Orang
bertahan dalam suatu pekerjaan biasanya karena mendapatkan salah satu atau dua
hal sekaligus, yaitu gaji yang besar atau kepuasaan batin (passion) atas
pekerjaan tersebut. Jika seseorang tidak mendapatkan keduanya, dan masih
bertahan dalam suatu pekerjaan, hal tersebut bisa jadi karena salah satu dari
dua hal atau keduanya, yaitu kebodohan dan atau ketiadaan pilihan yang lebih
baik.
Ini
adalah hal yang aku refleksikan dalam perjalananku mejadi seorang pegawai
negeri. Menjalankan profesi sebagai seorang guru adalah sebuah kepuasan batin. Namun
menjalaninya sebagai sebuah rutinitas kadang terasa menjemukan. Jujurly, di
profesi yang aku jalani ini, tenaga, waktu dan pikiranku terkuras habis. Mana ada
waktu untuk “nyambi” menjalani profesi lain seperti berwirausaha. Memang benar
bahwa aku punya waktu akhir pekan. Namun ketika kita menjalani model pekerjaan
yang full time 5 hari dalam seminggu, maka akhir pekan adalah waktu yang hanya
tepat untuk berlibur merilekskan pikiran dan badan.
Untuk
menjadi seorang guru yang profesional, aku perlu fokus dengan pekerjaanku. Senin
sampai jumat, pukul 7 pagi hingga 3.30 sore, aku curahkan segala tenaga pikiran
dan waktuku untuk menjalani profesi ini. Untuk menjadi seorang profesional,
dalam konteks pekerjaan apa pun, seseorang tidak bisa setengah-setengah. Harus fokus.
Di
negara-negara maju, menjadi seorang profesional adalah hal yang rewarding,
karena effort yang mereka dapatkan setara dengan income yang
mereka raih. Di australia, contohnya, seorang guru profesional memang nampak
begitu sibuk penuh dedikasi. Namun mereka mendapatkan reward yang sepadan,
berupa gaji bulanan yang nilainya bisa dipake untuk membeli lima hingga sepuluh
Iphone. Maka, bekerja dengan penuh totalitas di negara tersebut rasanya worth
it banget. Sementara di beberapa negara lain yang belum maju, dedikasi
tinggi terhadap profesi kadang tidak sepadan dengan reward yang diraih.
Sekarang
aku ingin membahas pekerjaan yang aku jalani. Aku merasa seperti susah
membedakan antara sedang bekerja dengan sedang dipenjara. Aku memang bekerja di
bidang yang aku suka, yaitu mengajar. Namun konsekuensi dari menjadi pengajar
di negeriku ini, terlebih dengan statusku sebagai seorang pegawai negeri sipil,
membuatku merasa seperti terpenjara. Bagaimana tidak, aku bekerja fulltime dari
senin ke jumat dan dari pukul 7 pagi hingga 3.30 sore setiap minggu. Sementara,
aku tidak mendapatkan porsi libur yang cukup. Izin cuti tahunan hanya diberikan
dengan jumlah 12 hari, dan itu pun hanya bisa dimanfaatkan saat murid libur
sekolah. Parahnya, pengajuan cuti tersebut pun belum tentu disetujui. Aku memang
sedang bekerja, namun rasanya beda tipis dengan dipenjara. Aku memang tidak
dikerangkeng dalam jeruji besi, namun sistem yang ada membuat ruang geraku sangat
terbatas.
Lantas
apa? Apakah ini adalah sebuah keluhan? Lalu bagaimana ujungnya? Apakah aku
harus resign? Apakah aku tidak perlu totalitas dalam bekerja? Apakah aku
tidak perlu menjalani pekerjaan ini secara profesional? Atau bagaimana?
Bukan,
bukan itu! Aku harus menata ulang plot hidupku. Mau apa aku kedepannya?
Yang
jelas trajectory dari pekerjaan yang aku jalani ini sudah begitu crystal
clear. Jadi guru, jadi kepala sekolah, jadi pengawas, kalo ada shortcut ya
bisa jadi pejabat dinas yang memiliki akses kebijakan publik, pensiun dan
menua. Setidaknya seperti itu gambaran jelasnya. Menarik? Rasanya seperti
menonton sebuah film yang aku sudah tau alur ceritanya.
Ini
aku sedang bekerja ataukah dipenjara?
Apa
pun keadaannya, meskipun aku merasa seperti dipenjara, aku tetap harus
menunjukkan profesionalisme yang tinggi. “Emas akan menemukan jalannya untuk
keluar dari perut bumi”, kata pepatah yang aku karang sendiri. Profesionalitas yang
aku jalani tetap akan memberiku reward besar di kemudian hari. Jadi, tetaplah
profesional dalam menjalani profesi sebagai seorang pendidik dan ASN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar