Selasa, 07 Juni 2022

Sekolah dan Wellbeing Siswa

 

Di tempat aku kerja paruh waktu, aku bertemu dengan seorang pekerja asli Australia yang mengaku mengenyam Pendidikan hanya sampai level kelas 8, atau kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Sebut saja Namanya “Kal”. Aku tertarik untuk mengetahui alasan dia drop out dari sekolah. Untuk sebuah negara dengan kualitas Pendidikan yang sangat bagus seperti Australia, yang ditopang dengan berbagai kebijakan yang sangat berpihak pada siswa, alasan adanya kasus drop out membuatku penasaran. Beruntung diam au bercerita tentang masa lalunya, serta alasan yang membuatnya drop out begitu dini. Sehingga, aku mendapatkan pelajaran berharga yang sangat relate dengan posisiku sebagai seorang guru.

Dia bercerita bahwa dia sangat membenci dunia sekolah sejak kecil. Menurut dia, entah kenapa dia selalu mendapatkan perundungan dari teman-teman sebayanya. Melihat fisiknya serta gesturnya dalam berjalan, berdiri, aku memiliki kesimpulan bahwa dia adalah anak yang bullyable. Aku pernah membaca sebuah artikel bahwa gesture yang kita perlihatkan akan menentukan bagaimana orang lain bersikap terhadap kita. Sebenarnya bukan gesture saja yang menjadi factor pemicu perundungan. Ada banya factor lainnya. Aku sama sekali tidak membenarkan terjadinya perundungan yang dialami oleh temanku tersebut. Dalam situasi apapun, perundungan tetaplah perundungan yang tidak layak mendapatkan pembenaran.

Yang ingin aku bahas di sini adalah betapa pengalaman-pengalaman negative yang dialami oleh seorang pelajar sangat berpengaruh buruk terhadap kehidupannya. Drop out dari sekolah bias dikatakan efek ringan dari pengalaman buruk kehidupan remaja. Dr Kelly-Ann Allen, seorang peneliti dan psikolog dari Australia menyebutkan bahwa kasus bunuh diri remaja di Australia bisa dikatakan cukup tinggi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya, kasus-kasus tersebut banyak dipengaruhi oleh kesehatan mental para remaja yang diakibatkan oleh factor pengalaman buruk dalam lingkungan pergaulannya. Perundungan merupakan salah satu factor diantaranya.

Aku sangat menyayangkan ketika banyak sekolah menganggap bahwa urusan dinamika interaksi pergaulan antar pelajar merupakan urusan pribadi mereka yang sekolah tidak perlu campur tangan. Padahal, baik buruknya pengalaman pergaulan remaja dan kesehatan mental, emosional, psikologis, dan fisik mereka sangat berpengaruh terhadap pencapaian akademik mereka dan kehidupan mereka pada umumnya. Aku sangat menyayangkan ketika masih ada sekolah yang mengira bahwa ruang lingkup program mereka adalah seputar peningkatan prestasi akademik siswa. Prestasi akademik memang penting, namun sisi humanis pelajar seperti kebahagiaan, kesehatan mental, emosional, jiwa dan raga sangat lah penting untuk diperhatikan.

Beruntung Kal hidup di Australia, negara yang memiliki banyak kesempatan, yang sering dijuluki “The Land of Opportunities”. Meski relative kurang terdidik, Kall masih bisa mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang layak, karena begitu banyaknya persediaan kesempatan kerja. Bagaimana jika drop out tersebut dialami oleh anak-anak yang tinggal di lingkungan yang miskin kesempatan? Mungkin dia bisa survive, terutama bila dia mendapatkan support positif dari lingkungannya. Namun pada kenyataannya tidak semudah itu meraih keberuntungan semacam itu.

Poin utama yang ingin aku sampaikan dalam artikel ini adalah bahwa sekolah bseharusnya menunjukkan perannya dalam membantu para pelajar mengatasi problematika mereka. Terutama problematika yang berhubungan dengan wellbeing mereka yang berpengaruh terhadap performa belajar. Usia remaja adalah usia pencarian jati diri. Mereka yang beruntung mendapatkan support positif dalam mengarungi masa pencarian jati dirinya akan melewati masa pencarian jati diri dengan sukses, menjadi pribadi yang berkarakter dan siap menghadapi berbagai permasalahan hidup.

Di Australia, sekolah-sekolah sudah mulai menekankan pentingnya menjamin wellbeing para pelajar. Sekarang, setiap sekolah pada umumnya   memiliki tim yang bekerja khusus menangani urusan wellbeing para pelajar. Bahkan guru atau tenaga yang ditugasi untuk menjamin wellbeing para pelajar diarahkan serta difasilitasi untuk belajar tentang konsep menjamin wellbeing pelajar di universitas, melalui skema kuliah part-time. Mereka juga sering mengadakan in house training untuk memberi para guru dan staff pemahaman tentang wellbeing, dengan mengundan par ahli. Para pelajar menghabiskan waktu yang sangat banyak dan signifikan di sekolah. Maka, sekolah selayaknya tidak hanya focus terhadap urusan akademik saja, melainkan juga urusan wellbeing para pelajar. Bukan hanya wellbeing pelajar, wellbeing guru dan staff juga sangat penting. Berbagai literatur meyakinkan bahwa terjaminnya wellbeing guru dan karyawan skeolah sangat berpengaruh secara langsung terhadap wellbeing para pelajar.

Sekalipun urusan akademik adalah urusan yang sangat penting, namun apa artinya jika wellbeing para pelajar tidak bagus? Sementara berbagai penelitian membuktikan bahwa wellbeing sangat berpengaruh terhadap performa kinerja setiap orang.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar