Pagi
itu ku ajukan satu pertanyaan sederhana untuk mereka jawab secara
spontan. Namun, setelah pertanyaan itu aku ajukan tak ada satupun yang
langsung menyampaikan jawaban. Kemudian, kuberikan mereka jeda
sekitar satu menit untuk mempersiapkan jawaban atas pertanyaan tadi,
barangkali mereka perlu me-recall memori barang sejenak. Kali ini ada jawaban, namun hanya sedikit yang mengutarakan jawabannya.
Pertanyaannya sederhana, “what are your dreams? Tell me please!”
Meskipun pertanyaannya sederhana, namun ternyata susah untuk mereka jawab. Keraguan mereka dalam memberikan jawaban membuat aku menyimpulkan bahwa bermimpi itu sulit, bagi mereka. Setidaknya statemen ini berlaku dalam studi kasus tersebut. Namun, bisa juga statemen ini nyata mewakili kondisi riil manusia, yaitu sulit bermimpi. Barangkali lebih tepat jika digunakan kata “takut bermimpi” ketimbang sulit bermimpi.
Pada kenyataannya, banyak manusia yang takut bermimpi. Hal tersebut bukan tanpa sebab. Karena begini... Pikiran manusia merupakan produk lingkungan. Apa-apa yang menjadi paradigma lingkungan seringkali berpengaruh terhadap cara berpikir seseorang. Dahulu, dan bahkan mungkin hingga sekarang, banyak orang tua yang mengatakan “mimpi itu jangan terlalu tinggi, nanti kalo jatuh terasa sakit luar biasa”
Kalimat tersebut seolah-olah menjadi kata bijak, hingga mereka yang tidak dalam-dalam mencernanya bisa take it for granted (memahami secara mentah-mentah). Menurutku, itu kalimat yang keliru. Bung Karno pernah bilang “gantungkan cita-citamu setinggi langit!” itu adalah kalimat yang disampaikan oleh orang besar. Orang besar biasanya bertanggungjawab atas apa yang diucapkannya. Beliau menyampaikan kalimat tersebut secara lantang tentunya bukan tanpa sebab. Jika memiliki cita-cita itu tidak begitu penting, mana mungkin Bung Karno rela mengutarakannya secara lantang di depan khalayak. Diucapkannya kalimat tersebut oleh Bung Karno menyuiratkan ahwa bercita-cita itu sanat penting. Cita-cita kan sama dengan mimpi/impian. Berarti ya impian itu sangat penting. Haha..klise banget kalimatnya...
Kenapa topik ini perlu dibahas? Tulisan ini dibuat dengan harapan bisa memberikan iluminasi bagi banyak orang yang masih takut bermimpi tinggi. Karena ya nyatanya banyak orang yang takut bermimpi. Takut memiliki cita-cita tinggi. Mereka merendahkan diri sendiri dengan merasa bahwa mereka tidak layak untuk memiliki impian besar. Seandainya mereka menyadari bahwa impian sebesar apapun yang dimiliki oleh siapapun bisa terwujud, maka bermimpi bisa menjadi hal yang mudah bagi mereka.
Lantas, mengapa banyak orang yang takut bermimpi? Jawabanya adalah karena mereka takut mengalami satu fase menuju keberhasilan yang bernama “gagal”. Di negeri tercinta ini, “gagal” ternyata masih menjadi momok menakutkan yang seolah-olah wajib dihindari. Ketakutan massal akan kegagalan semakin menjadi-jadi dengan dukungan penuh dari buku-buku, seminar-smeinar, atau ceramah-ceramah yang memberikan tips anti-gagal dalam berbagai aspek kehidupan baik dalam bisnis, hubungan/interaksi sosial maupun dalam berbagai aspek hidup lainnya. Itu semua adalah sumber-sumber ilmu yang seharusnya jadi acuan. Namun, tidak sepenuhnya mengarahkan kita unutk bersikap secara bijak dan tepat dalam bertindak. Kita memang harus benar-benar kritis dalam mencerna sumber pengetahuan.
Dengan ketakutan akan kegagalan tersebut maka lahirlah secara masal pameo “biar sedikit yang penting lancar”, “biar miskin asal bahagia”, dan “terimalah apa adanya”. Disini saya tidak menyarankan untuk tidak bersikap qona’ah. Qona’ah itu kan kalo kita sudah berusaha mentok, kemudian tinggal menunggu jawaban dari sang Maha Pencipta, baru kita perlu berqona’ah. Selama kita masih bisa merubah keadaan, ya prinsip yang kita pakai jangan qona’ah dulu, tapi sikap ikhtiar dan sabar, baru kemudian tawakal. (hehe...sory, pembahawannya mulai nglantur. Sok dakwah. Tapi insya Alloh tidak kehilangan esensi).
Ada korelasi positif antara mimpi dan imaginasi. Keduanya sangat nyata perannya dalam perkembangan peradaban manusia. Ratusan tahun yang lalu, siapa yang bakal menyangka bahwa beberapa ratus tahun kemudian manusia bisa terbang menggunakan benda yang sangat berat. Logika yang mereka pakai adalah bahwa bumi ini memiliki gaya grafitasi tinggi. Sehingga disimpulkan bahwa benda berat tidak mungkin bisa terbang tinggi. Hingga kemudian terlahirlah dua pemimpi besar yaitu wright bersaudara dari amerika. Ketika mereka berdua mengutarakan keinginan dan impian mereka untuk menciptakan pesawat terbang, mereka malah menjadi object of ridicule (bahan tertawaan). Mereka dianggap gila. Namun sebagaimana sudah menjadi sunatulloh, bahwa ide-ide besar seringkali dianggap sebagai kegilaan pada awal mula dicetuskan. Namun, semua orang mengiyakan dan terperangah ketika ide gila tersebut terwujud. Berawal dari mimpi dan imaginasi, banyak keajaiban terjadi di muka bumi ini.
Seberapa pentingkah imaginasi?
Imaginasi is more important than knowledge, begitu kata Albert Einstein. Pernyataan tersebut tidak ngarang, tapi muncul berdasarkan pemahaman yang dalam. Kemunculan hal-hal baru dalam peradaban manusia sering diawali dengan imaginasi. Mengapa imaginasi dikatakan le bih penting dari pengetahuan (knowledge)? Karena pengetahuan merupakan sebuah produk jadi yang manusia tinggal memahaminya. Sementara, imaginasi adalah fase awal terbentuknya penciptaan baru, yang akan menjadi acuan bagi terbentuknya pengetahuan baru. Kata imaginasi “lebih penting” dari pengetahuan bukan berarti menafikkan pentingnya pengetahuan. Pengetahuan penting juga. Namun perlu disadari bahwa imaginasi nyatanya merupakan awal terbentuknya masterpiece baru dalam kehidupan. So, setujui saja lah pernyataan Einstein! Gitu aja ko repot.
Hmm..makin lama tulisan ini makin melebar. Haha... tidak apa-apa lah. Toh semua poin masih saling berkaitan. Sekarang, poin yang perlu diobrak-abrik lagi adalah “untuk apa kita musti takut bermimpi”, toh impian itu gratis.
Untuk jawaban atas pertanyaan tersebut, perlu diuraikan secara sekuensial. Apa sih penyebab ketakutan untuk bermimpi? Jawabannya adalah ketidaksiapan diri untuk mengalami kegagalan dalam berproses. Banyak pakar psikologis yang memberi motivasi agar orang tidak takut gagal dengan menyampaikan kalimat-kalimat seperti
-kegagalan adaah awal dari keberhasilan
-kegagalan adalah sukses yang tertunda
-kegagalan adalah bagian dari proses
Dan sebagainya.
Ternyata, semakin sering dan semakin jamak orang mendengar kalimat sugestif tersebut, semakin terasa klise dan hambar lah kalimat tersebut. Kalimat tersebut makin terasa hilang maknanya. Orang bahkan mungkin bosan mendengarnya. Nah..dalam tulisan ini, ada seruan untuk berani menghadapi kegagalan, tapi dengan pendekatan yang berbeda. Semoga terlepas dari kesan klise, hingga benar-benar bisa nyenggol mindset (pikiran) dan alam bawah sadar manusia.
Begini...
Manusia kan hidup di dunia hanya satu kali. ya sih, ada kesempatan hidup lagi, tapi itu bukan berupa reinkarnasi (keyakinan saya loh), melainkan berupa kehidupan di akhirat. Itupun di akhirat manusia sudah tidak bisa merubah warna hidupnya, karena apa yang bakal terjadi di sana hanya dalam bentuk reward and punishment atas segala perbuatan manusia selama hidup di dunia.
Coba pilih! Ingin hidup biasa-biasa saja atau ingin hidup luar biasa? Terserah sih ingin milih yang mana.
“Life is a matter of choice, and every choice has its own consequence”
Milih manapun terserah. Tapi, saya yakin bahwa kata hati setiap manusai akan lebih memilih untuk hidup secara luar biasa. Eman-eman jika hidup di dunia yang hanya sekali ini dijalani tanpa ada kejutan, masterpiece, prestasi besar, kebanggaan, dan hal-hal menakjubkan lainnya. Lawan dari biasa adalah luarbiasa. Hal biasa selalu terjadi dengan proses standar. Sementara hal luarbiasa selalu terjadi karena proses yang luar biasa pula. Hidup tanpa impian bakal berimp0likasi pada hidup biasa-biasa saja. Semenata hidup dengan impian besar merupakan cikal bakal terwujudnya kehidupan yang luar biasa. Makanya, hidup yang hanya sekali ini, jadikan ia berarti.
Akhirnya, ingin ku sampaikan bahwa gagal dan berhasil itu ternyata adalah saudara yang saling melengkapi dan menguatkan satu sama lain. Keduanya ibarat dua sisi uang koin yang tak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Membenci gagal sama halnya dengan menafikkan takdir. Bisakah kita mengakui satu sisi dari mata uang kemudian tidak mengakui yang satunya? Tidak,kan? Marilah kita berani menetapkan impian, dan bertanggungjawab penuh untuk mewujudkan impian tersebut, apapun konsekuensinya dan seberapapun harganya. Istilah western nya “whatever it takes!”...
Let's dare to dream!
With love
Pertanyaannya sederhana, “what are your dreams? Tell me please!”
Meskipun pertanyaannya sederhana, namun ternyata susah untuk mereka jawab. Keraguan mereka dalam memberikan jawaban membuat aku menyimpulkan bahwa bermimpi itu sulit, bagi mereka. Setidaknya statemen ini berlaku dalam studi kasus tersebut. Namun, bisa juga statemen ini nyata mewakili kondisi riil manusia, yaitu sulit bermimpi. Barangkali lebih tepat jika digunakan kata “takut bermimpi” ketimbang sulit bermimpi.
Pada kenyataannya, banyak manusia yang takut bermimpi. Hal tersebut bukan tanpa sebab. Karena begini... Pikiran manusia merupakan produk lingkungan. Apa-apa yang menjadi paradigma lingkungan seringkali berpengaruh terhadap cara berpikir seseorang. Dahulu, dan bahkan mungkin hingga sekarang, banyak orang tua yang mengatakan “mimpi itu jangan terlalu tinggi, nanti kalo jatuh terasa sakit luar biasa”
Kalimat tersebut seolah-olah menjadi kata bijak, hingga mereka yang tidak dalam-dalam mencernanya bisa take it for granted (memahami secara mentah-mentah). Menurutku, itu kalimat yang keliru. Bung Karno pernah bilang “gantungkan cita-citamu setinggi langit!” itu adalah kalimat yang disampaikan oleh orang besar. Orang besar biasanya bertanggungjawab atas apa yang diucapkannya. Beliau menyampaikan kalimat tersebut secara lantang tentunya bukan tanpa sebab. Jika memiliki cita-cita itu tidak begitu penting, mana mungkin Bung Karno rela mengutarakannya secara lantang di depan khalayak. Diucapkannya kalimat tersebut oleh Bung Karno menyuiratkan ahwa bercita-cita itu sanat penting. Cita-cita kan sama dengan mimpi/impian. Berarti ya impian itu sangat penting. Haha..klise banget kalimatnya...
Kenapa topik ini perlu dibahas? Tulisan ini dibuat dengan harapan bisa memberikan iluminasi bagi banyak orang yang masih takut bermimpi tinggi. Karena ya nyatanya banyak orang yang takut bermimpi. Takut memiliki cita-cita tinggi. Mereka merendahkan diri sendiri dengan merasa bahwa mereka tidak layak untuk memiliki impian besar. Seandainya mereka menyadari bahwa impian sebesar apapun yang dimiliki oleh siapapun bisa terwujud, maka bermimpi bisa menjadi hal yang mudah bagi mereka.
Lantas, mengapa banyak orang yang takut bermimpi? Jawabanya adalah karena mereka takut mengalami satu fase menuju keberhasilan yang bernama “gagal”. Di negeri tercinta ini, “gagal” ternyata masih menjadi momok menakutkan yang seolah-olah wajib dihindari. Ketakutan massal akan kegagalan semakin menjadi-jadi dengan dukungan penuh dari buku-buku, seminar-smeinar, atau ceramah-ceramah yang memberikan tips anti-gagal dalam berbagai aspek kehidupan baik dalam bisnis, hubungan/interaksi sosial maupun dalam berbagai aspek hidup lainnya. Itu semua adalah sumber-sumber ilmu yang seharusnya jadi acuan. Namun, tidak sepenuhnya mengarahkan kita unutk bersikap secara bijak dan tepat dalam bertindak. Kita memang harus benar-benar kritis dalam mencerna sumber pengetahuan.
Dengan ketakutan akan kegagalan tersebut maka lahirlah secara masal pameo “biar sedikit yang penting lancar”, “biar miskin asal bahagia”, dan “terimalah apa adanya”. Disini saya tidak menyarankan untuk tidak bersikap qona’ah. Qona’ah itu kan kalo kita sudah berusaha mentok, kemudian tinggal menunggu jawaban dari sang Maha Pencipta, baru kita perlu berqona’ah. Selama kita masih bisa merubah keadaan, ya prinsip yang kita pakai jangan qona’ah dulu, tapi sikap ikhtiar dan sabar, baru kemudian tawakal. (hehe...sory, pembahawannya mulai nglantur. Sok dakwah. Tapi insya Alloh tidak kehilangan esensi).
Ada korelasi positif antara mimpi dan imaginasi. Keduanya sangat nyata perannya dalam perkembangan peradaban manusia. Ratusan tahun yang lalu, siapa yang bakal menyangka bahwa beberapa ratus tahun kemudian manusia bisa terbang menggunakan benda yang sangat berat. Logika yang mereka pakai adalah bahwa bumi ini memiliki gaya grafitasi tinggi. Sehingga disimpulkan bahwa benda berat tidak mungkin bisa terbang tinggi. Hingga kemudian terlahirlah dua pemimpi besar yaitu wright bersaudara dari amerika. Ketika mereka berdua mengutarakan keinginan dan impian mereka untuk menciptakan pesawat terbang, mereka malah menjadi object of ridicule (bahan tertawaan). Mereka dianggap gila. Namun sebagaimana sudah menjadi sunatulloh, bahwa ide-ide besar seringkali dianggap sebagai kegilaan pada awal mula dicetuskan. Namun, semua orang mengiyakan dan terperangah ketika ide gila tersebut terwujud. Berawal dari mimpi dan imaginasi, banyak keajaiban terjadi di muka bumi ini.
Seberapa pentingkah imaginasi?
Imaginasi is more important than knowledge, begitu kata Albert Einstein. Pernyataan tersebut tidak ngarang, tapi muncul berdasarkan pemahaman yang dalam. Kemunculan hal-hal baru dalam peradaban manusia sering diawali dengan imaginasi. Mengapa imaginasi dikatakan le bih penting dari pengetahuan (knowledge)? Karena pengetahuan merupakan sebuah produk jadi yang manusia tinggal memahaminya. Sementara, imaginasi adalah fase awal terbentuknya penciptaan baru, yang akan menjadi acuan bagi terbentuknya pengetahuan baru. Kata imaginasi “lebih penting” dari pengetahuan bukan berarti menafikkan pentingnya pengetahuan. Pengetahuan penting juga. Namun perlu disadari bahwa imaginasi nyatanya merupakan awal terbentuknya masterpiece baru dalam kehidupan. So, setujui saja lah pernyataan Einstein! Gitu aja ko repot.
Hmm..makin lama tulisan ini makin melebar. Haha... tidak apa-apa lah. Toh semua poin masih saling berkaitan. Sekarang, poin yang perlu diobrak-abrik lagi adalah “untuk apa kita musti takut bermimpi”, toh impian itu gratis.
Untuk jawaban atas pertanyaan tersebut, perlu diuraikan secara sekuensial. Apa sih penyebab ketakutan untuk bermimpi? Jawabannya adalah ketidaksiapan diri untuk mengalami kegagalan dalam berproses. Banyak pakar psikologis yang memberi motivasi agar orang tidak takut gagal dengan menyampaikan kalimat-kalimat seperti
-kegagalan adaah awal dari keberhasilan
-kegagalan adalah sukses yang tertunda
-kegagalan adalah bagian dari proses
Dan sebagainya.
Ternyata, semakin sering dan semakin jamak orang mendengar kalimat sugestif tersebut, semakin terasa klise dan hambar lah kalimat tersebut. Kalimat tersebut makin terasa hilang maknanya. Orang bahkan mungkin bosan mendengarnya. Nah..dalam tulisan ini, ada seruan untuk berani menghadapi kegagalan, tapi dengan pendekatan yang berbeda. Semoga terlepas dari kesan klise, hingga benar-benar bisa nyenggol mindset (pikiran) dan alam bawah sadar manusia.
Begini...
Manusia kan hidup di dunia hanya satu kali. ya sih, ada kesempatan hidup lagi, tapi itu bukan berupa reinkarnasi (keyakinan saya loh), melainkan berupa kehidupan di akhirat. Itupun di akhirat manusia sudah tidak bisa merubah warna hidupnya, karena apa yang bakal terjadi di sana hanya dalam bentuk reward and punishment atas segala perbuatan manusia selama hidup di dunia.
Coba pilih! Ingin hidup biasa-biasa saja atau ingin hidup luar biasa? Terserah sih ingin milih yang mana.
“Life is a matter of choice, and every choice has its own consequence”
Milih manapun terserah. Tapi, saya yakin bahwa kata hati setiap manusai akan lebih memilih untuk hidup secara luar biasa. Eman-eman jika hidup di dunia yang hanya sekali ini dijalani tanpa ada kejutan, masterpiece, prestasi besar, kebanggaan, dan hal-hal menakjubkan lainnya. Lawan dari biasa adalah luarbiasa. Hal biasa selalu terjadi dengan proses standar. Sementara hal luarbiasa selalu terjadi karena proses yang luar biasa pula. Hidup tanpa impian bakal berimp0likasi pada hidup biasa-biasa saja. Semenata hidup dengan impian besar merupakan cikal bakal terwujudnya kehidupan yang luar biasa. Makanya, hidup yang hanya sekali ini, jadikan ia berarti.
Akhirnya, ingin ku sampaikan bahwa gagal dan berhasil itu ternyata adalah saudara yang saling melengkapi dan menguatkan satu sama lain. Keduanya ibarat dua sisi uang koin yang tak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Membenci gagal sama halnya dengan menafikkan takdir. Bisakah kita mengakui satu sisi dari mata uang kemudian tidak mengakui yang satunya? Tidak,kan? Marilah kita berani menetapkan impian, dan bertanggungjawab penuh untuk mewujudkan impian tersebut, apapun konsekuensinya dan seberapapun harganya. Istilah western nya “whatever it takes!”...
Let's dare to dream!
With love
Dahlan (MD)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar