Di tempat aku kerja paruh
waktu, aku bertemu dengan seorang pekerja asli Australia yang mengaku mengenyam
Pendidikan hanya sampai level kelas 8, atau kelas dua Sekolah Menengah Pertama.
Sebut saja Namanya “Kal”. Aku tertarik untuk mengetahui alasan dia drop out
dari sekolah. Untuk sebuah negara dengan kualitas Pendidikan yang sangat bagus
seperti Australia, yang ditopang dengan berbagai kebijakan yang sangat berpihak
pada siswa, alasan adanya kasus drop out
membuatku penasaran. Beruntung diam au bercerita tentang masa lalunya, serta
alasan yang membuatnya drop out
begitu dini. Sehingga, aku mendapatkan pelajaran berharga yang sangat relate dengan posisiku sebagai seorang
guru.
Dia bercerita bahwa dia sangat
membenci dunia sekolah sejak kecil. Menurut dia, entah kenapa dia selalu mendapatkan
perundungan dari teman-teman sebayanya. Melihat fisiknya serta gesturnya dalam
berjalan, berdiri, aku memiliki kesimpulan bahwa dia adalah anak yang bullyable. Aku pernah membaca sebuah
artikel bahwa gesture yang kita perlihatkan akan menentukan bagaimana orang lain
bersikap terhadap kita. Sebenarnya bukan gesture saja yang menjadi factor pemicu
perundungan. Ada banya factor lainnya. Aku sama sekali tidak membenarkan
terjadinya perundungan yang dialami oleh temanku tersebut. Dalam situasi
apapun, perundungan tetaplah perundungan yang tidak layak mendapatkan
pembenaran.
Yang ingin aku bahas di sini adalah
betapa pengalaman-pengalaman negative yang dialami oleh seorang pelajar sangat
berpengaruh buruk terhadap kehidupannya. Drop out dari sekolah bias dikatakan
efek ringan dari pengalaman buruk kehidupan remaja. Dr Kelly-Ann Allen, seorang
peneliti dan psikolog dari Australia menyebutkan bahwa kasus bunuh diri remaja
di Australia bisa dikatakan cukup tinggi. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukannya, kasus-kasus tersebut banyak dipengaruhi oleh kesehatan mental
para remaja yang diakibatkan oleh factor pengalaman buruk dalam lingkungan
pergaulannya. Perundungan merupakan salah satu factor diantaranya.
Aku sangat menyayangkan ketika banyak
sekolah menganggap bahwa urusan dinamika interaksi pergaulan antar pelajar
merupakan urusan pribadi mereka yang sekolah tidak perlu campur tangan. Padahal,
baik buruknya pengalaman pergaulan remaja dan kesehatan mental, emosional,
psikologis, dan fisik mereka sangat berpengaruh terhadap pencapaian akademik
mereka dan kehidupan mereka pada umumnya. Aku sangat menyayangkan ketika masih
ada sekolah yang mengira bahwa ruang lingkup program mereka adalah seputar
peningkatan prestasi akademik siswa. Prestasi akademik memang penting, namun
sisi humanis pelajar seperti kebahagiaan, kesehatan mental, emosional, jiwa dan
raga sangat lah penting untuk diperhatikan.
Beruntung Kal hidup di Australia,
negara yang memiliki banyak kesempatan, yang sering dijuluki “The Land of
Opportunities”. Meski relative kurang terdidik, Kall masih bisa mendapatkan
kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang layak, karena begitu banyaknya
persediaan kesempatan kerja. Bagaimana jika drop out tersebut dialami oleh anak-anak
yang tinggal di lingkungan yang miskin kesempatan? Mungkin dia bisa survive, terutama
bila dia mendapatkan support positif dari lingkungannya. Namun pada kenyataannya
tidak semudah itu meraih keberuntungan semacam itu.
Poin utama yang ingin aku sampaikan
dalam artikel ini adalah bahwa sekolah bseharusnya menunjukkan perannya dalam
membantu para pelajar mengatasi problematika mereka. Terutama problematika yang
berhubungan dengan wellbeing mereka yang berpengaruh terhadap performa belajar.
Usia remaja adalah usia pencarian jati diri. Mereka yang beruntung mendapatkan support
positif dalam mengarungi masa pencarian jati dirinya akan melewati masa
pencarian jati diri dengan sukses, menjadi pribadi yang berkarakter dan siap
menghadapi berbagai permasalahan hidup.
Di Australia, sekolah-sekolah sudah
mulai menekankan pentingnya menjamin wellbeing para pelajar. Sekarang, setiap
sekolah pada umumnya memiliki tim yang bekerja khusus menangani urusan
wellbeing para pelajar. Bahkan guru atau tenaga yang ditugasi untuk menjamin
wellbeing para pelajar diarahkan serta difasilitasi untuk belajar tentang konsep
menjamin wellbeing pelajar di universitas, melalui skema kuliah part-time. Mereka
juga sering mengadakan in house training untuk memberi para guru dan staff
pemahaman tentang wellbeing, dengan mengundan par ahli. Para pelajar
menghabiskan waktu yang sangat banyak dan signifikan di sekolah. Maka, sekolah
selayaknya tidak hanya focus terhadap urusan akademik saja, melainkan juga
urusan wellbeing para pelajar. Bukan hanya wellbeing pelajar, wellbeing guru
dan staff juga sangat penting. Berbagai literatur meyakinkan bahwa terjaminnya wellbeing
guru dan karyawan skeolah sangat berpengaruh secara langsung terhadap wellbeing
para pelajar.
Sekalipun urusan akademik adalah
urusan yang sangat penting, namun apa artinya jika wellbeing para pelajar tidak
bagus? Sementara berbagai penelitian membuktikan bahwa wellbeing sangat
berpengaruh terhadap performa kinerja setiap orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar