oleh-oleh dari orang yang baru pulang dari luar negeri.
Namun, ekspresi yang ditunjukkan oleh semua orang yang diberi oleh-oleh begitu luar bisa, penuh rasa terima kasih.
Begitulah kira-kira budaya OLEH-OLEH di Jepang.
Aku sudah beberapa kali mendapatkan oleh-oleh dari teman atau dosen Jepang.
Aku juga suka mengamati bagaimana reaksi mereka yang diberi oleh-oleh.
Kesimpulannya sama.
Bahwa yang diberi oleh-oleh umumnya menunjukkan rasa terima kasih yang begitu tulus.
Tak ada ‘negative remark’.
___________________________________
Aku jadi ingat pengalaman 2 tahun lalu, ketika pulang dari Australia dan memberikan oleh-oleh kepada seorang teman berupa sebuah kaos.
(Maaf, ini bukan tentang pamer, namun untuk dijadikan pelajaran bersama).
Ada kata terima kasih yang dia ucapkan.
Namun sayangnya dia juga memberikan penilaian yang sangat tidak nyaman didengar.
Dia komplain bahwa kaosnya bukan Made in Australia asli.
‘’yee…kaosnya ndak orisinil nih ye, Bro!’’
Aku ngelus dada saja dengerinnya.
Aku beli oleh-oleh tersebut dengan uangku sendiri.
Aku bawa jauh-jauh dari negeri luar.
Dia enak tinggal minta, tinggal sebutin password 'jangan lupa oleh-olehnya'.
Tapi dapet balesan komentar yang cukup membuatku belajar tentang sabar.
_______________________________
Aku beli kaos tersebut di Gold Coast.
Di sana, banyak toko oleh-oleh yang kebetulan produk dari luar Australia.
Produk New Zealand, Banglades, vietnam, Indonesia, Thailand, China, dan sebagainya.
Harga sebuah kaos pun bervariasi.
Namun umumnya minimal Aus$ 15 (atau sekitar Rp 150 ribu).
Dan aku memang beli harga yang paling murah.
Maklum, aku beli banyak, karena yang sudah ngantree nunggu oleh-oleh buanyak banget.
Sampe jadi beban pikiran pas mau pulang dari Australia.
________________________________
Ah…saat itu aku kalah sama perasaan ‘ndak enak’ (dalam bahasa jawa ‘Rikuh/ ewuh’).
Hingga ta iyakan aja permintaan oleh-oleh segitu banyak orang.
Aku jadi membayangkan, andai nanti aku pulang, kemudian ngasih oleh-oleh ke teman berupa dua bungkus snack seperti yang diberikan oleh dosenku…
ah, sudah cukup mampu aku menebak respon yang bakal muncul.
‘Hello, jauh-jauh dari luar negeri oleh-olehnya macem itu?’
‘pliz deh ah, snack gituh? yakin loh?’
‘yee, kaya gituan mah aku juga bisa beli disini’
Mungkin kalimat-kalimat tersebut ndak bakal secara langsung kita dengar (kecuali dari teman yang biasa ngocol dan asal nyeblak aja), karena biasanya akan muncul di belakang kita berupa gumaman, atau minimal cibiran dalam hati.
Namun, tetap lah itu ndak asik banget.
Maaf, aku ndak bermaksud negatif thinking.
Namun pake logika aja, kaos saja dicibir, gegara bukan asli buatan dari negeri dimana aku membelinya, apalagi ‘sekadar’ sebuah snack.
_________________________________
BEDANYA…
Aku amati, di Jepang tak ada budaya orang minta oleh-oleh ketika mengetahui orang lain/teman bepergian ke luar negeri atau berlibur.
Mereka umumnya malah mndoakan dengan kata-kata;
‘Semoga happy di sana!’
‘hati-hati ya dalam perjalanan’, dan sebagainya.
Tak ada embel-embel kata-kata seperti ‘jangan lupa oleh-olehnya’.
Tidak ada budaya berharap diberi oleh-oleh.
Biasanya, yang baru pulang dari luar memberi oleh-oleh, pun sederhana.
Tak memberatkan, baik dalam hal kuantitas barang maupun jumlah uang yang harus dikeluarkan.
SEMENTARA, di negeriku, aku sudah akrab dengan kata-kata ‘jangan lupa ya oleh-olehnya’.
Mungkin itu adalah kata-kata klise, yang terucap karena sudah menjadi kebiasaan.
Namun, tak jarang juga kata-kata tersebut disertai harapan besar dan dinanti-nantikan.
Mungkin ada yang bilang?�‘kenapa sih membandingkan hal begituan, dengan kesan mengunggulkan Jepang atas Indonesia?’
Begini jawabannya.
Jepang memang bukan negara sempurna.
Ada banyak plus-minus yang dia miliki.
Namun, tidak ada salahnya hal positif yang ada pada negara lain kita contoh dan budayakan di negeri kita.
Keluhuran budaya itu terbentuk melalui belajar dari orang (negara) lain juga kan.
‘lah..itu kan sudah menjadi budaya kita. beda negara beda tata nilai dunk?’
Memang benar, namun ketika suatu hal yang dianggap budaya sudah menimbulkan keresahan hati dan pikiran dari banyak orang yang menjadi bagian dari budaya tersebut, berarti ada sesuatu yang perlu diluruskan dengan budaya tersebut.
Begitu sih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar