Seorang
pemuda duduk mendengarkan nasihat dari kakak dan orang tuanya perihal jodoh. Sang
kakak memberikan pandangannya terkait kriteria memilih pasangan yang semestinya
ditetapkan oleh pria tersebut. Sementara, orang tua juga memberikan pandangan
mereka tentang wanita “terbaik” yang semestinya dipilih/dicari.
Sang
kakak menasehati bahwa memilih wanita untuk jadi pasangan hidup semestinya
mempertimbangkan banyak aspek. Aspek-aspek yang pada umumnya menjadi pertimbangan
manusia memilih jodoh meliputi aspek agama, keturunan, tampilan fisik, status
sosial. Lantas sang kakak menyarankan untuk jangan menjadikan tampilan fisik
sebagai pertimbangan utama, karena fisik bisa pudar seiring dengan bertambahnya
usia. Kemudian, sang kakak menekankan bahwa andai semua aspek penting tidak semuanya
ada pada pasangan (karena tidak ada manusia yang sempurna), minimal aspek akhlak
serta “resource” yang dimiliki oleh calon pasangan hidup dijadikan sebagai
pertimbangan utamanya.
Di lain
kesempatan, pemuda tersebut ngobrol dengan teman sebayanya yang sudah menikah perihal
jodoh juga. Sebagai seorang teman, sang teman merasa tidak mau hanya menjadi pendengar
setia saja. Dia juga mencoba memberikan masukan/ nasihat kepada pemuda
tersebut. Dia berikan nasihat tentang memilih jodoh berdasarkan perspektifnya. Dia
berpandangan bahwa memilih wanita itu musti utamakan aspek kerupawanan. Karena,
menurut dia, pria itu secara naluriah mendambakan wanita yang cantik rupawan. Lanjut
dia, banyak perselingkuhan yang dilakukan oleh pria yang disebabkan karena adanya
rasa kurang puas terhadap fisik pasangannya.
Lalu,
di lain kesempatan, pemuda tersebut mendapat nasihat yang berbeda lagi soal
pertimbangan memilih jodoh. Kali ini sang pemberi nasihat memberikan pandangan
bahwa memilih pasangan itu utamakan kesetaraan. Kesetaraan dalam segala aspek. Menurutnya,
setara itu akan melanggengkan hubungan pernikahan. Ketidaksertaraan adalah akar
dari masalah pernikahan.
Semua
nasihat yang diterima oleh sang pemuda terasa benar semua. Namun, yang bikin
bingung pemuda tersebut adalah bahwa terkadang nasihat yang satu bertolak
belakang dengan nasihat yang lainnya.
Soal
memberi nasihat perihal memilih jodoh, orang cenderung mengedepankan sudut
pandang pribadinya. Dianggapnya bahwa perspektif yang jadi pegangan hidupnya
itu selalu berlaku bagi semua orang. Orang mungkin tepat ketika memilih jodoh
dengan aspek tampilan fisik sebagai dasar pertimbangan utamanya. Orang mungkin
tepat ketika memilih pasangan hidup yang penting dia memiliki sumber daya. Namun
there is no such a one-size-fits-all. Tidak ada satu cara pandang yang berlaku sempurna
untuk semua orang. Kenapa bisa begitu? Karena setiap orang memiliki “The
missing piece” masing-masing.
Oleh
karena itu, jangan heran ketika melihat pasangan yang wanitanya cantik jelita
sementara prianya jelek. Ternyata yang jadi the missing piece wanita tersebut
adalah soal sumber daya (kekayaan), karena wanita tersebut berasal dari
keluarga yang kurang berada, sementara dia memiliki banyak adik yang menjadi
tanggungannya. Ada pula seorang pria kaya raya yang memilih wanita yang secara
fisik biasa saja, secara finansial juga sangat biasa, bahkan dia juga berasal
dari keluarga yang sangat sederhana. Namun ternyata the missing piece dari pria
tersebut adalah soal loyalitas serta kecerdasan pasangan. Dibalik kekurangannya,
wanita tersebut memiliki karakter yang sangat bagus sebagai pasangan, bisa
menjadi support system yang sempurna bagi si pria, serta memiliki kecerdasan,
yang itu menjadi daya tarik bagi si pria.
Ada pula
seorang anak muda yang rela menikah dengan selebritis janda kaya yang usianya
jauh lebih tua darinya. Pemuda tersebut adalah pemuda tampan. Dia bisa saja
memilih wanita yang cantik jelita yang sebaya, atau jauh lebih muda darinya. Namun
the missing piece dari pemuda tersebut adalah kekayaan serta perasaan dimanja
oleh pasangan, yang ternyata hal tersebut dapat dipenuhi oleh pasangannya tersebut.
See?
Itu semua
tentang the missing piece. Masing-masing dari kita memiliki the missing piece
yang mungkin berbeda dari the missing piece nya orang lain. Dengan memahami
ini, tidak ada jalan lain selain mengikuti kata hati. Mencari nasihat memang
sebuah hal yang bijak. Namun suara hati kita sendiri lah yang semestinya
menjadi tumpuan kita dalam menentukan pilihan, karena ktia sendiri yang
memahami the missing piece kita masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar