Jumat, 29 April 2016

Meluruskan Orientasi Pendidikan


Saya teringat kata-kata bijak `` sesungguhnya apa yang kita lakukan hari ini adalah cerminan masa depan``. Dengan kata lain, seperti apa warna masa depan kita ditentukan oleh apa yang kita lakukan di masa sekarang. Begitu pula, apa yang terjadi pada kita di masa sekarang merupakan wujud hasil atas apa yang kita lakukan di masa sebelumnya. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan bahwa kita (bangsa indonesia) salah orientasi. Dulu, ketika masih kecil, banyak orangtua yang berpesn pada anaknya ``sekolah yang pintar ya, nak, biar nanti dapet kerjaan yang bagus``. Bahkan ada pesan yang lebih spesifik ``sekolah yang pintar ya nak, biar nanti bisa jadi pegawai``. Pesan tersebut seolah menjadi kata-kata terbijak hingga diiyakan orangtua dan meyebar secara merata di berbagai penjuru negeri. 

Hasilnya, banyak anak bersekolah dengan niatan untuk nantinya menjadi seorang pekerja/pegawai dengan gaji yang banyak. Jangan dikira pesan tersebut berhenti di telinga saja. Ternyata, Implikasinya banyak. Kini, ketika orang-orang pribumi indonesia berlomba-lomba agar masuk tes pegawai negeri sipil, atau sibuk menaftarkan diri di berbagai lowongan pekerjaan, justru para pendatang yang kemudian hari mendapatkan Kartu Tanda Penduduk sebagai Warga Negara Indonesia menguasai simpul-simpul strategis ekonomi di negeri ini. Lantas, sang pribumi teriak lantang, ``kalian para pendatang adalah penjajah di negeri ini``. Sebuah ungkapan kekesalan karena merasa termarjinakan secara ekonomi oleh para pendatang. 

Memang sungguh ironi. Dimana-mana, pemilik rumah sudah selazimnya menjadi pengontrol penuh atas apapun yang ada di rumah yang dimilikinya. Tapi ini seperti kisah pemilik rumah yang dengan terpaksa kadang harus rela menjadi pembantu di rumahnya sendiri. Namun sebenarnya itu semua berawal dari kesalahan orientasi bangsa indonesia (pribumi). Andai bangsa indonesia bermental mandiri seperti kebanyan masyarakat Padang, Sumatera Barat, mungkin akan lain ceritanya. 

Tidak berhenti di situ. Implikasi lainnya masih ada. Banyaknya orang pintar namun minus kejujuran bisa jadi juga efek dari salah orientasi bangsa ini. Sepertinya bukan karena saya kurang gaul atau kurang memahami sejarah. Namun memang benar-benar tak ada kata-kata bijak dari generasi sebelumnya yang menekankan pentingnya kejujuran/integritas secara membumi. Andai boleh diralat, maka pesan-pesan membumi yang disampaikan orangtua kepada anaknya mustinya lebih lengkap. Yaitu agar generasi selanjutnya berusaha untuk menjadi pribadi berpendidikan dan berahklak mulia. 

Contoh kesalahan orientasi lainnya adalah orientasi kebarat-baratan. Memandang segala sesuatu yang datang dari luar (khususnya Barat) sebagai sesuatu yang keren dan layak ditiru. Kita sering kali terlalu permisif dan latah terhadap hal yang berasal dari luar. Kata orang, ``kalo gak ikut trend maka gak ``kekinian``.Sayangnya hal tersebut tak diimbangi dengan penghargaan dan pelestarian berbagai kearifan lokal yang sejatinya sudah menjadi identitas bangsa. Maka yang terjadi adalah remaja yang lebih akrab dengan K-Pop, drama korea, western fashion, yang sangat jauh melebihi keakrabannya dengan segala hal yang bernuansa daerah/lokal. Terlihat seperti ada inferioritas masal. Seolah semua yang berbau lokal dan daerah punya konotasi negatif, ketertinggalan atau ``ke-jadul-an``. Sedangkan semua yang berbau asing lekat dengan istilah baru yang jamak dipakai, yaitu ``kekinian``. Ketika ada negara lain yang mengklaim kepemilikan sebagian budaya daerah kita, lantas tiba-tiba teriak lantang histeris dengan berbagai sumpah-serapah, ``Dasar kau bangsa maling!!``, serasa menjadi pribadi yang paling nasionalis. Padahal, sehebat apapun maling, dia tak akan beraksi kalo yang punya rumah selalu siaga dan menjaga secara maksimal segala hal yang ada di rumahnya.

Hal yang diyakini mampu merubah orientasi dan mindset masyarakat adalah pendidikan. Bukan pendidikan yang salah desain, melainkan pendidikan yang mengarahkan orientasi masyarakat dengan benar. Pendidikan yang mencerdaskan, memberayakan jiwa mandiri, menumbuhkan karakter mulia, dan meningkatkan jiwa cinta serta peduli terhadap eksistensi identitas bangsa. 

Pendidikan mustinya menjadikan manusia menjadi mandiri, bukan diarahkan secara sempit agar manusia menjadi jongos bgi manusia lainnya. 

Pendidikan semestinya menjadikan manusia kritis, bukan menjadikan manusia apatis terhadap dinamika keadaan sekitar serta pesimis dalam menghadapi berbagai tantangan. Pendidikan semestinya menjadikan manusia mampu memilih dengan bijak, atau mampu menciptakan pilihan baru ketika pilihan yang ada tak ada yang sesuai selera. bukan menjadikan manusia terpojok dengan pasrah pada pilihan terbatas. 

Pendidikan semestinya menjadikan manusia cerdas namun menyadari eksistensinya sebagai makhluk yang diciptakan dan memiliki tanggungjawab terhadap penciptanya, bukan makhluk yang merasa cerdas dan mendewakan akal. 

Pendidikan mustinya menjadikan manusia berkarakter mulia, yang memahami hak dan kewajiban terhadap diri dan sesama.

Pendidikan semestinya menjadikan manusia senantiasa bangga dengan identitasnya, dan dengan sikap nasionalis yang tinggi berusaha melestarikannya.


Andai pendidikan di negeri kita berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip tadi, maka bangsa niscaya ini menjadi bangsa yang mandiri, maju dan mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang sudah maju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar