Sabtu, 16 April 2016

Karakter dan lalu lintas di Jepang

Saya merasa beruntung berkesempatan untuk mengenyam pendidikan di jepang melalui program monbukagakusho. Bukan semata karena dengannya saya bisa mewujudkan beberapa mimpi jalan-jalan ke berbagai tempat menarik di jepang, melainkan juga karena kesempatan selua-luasnya yang saya bisa dapatkan untuk belajar tentang berbagai hal di jepang. 
Saya termasuk orang yang meyakini bahwa interaksi dengan lingkungan baik secara langsung maupun secara tak langsung lah yang lebih bisa memberikan pendidikan bagi kita ketimbang sekolah atau lembaga pendidikan formal. Ada satu hal yang menarik untuk diamati dan karenanya menjadi ide bagi saya untuk membahasnya di tulisan ini. hal tersebut dalah tentang ketertiban berlalulintas di jepang. 
Jepang termasuk negara yang sangat memperhatikan pengakomodiran terhadap masyarakat dalam membangun sistem lalulintas. Baru pertama kali saya menyaksikan sendiri ada konstruksi lalulintas yang sangat memperhatikan kaum disabilitas, seperti tunanetra dan pengendara kursi beroda. Para penyandang tunanetra pasti sangat terbantu dengan konstruksi trotoar di jeoang yang memungkinkan mereka bisa berjalan mengikuti track yang bisa mereka lalui. Trotoar di jeang didesain sangat bagus dan cukup lebar. Ada bagian yang diperuntukkan bagi pengendara sepeda, ada track yang diperuntukkan bagi penyandang tunanetra, ada bagian yang diperuntukkan bagi pejalan kaki dan pengendara kursi roda. Barangkali orang berpikir bagaimana kalau para penyandang tunanetra ingin menyeberang, sementara mereka tak mengetahui sisi mana dari track yang mereka lalui yang merupakan titik penyeberangan. Di jepang, titik penyebrangan pada bagian trotoar juga dilengkapi dengan penanda khusus berupa ubin yang memiliki pola tertentu, yang bisa diraba oleh kaki sang tunanetra.


Trotoar-trotoar di jepang juga benar-benar digunakan sesuai dengan peruntukannya, yaitu untuk masyarakat yang tak mengendarai kendaraan bermotor. Tak nampak sama sekali ada aktivitas berdagang sebagaimana trotoar di indonesia yang umumnya dimanfaatkan oleh para pedagang kaki lima untuk menjajakan dagangannya, hingga pejalan kaki tetap harus turun ke bagian tepi jalan yang dilewati kendaraan bermotor. 

Hal yang menarik adalah perilaku masyarakat dalam berlalulintas. Di jepang, jumlah lampu lalu lintas sangat lah banyak, bukan hanya terletak di perempatan atau pertigaan jalan besar saja, melainkan di jalan yang relatif kecil, yang kalau di indonesia umumnya lebin sering disebut dengan `gang`. Di setiap lalu lintas dilengkapi pula dengan pengatur pejalan kaki, kapan mereka boleh menyeberang dan kapan mereka boleh berhenti. Karena begitu banyaknya lampu lalulints di jalanan di jepang, maka seringkali bepergian menggunakan kendaraan pribadi membutuhkan waktu yang sangat lama. Waktu tempuh mobil yang lama kerap disebabkan bukan oleh macetnya jalanan, karena memang sangat jarang terjadi kemacetan, melainkan karena mereka harus berhenti di banyak sekali titik lampu lalu lintas. Itulah mengapa masyarakat Jepang sangat banyak yang lebih mengandalkan transportasi publik seperti kereta bawah tanah atau kereta biasa.

Seringkali saya dapati orang-orang tetap berhenti menunggu lampu lalulintas untuk menyala hijau, meski sebenarnya taktampak ada pengguna jalan lain yang sedang atau hendak menyeberang. Bisa saja mereka berpikir bahwa untuk apa berhenti lama menunggu lampu hijau jika langsung menyeberang saja tetap aman. Tapi hal tersebut tak mereka lakukan. dan sikap seperti itulah yang sepertinya menjadikan lalulintas di jepang begitu tertib dan minus angka kecelakaan.

Entah darimana terbentuknya perilaku tertib tersebut berawal. Hal itu lah yang menarik minat saya untuk lebih mendalami tentang pembentukan perilaku tertib di jepang. Aapakah dimulai dari lembaga pendidikan formal seperti sekolah, pendidikan keluarga, ataukah sudah menjadi budaya yang terbentuk jauh sebelum peradaban modern tumbuh di jepang.

Sepertinya, tingginya angka kecelakaan lalulintas berhubungan dengan karakter masyarakat dalam menyikapi ego masing-masing. Di negara-negara berkembang, jamak terjadi pengendara yang main serobot begitu saja untuk cepat-cepaat sampai ke tujuan, tanpa dengan hati-hati mengindahkan hak pengguna jalan yang lain. Kasus seperti mobil terseret kereta, motor tertabrak mobil, atau tabrakan yang melibatkan beberapa mobil sering disebabkan oleh sikap mengedepankan ego masing-masing yang dimiliki oleh pengendara, kerap terjadi. 




Saya percaya bahwa kehebatan suatu bangsa tak semata ditentukan oleh kemajuan peradaban teknologi dan karya-karya fisiknya, namun juga keluhuran budi pekerti serta karakter positif yang mereka miliki. Apa jadinya jepang jika kehebatan sistem transportasi mereka tak ditunjang dengan karakter positif masyarakatnya yang mau berdisiplin mengikuti aturan berlalulintas? dengan demikian, pentingnya pendidikan karakter bukan semata menjadi domain formalitas dalam teks-teks materi pelajaran dalam pendidikan formal, namun harus benar-benar diimplementasikan agar masyarakat suatu bangsa menjadi manusia yang berbudaya dan berarakter positif. Dengan karakter-karakter positif yang mereka miliki, maka aspek kemajuan lainnya bisa tertunjang dengan baik. 








Tidak ada komentar:

Posting Komentar