Jumat, 23 Desember 2016

Whom you interact with really matters

Saat menempuh pendidikan S1, aku pernah berpikir utnuk mencari kesempatan mendapatkan beasiswa S2 di luar negeri. Aku berpikir bahwa hal tersebut mungkin untuk aku raih, karena perbincangan mengenai kuliah di luar sudah menjadi hal biasa di antara teman-temanku. Selesai kuliah, aku harus tinggal di desa terpencil, karena ikatan profesi sebagai guru di daerah tersebut. Lambat laun optimisme ku meraih beasiswa surut. Sepertinya karena hal tersebut dipengaruhi oleh lingkungan dimana ku bergaul.

Beberapa tahun beraktivitas menjadi pendidik, aku merasa bosan. Akhirnya aku memutuskan untuk melamar beasiswa, hingga akhirnya ku dapatkan beasiswa program teacher training ke jepang. namun, untuk mencapai hal tersebut, aku berusaha untuk mengakrabkan diri dengan mereka yang pernah memperoleh beasiswa studi ke luar negeri. berbagai cara aku lakukan agar bisa berinteraksi (meski jarak jauh) dengan mereka yang berpengalaman dalam hal meraih beasiswa luar negeri. Kini, bergaul dengan teman-teman sesama pelajar di luar negeri, aku semakin yakin bahwa pintu untuk studi lanjut di luar negeri melalui beasiswa semakin lebar. Alam bawah sadarku semakin meyakini bahwa mendapatkan beasiswa lagi untuk kuliah di luar negeri sangat mungkin bisa ku lakukan. Ini ceritaku.

Ada seorang anak lulusan Sekolah Menengah Atas yang merantau ke kota besar setelah lulus studinya. Di kota besar tersebut dia mengais rizki dengan membantu jualan bubur ayam tetangganya. Meski hanya seorang asisten, dia cukup akrab dengan uang jutaan rupiah tiap harinya. Meskipun uang tersebut bukan uangnya, namun dia sudah terbiasa melihat uang dalma jumlah yang cukup banyak. Keyakinannya mulai tumbuh bahwa berjualan bubur ayam bisa menghasilkan jutaan rupiah tiap harinya. Melihat tetangga yang jadi bosnya tersebut mampu menghasilkan jutaan rupiah tiap harinya dengan berjualan bubur ayam, dia mulai memiliki keyakinan bahwa andai dia sendiri menjalankan usaha tersebut, dia juga bisa menghasilkan pendapatan yang sama. Selang sekitar 2 tahun kemudian, dengan penuh keyakinan, dia memutuskan untuk membuka sendiri usaha bubur ayam. Semakin lama usahanya semakin berkembang. Dia pun mampu menghasilkan omset yang setara dengan yang dihasilkan oleh mantan bosnya. 


Dua cerita di atas adalah cerita nyata. Pengalaman studi yang aku alami sendiri. Sementara cerita kedua adalah pengalaman nyata oleh mantan muridku. Benang merah yang bisa ditarik dari dua cerita nyata tersebut adalah, bahwa kita harus sebisa mungkin bergaul dengan orang-orang yang karena karyanya/prestasinya mereka mampu membuat kita meyakini bahwa sesuatu itu mungkin untuk kita raih, sebesar apapun itu. Se-impossible appaun itu. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa keyakinan adalah modal utama meraih hal besar dalam hidup. Sementar, untuk meraih keyakinan yang kuat, maka kita harus memastika diri bahwa kita berada di lingkungan yang membuat kita yakin, yaitu lingkungan yang berisi orang-orang hebat,besar dan penuh prestasi dalma hidup. Kesalahan memilih lingkungan bisa menjadi awal dari miskinnya pencapaian dalam hidup. Sementara, kemampuan memilih pergaulan yang baik bisa menjadi awal dari pencapaian besar dalam hidup. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar