Kita menjalani hidup
sudah sebegitu tidak netralnya. Kita sudah tidak berdaulat lagi atas penentuan
sikap. Keputusan-keputusan yang kita ambil, sikap-sikap yang kita tunjukkan banyak
yang di-adjust to others’ judgement.
Bahasa mudahnya, kita
begitu haus akan validasi. Kita begitu resah terhadap ketiadaan pencapaian
hidup. Merasa tidak berharga karena belum mencapai apa-apa. Perasaan yang
sejatinya muncul bukan untuk pemenuhan kebutuhan internal, melainkan kebutuhan
eksternal. Pembuktian diri terhadap orang lain melainkan kebutuhan eksternal.
Paradoksnya, justru hal
seperti itu yang kadang bikin hidup terasa hidup. Kita merasa bergairah dalam
menjalani hidup.
Kita sebagai manusia sebenarnya
sudah merasa cukup dengan terpenuhinya kebutuhan dasar seperti rasa aman,
terpenuhinya kasih sayang, penerimaan sandang, pangan dan papan. Namun hakikat
kita sebagai makhluk social mendorong kita untuk menjadikan kebutuhan tersier
menjadi kebutuhan pokok.
Orang lain bisa saja
memandang bahwa kita penuh dengan kecukupan. Bahkan mereka mendambakan hal-hal
yang ada pada diri kita. Sementara kita merasa masih belum menjadi siapa-siapa
dan masih belum mencapai apa-apa.
Entah ini perasaanku
saja, atau memang manusia pada umumnya memang begini.
Kalau aku, aku bukannya
tidak bersyukur, melainkan hanya memiliki need of achievement yang begitu
tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar