Jumat, 26 Juli 2024

Betapa Teknologi Sudah Mendikte manusia

 


 

Saat berkunjung ke KL Tower awal bulan Juli ini, aku mengamati sekeluarga turis asal Indonesia. Mereka adalah sepasang suami istri dengan dua anak. Kebetulan, kami masuk dan keluar dari Observation Deck KL Tower Bersama. Saya tidak sempat berkenalan dengan mereka, namun entah kenapa aku secara tidak sengaja mengamati mereka.

Hal yang aku amati dari mereka adalah aktivitas mereka selama berada di area KL Tower. Aku melihat betapa mereka “effort” banget untuk mengambil foto. Pengambil foto adalah sang ayah. Satu demi satu anggota keluarga difoto. Ketika sang ayah ingin foto sendiri, dia nampak lebih memilih untuk mempercayakan tugas pemotretan kepada fitur “timer” kamera, daripada anak atau istrinya.

Berbagai pose foto dilakukan. Bahkan setiap orang melakukan berbagai take foto. Yang aku simpulkan dari perilaku mereka adalah bahwa mereka menikmati berkunjung ke KL Tower tersebut dengan berfoto. Nampak jelas focus mereka hanya mengabadikan gambar dan video, alih-alih duduk sejenak menikmati pemandangan kota dari ketinggian di Observatory Deck tersebut. Selain keluarga tersebut, sebenarnya ada banyak pengunjung yang nampak hanya focus pada urusan mengabadikan momen melalui pengambilan foto dan video.

Aku, memang beberapa kali mengabadikan momen berada di tempat tersebut dengan ambil gambar selfie dan meminta tolong teman untuk mengambilkan gambar dan video. Namun aku merasa cukup dengan ambil beberapa pose foto saja. Selebihnya, aku habiskan waktu lebih banyak untuk benar-benar menikmati pemandangan indahnya kota yang nampak jelas dari ketinggian.

Yang aku simpulkan dari peristiwa tersebut adalah betapa banyak manusia sudah didikte oleh teknologi. Mereka tidak lagi menikmati tempat wisata dengan bergumul dengan tempat wisata tersebut. Mereka lebih memilih mengabadikan momen berkunjung ke tempat wisata tersebut dengan mengambil foto dan video sebanyak-banyaknya untuk dibagikan ke media social. Dorongan untuk mencari validasi kebahagiaan di media social nampak lebih besar ketimbangan keinginan untuk menikmati wisata melalui bercumbu dengan suasana tanpa kamera.

Dulu aku sempat seperti keluarga yang kuamati itu. setiap berwisata, atau berkunjung ke tempat baru yang indah, aku pastikan wajah atau badanku ada di jepretan kamera. Aku berusaha mencari validasi dari public, untuk meraih kekaguman orang lain atas kemampuanku bisa berada di tempat-tempat tersebut. Seiring berjalannya waktu, caraku menikmati tempat wisata sudah tidak lagi foto-oriented. Aku lebih suka menikmati suasana, entah itu berjalan pelan menyusuri pantai sembari menikmati semilirnya angin, duduk santai di sebuah cafĂ© di Kintamani menikmati pemandangan gunung Batur dengan secangkir kopi dan teman bicara, menyusuri jalanan sempit dimana aku bisa melihat kekhasan dari budaya yang ada di daerah tersebut,  menikmati kuliner khas setempat, atau bercengkerama dengan orang local.

Setiap orang memang boleh memiliki cara mereka masing-masing untuk menikmati tempat wisata. Namun aku merasa merdeka karena tidak lagi terobsesi untuk focus pada kamera saat berwisata.

Rabu, 10 Juli 2024

Refleksi dan Kesimpulan Modul 2.3: Coaching dan Supervisi Akademik

 

source:www.bernas.id


Sebagai seorang calon Guru Penggerak, saya telah menjalani berbagai pengalaman pembelajaran yang intensif dan bermakna melalui Modul 2.3 yang berfokus pada coaching dan supervisi akademik. Modul ini tidak hanya memperkaya pengetahuan saya tentang teknik coaching dan peran supervisi akademik, tetapi juga menghubungkan konsep ini dengan pembelajaran berdiferensiasi serta pembelajaran sosial dan emosi yang telah dipelajari sebelumnya. Artikel ini akan merefleksikan pengalaman saya, menganalisis keterkaitan antar materi, dan merumuskan kesimpulan serta rekomendasi untuk implementasi di masa mendatang.

Pengalaman Belajar dan Refleksi Emosional

Pengalaman belajar dalam Modul 2.3 memperkenalkan saya pada keterampilan dan teknik coaching yang dapat digunakan untuk mendukung pengembangan profesional guru di sekolah. Melalui berbagai aktivitas praktis dan diskusi, saya memahami bagaimana coaching dapat membantu guru dalam mengidentifikasi kekuatan dan area pengembangan mereka, serta bagaimana memberikan umpan balik yang konstruktif dan mendorong refleksi diri.

Emosi yang saya rasakan selama proses belajar ini beragam, mulai dari antusiasme dan kebahagiaan ketika memahami konsep baru, hingga rasa frustrasi saat menghadapi tantangan dalam menerapkan teknik coaching. Namun, secara keseluruhan, pengalaman ini memberikan kepuasan dan motivasi untuk terus belajar dan berkembang.

Yang sudah berjalan baik dalam keterlibatan saya adalah kemampuan untuk mendengarkan secara aktif dan memberikan umpan balik yang bermanfaat kepada rekan sejawat. Namun, saya menyadari bahwa saya perlu memperbaiki kemampuan dalam mengajukan pertanyaan yang menggali lebih dalam, serta dalam membangun kepercayaan dan hubungan yang kuat dengan guru yang saya bimbing.

Analisis untuk Implementasi dalam Konteks CGP

Salah satu pertanyaan kritis yang muncul dari pembelajaran ini adalah: Bagaimana saya dapat memastikan bahwa teknik coaching yang saya terapkan benar-benar efektif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah? Pertanyaan ini mendorong saya untuk menggali lebih dalam tentang berbagai model coaching yang ada dan bagaimana mereka dapat disesuaikan dengan konteks sekolah saya.

Dalam proses ini, saya menemukan wawasan baru tentang pentingnya personalisasi dalam coaching. Setiap guru memiliki kebutuhan dan tantangan yang unik, sehingga pendekatan coaching harus fleksibel dan disesuaikan dengan individu yang dibimbing. Saya juga menyadari bahwa coaching bukan hanya tentang memberikan solusi, tetapi juga tentang membantu guru menemukan solusi mereka sendiri melalui refleksi dan eksplorasi.

Tantangan utama yang saya hadapi dalam konteks sekolah adalah keterbatasan waktu dan sumber daya untuk melakukan sesi coaching yang efektif. Selain itu, ada juga resistensi dari beberapa guru yang merasa bahwa mereka tidak memerlukan bimbingan. Untuk mengatasi tantangan ini, saya memunculkan beberapa alternatif solusi, seperti mengintegrasikan coaching dalam rutinitas harian sekolah, menggunakan teknologi untuk mendukung sesi coaching jarak jauh, dan menciptakan budaya kolaboratif yang mendukung pertumbuhan profesional.

Keterhubungan dengan Pengalaman dan Praktik Baik

Pengalaman masa lalu saya sebagai seorang guru dan coach memberikan dasar yang kuat dalam memahami pentingnya coaching dan supervisi akademik. Dalam penerapan di masa mendatang, saya berencana untuk mengintegrasikan teknik coaching yang telah dipelajari dalam setiap aspek pengembangan profesional di sekolah. Misalnya, dalam pembelajaran berdiferensiasi, saya dapat menggunakan coaching untuk membantu guru merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan setiap siswa.

Selain itu, praktik baik dari modul lain, seperti pembelajaran sosial dan emosi, dapat diterapkan dalam coaching untuk membantu guru mengelola stres dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Informasi yang didapat dari berbagai sumber, termasuk rekan sejawat dan literatur pendidikan, juga memberikan perspektif yang berharga dalam mengembangkan pendekatan coaching yang efektif.

Kesimpulan

Modul 2.3 tentang coaching dan supervisi akademik memberikan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana peran saya sebagai seorang coach dapat mendukung pengembangan kompetensi dan kematangan diri pribadi serta profesional guru. Keterampilan coaching yang diperoleh tidak hanya relevan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah, tetapi juga untuk mengembangkan kompetensi sebagai pemimpin pembelajaran yang efektif.

 

Dengan mengaitkan konsep coaching dengan pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial dan emosi, saya dapat melihat bagaimana pendekatan holistik ini dapat menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan mendukung perkembangan seluruh peserta didik. Implementasi yang berhasil membutuhkan komitmen, adaptabilitas, dan kolaborasi yang erat antara semua pihak yang terlibat.

Melalui refleksi ini, saya menyadari pentingnya terus belajar dan mengembangkan diri sebagai seorang calon Guru Penggerak. Dengan memanfaatkan keterampilan coaching dan menerapkan pendekatan supervisi akademik yang efektif, saya yakin dapat berkontribusi dalam menciptakan perubahan positif di sekolah dan mendukung keberhasilan pendidikan di Indonesia.

Refleksi dan Kesimpulan Modul 2.3: Coaching dan Supervisi Akademik

  

Sebagai seorang calon Guru Penggerak, saya merasakan bahwa Modul 2.3 yang membahas tentang coaching dan supervisi akademik telah memberikan wawasan mendalam dan praktis tentang bagaimana menjalankan peran sebagai coach di sekolah. Modul ini menggarisbawahi pentingnya keterampilan coaching dalam mendukung pengembangan profesional guru serta meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. Dalam artikel ini, saya akan merefleksikan peran saya sebagai coach di sekolah dan keterkaitannya dengan materi sebelumnya di paket modul 2, yaitu pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial dan emosi, serta bagaimana keterampilan coaching berkontribusi pada pengembangan kompetensi sebagai pemimpin pembelajaran.

Peran Sebagai Coach di Sekolah

Sebagai coach, peran saya tidak hanya terbatas pada memberikan arahan dan umpan balik kepada rekan sejawat, tetapi juga mencakup upaya untuk membantu mereka mengembangkan potensi maksimal mereka. Melalui teknik-teknik coaching yang telah dipelajari, seperti active listening, questioning, dan providing constructive feedback, saya dapat menciptakan lingkungan yang mendukung dan memberdayakan guru untuk melakukan refleksi dan perbaikan terus-menerus.

Modul 2.3 menekankan bahwa coaching bukanlah proses satu arah, melainkan dialog kolaboratif yang memungkinkan guru untuk menemukan solusi mereka sendiri dan merancang strategi pengajaran yang lebih efektif. Dalam konteks supervisi akademik, pendekatan coaching ini memberikan nuansa baru, di mana supervisi tidak lagi hanya sebagai alat evaluasi, tetapi juga sebagai proses pembinaan yang membangun kompetensi dan kepercayaan diri guru.

Keterkaitan dengan Pembelajaran Berdiferensiasi dan Pembelajaran Sosial dan Emosi

Materi sebelumnya di paket modul 2 yang mencakup pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial dan emosi memiliki hubungan erat dengan keterampilan coaching. Pembelajaran berdiferensiasi menuntut guru untuk memahami dan merespons perbedaan individual siswa, baik dari segi kemampuan, gaya belajar, maupun minat mereka. Keterampilan coaching membantu saya dalam memfasilitasi guru lain untuk mengembangkan strategi pembelajaran yang lebih personal dan sesuai dengan kebutuhan setiap siswa.

Selain itu, pembelajaran sosial dan emosi menekankan pentingnya mengembangkan kompetensi sosial dan emosional siswa, seperti empati, pengendalian diri, dan keterampilan komunikasi. Dalam konteks coaching, saya dapat membantu guru untuk mengintegrasikan aspek sosial dan emosional ke dalam proses pembelajaran, sehingga siswa tidak hanya berkembang secara akademis tetapi juga secara emosional dan sosial.

Keterampilan Coaching dan Pengembangan Kompetensi sebagai Pemimpin Pembelajaran

Menjadi pemimpin pembelajaran yang efektif membutuhkan keterampilan coaching yang kuat. Coaching memungkinkan saya untuk mendukung guru dalam mengidentifikasi tujuan pembelajaran, merancang rencana tindakan, dan mengevaluasi kemajuan mereka. Keterampilan ini sangat penting dalam menciptakan budaya sekolah yang berfokus pada perbaikan berkelanjutan dan pembelajaran sepanjang hayat.

Sebagai pemimpin pembelajaran, saya juga dituntut untuk dapat memotivasi dan menginspirasi tim saya. Coaching memberikan alat untuk melakukan ini dengan cara yang lebih personal dan bermakna, melalui pendekatan yang mengakui dan menghargai kontribusi masing-masing individu. Dengan demikian, coaching bukan hanya alat untuk pengembangan profesional guru, tetapi juga strategi untuk membangun komunitas belajar yang kuat dan kolaboratif.

Kesimpulan

Modul 2.3 tentang coaching dan supervisi akademik memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang bagaimana keterampilan coaching dapat diterapkan dalam konteks pendidikan. Sebagai calon Guru Penggerak, peran saya sebagai coach di sekolah sangat penting dalam mendukung rekan sejawat untuk berkembang dan mencapai potensi maksimal mereka. Keterkaitan antara coaching dengan pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial dan emosi menegaskan bahwa pendekatan ini tidak hanya relevan tetapi juga esensial dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan holistik.

Melalui refleksi ini, saya semakin memahami bahwa keterampilan coaching adalah kunci dalam mengembangkan kompetensi saya sebagai pemimpin pembelajaran. Dengan mengintegrasikan teknik-teknik coaching ke dalam praktik sehari-hari, saya yakin dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah dan membangun komunitas belajar yang dinamis dan saling mendukung.