Saya sedang menyandang status sebagai seorang mahasiswa
sebuah perguruan tinggi Luar Negeri, namun tak merasakan vibe sebagai mahasiswa sebuah perguruan tinggi Luar Negeri. Saya sedang
menjalani perkuliahan, namun tak merasakan vibe perkuliahan. Saya sedang dalam
masa mejalani aktivitas-aktivitas akademik, namun saya tak merasakan gregetnya
aktivitas akademik. Semua ini terjadi karena saya menjalani kuliah secara online. Kuliah ini saya jalani di ruang dapur
karena ini adalah spot satu-satunya di rumahku dimana signal internet cukup
kuat. Pindah tempat sedikit, maka akan susah untuk mendapatkan koneksi internet
yang cukup. Begitu banyak distraksi yang saya alami selama menjalani studi
secara online ini. Situasi ini tentu akan berbeda andai saja saya menjalani
perkuliahan langsung di kampus tujuan.
Saya pernah merasakan kuliah di sebuah perguruan
tinggi di Luar Negeri. Setiap hari, sangat mudah bagi saya untuk berdiskusi
tentang topic-topik seputar akademik dengan teman-teman dari berbagai Negara. Saya
juga berkesempatan untuk berdiskusi langsung dengan dosen. Kemudahan akses terhadap
fasilitas belajar, lingkungan pergaulan yang bergelut dalam bidang akademis,
serta budaya belajar yang tercipta di kampus tempat ku belajar dulu membuatku
merasakan betul pengalaman belajar. Atmosfir belajar tersebut membuatku
termotivasi untuk melsayakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pembelajaran.
Dari pengalaman ini, saya belajar suatu hal tentang
pentingnya atmosfir belajar. Atmosfir belajar yang baik akan memberi stimulus
pada seorang pembelajar untuk melsayakan tindakan belajar secara sadar. Satu
tugas penting lembaga pendidikan adalah menciptakan atmosfir belajar. Sekolah-sekolah
memang seyogyanya menjadi tempat yang lekat dengan atmosfir belajar. Namun faktanya
tidak ada jaminan bahwa sekolah-sekolah tersebut telah mampu menciptakan
atmosfir belajar. Saya memiliki hipotesis bahwa banyak peserta didik yang tidak
merasakan atmosfir belajar yang kuat di sekolah mereka. Padahal atmosfir belajar
yang kuat akan memacu semangat peserta didik untuk melsayakan upaya belajar
secara sadar. Di sekolah yang memiliki atmosfir belajar yang kuat, peserta
didik akan memiliki motivasi untuk belajar, dengan dorongan kuat untuk terus
berkembang dan meningkatkan kecakapan serta pengetahuan. Sementara atmosfir
belajar yang lemah akan berpengaruh terhadap lemahnya dorongan untuk belajar
para peserta didik. Kondisi lemahnya dorongan untuk belajar akan lebih parah ketika
selain lemahnya atmosfir belajar di sekolah, peserta didik juga tidak
mendapatkan atmosfir belajar yang baik di rumah atau tempat tinggal mereka. Ini
adalah tantangan nyata para pendidik dan pembuat kebijakan dalam dunia pendidikan.
Lantas, apa cara yang dapat dilsayakan oleh sekolah
untuk menciptakan atmosfir belajar? Ini adalah pertanyaan penting yang menjadi
inti bahasan dalam artikel ini.
Peserta didik adalah individu yang memiliki beragam
interest. Maka, upaya-upaya yang dilsayakan oleh sekolah untuk mewujudkan
atmosfir belajar harus mengakomodir keberagaman interest peserta didik. Ide pertama
untuk meningkatkan atmosfir belajar peserta didik adalah melalui pembudayaan
riset. Peserta didik semestinya diarahkan untuk melsayakan aktivitas-aktivitas
penciptaan pengetahuan. Bukan hanya sekedar sebagai penerima pengetahuan. Riset
adalah inti dari terciptanya pengetahuan. Riset seringkali dimaknai sebagai hal
yang rumit. Sehingga, ada stereotype yang melekat kuat pada kata “riset”. SALAM
(Sekolah Alam), sebuah sekolah yang terletak di Sleman, Yogyakarta, bisa
menjadi model sekolah yang membudayakan kegiatan riset bagi para peserta didiknya.
Peserta didik-peserta didik di SALAM terbiasa melsayakan riset, karena mereka
memang diarahkan untuk terbiasa melsayakan riset. Riset-riset mereka dilsayakan
secara sederhana. Prinsip dasar dari riset adalah menjawab pertanyaan yang
muncul atas fenomena alam atau social. Pelaksanaan riset oleh peserta didik
bisa dilsayakan melalui tahapan-tahapan sederhana yang meliputi munculnya pertanyaan,
referensi teoritis, metodologi, dan pelaksanaan, serta pelaporan. Hasil riset
tersebut harus diberi wadah untuk publikasi dan diseminasi. Selain itu, peserta
didik juga harus diberi apresiasi atas karya riset yang mereka ciptakan. Selesainya
kegiatan riset yang berujung pada dihasilkannya suatu produk ternyata
memunculkan efek psikologis positif pada para peserta didik pelsaya rist, yaitu
berupa sense of accomplishment dan sense of winning. Efek psikologis atas sense of winning dan sense of accomplishment sudah dijelaskan oleh berbagai literature ilmiah.
Berdasarkan fakta yang ada di sekolah SALAM, kegiatan riset memiliki efek candu
yang positif. Peserta didik yang terbiasa melakukan kegiatan riset merasakan kepuasan
dan terdorong untuk melakukan lebih banyak kegiatan riset lainnya.
Sekolah semestinya mampu untuk menciptakan iklim riset
yang menyenangkan bagi para peserta didik. Topic-topik riset bisa
beragam,sesuai dengan minat para peserta didik. Ada riset yang berkaitan dengan
bidang biologi, fisika, kimia, medis, kewirausahaan, olahraga, seni, antropologi,
sejarah dan sebagainya. Tidak hanya berhenti pada pembudayaan riset, sekolah
juga perlu menyelenggarakan event lomba karya ilmiah. Kegiatan tersebut bisa
dilsayakan satu kali dalam setahun. Event seperti itu bisa menjadi motivasi
untuk para peserta didik melsayakan riset. Selain itu, kegiatan riset ini sangat
bisa mengasah kecakapan abad 21 yang mencsayap kolaborasi, komunikasi,
kreativitas, berpikir kritis dan problem
solving, serta bisa mengasah berbagai aspek karakter positif peserta didik.
Jika kegiatan riset di sekolah berkembang, maka atmosfir belajar akan
berkembang lebih baik pula.
Ide kedua adalah menggiatkan aktivitas literasi. Ide ini
terkesan klise, karena adanya
pemahaman umum bahwa sekolah tentu merupakan komunitas yang lekat dengan
kegiatan yang berhubungan dengan literasi. Memang benar bahwa sekolah
semestinya merupakan entitas yang lekat dengan literasi. Apalagi pemerintah,
melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan, menggaungkan literasi di
sekolah. Namun, jika mau jujur, tidak ada jaminan bahwa sekolah memiliki budaya
literasi yang tinggi. Berapa persen peserta didik yang suka dengan kegiatan
membaca dan menulis? Berapa banyak guru/pendidik yang lekat dengan kebiasaan
membaca dan menulis? Memang, literasi
tidak hanya soal membaca dan menulis. Literasi memiliki makna luas. Namun, setidaknya
membaca dan menulis adalah hal paling sederhana yang bisa menjadi indicator dasar
dari kuat atau lemahnya budaya literasi. Jika kebiasaan membaca dan menulis di
suatu komunitas rendah, maka bisa disimpulkan bahwa literasi di komunitas
tersebut rendah. Membaca dan menulis di sini bukan bermakna sempit sebatas
menulis untuk mengerjakan soal, atau membaca untuk mencari jawaban atas soal di
sebuah mata pelajaran. Membaca di sini dimaknai sebagai aktivitas mencari
pengetahuan untuk menambah wawasan atau untuk kemudian diaplikasikan dalam
konteks kehidupan sehari-hari. Menulis di sini juga tidak dimaknai hanya
sebagai aktivitas menulis terbatas sebagaimana yang dilsayakan dalam kegiatan
pembelajaran di kelas, melainkan menulis dalam csayapan yang lebih luas. Misalnya,
menulis artikel ilmiah, menulis karya fiksi, menulis karya non-fiksi, dan
sebagainya. Kampanye literasi ini bisa diwujudkan pula dalam bentuk kegiatan
ekstrsayarikuler. Saya pernah merintis kegiatan Reading Community (komunitas baca). Berbagai program yang dilsayakan
oleh komunitas tersebut diantaranya adalah bedah buku, bedah film, training
menulis, dan program lainnya. Komunitas tersebut sedianya diarahkan untuk
menjadi sebuah ekstrsayarikuler. Andai mendapatkan dukungan dari sekolah, maka Reading Community semestinya bisa
menjadi wadah strategis untuk mengkampanyekan literasi. Ide bagus saja tidak
cukup, kecuali didukung oleh banyak pihak untuk mewujudkannya.
Upaya ketiga untuk menciptakan atmosfir belajar yang bagus adalah pengarahan visi masa depan para peserta didik. Saat mulai masuk sekolah di tahun pertama, peserta didik semestinya diarahkan untuk memiliki visi yang jelas tentang apa yang akan mereka lsayakan setelah lulus sekolah. Dengan pengarahan ini, peserta didik akan terdorong untuk memiliki misi yang jelas yang harus dilsayakan selama menjalani 3 tahun sekolah, agar visi merkea bisa tercapai. Sekolah-sekolah di bawah naungan Yayasan Insan Cendekia bisa menjadi role model yang bagus dalam hal pengarahan visi peserta didik. Sejak masuk di tahun pertama sekolah, para peserta didik diarahkan untuk menentukan di perguruan tinggi mana mereka akan melanjutkan studi. Berbagai informasi tentang peluang beapeserta didik studi lanjut ke berbagai perguruan tinggi luar negeri dan dalam negeri dipaparkan oleh pihak sekolah kepada para peserta didik. Dengan ini, para peserta didik memiliki gambaran dini tentang perguruan tinggi yang nantinya mereka akan pilih. Kejelasan visi studi lanjut tersebut membuat para peserta didik paham dengan jelas tentang apa saja yang harus mereka upayakan untuk bisa mewujudkan impian kuliah di perguruan tinggi idaman. Menyadari bahwa berbagai persyaratan akademik harus mereka penuhi untuk mencapai target kuliah di perguruan tinggi idaman tersebut, para peserta didik akan dengan termotivasi untuk belajar dengan giat. Dengan kejelasan visi, atmosfir belajar di sekolah tercipta. Bahkan peserta didik-peserta didik yang tadinya memiliki motivasi belajar rendah pun bisa termotivasi untuk belajar, ketika mereka berada di lingkungan para pembelajar. Itu lah energi positif dari atmosfir belajar.
Sebenarnya, masih banyak ide tentang upaya untuk menciptkaan atmosfir belajar yang bagus. Namun setidaknya ketiga ide di atas cukup untuk menunjang terciptanya atmosfir belajar, andai benar-benar dilaksanakan dengan baik. Sekolah adalah tempat yang sangat diharapkan untuk bisa memfasilitasi belajar para peserta didik. Maka, sudah semestinya sekolah berupaya untuk menciptakan atmosfir belajar yang kuat. Sehingga, setelah menjalani masa sekolah, peserta didik memperoleh berbagai kecakapan yang berguna untuk menghadai berbagai tantangan hidup serta memiliki karakter yang sesuai dengan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar